Aku Disini: Selalu


Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian

Kata-kata indah tentang

Kau-

Aku-

Yang menunggu waktu untuk dilahirkan

Yang menanti saat untuk ditemukan

Di atas kertas ini

Di halaman-halaman setelah ini

Tetapi aku memilih untuk menunggumu

Kembali-

Nanti-

Dan membisikkan kata-kata itu ke telingamu

Esai, Reportase & Tulisan -Tulisan Non Fiksi

(Orang) Minahasa Harus Merdeka!

Sebuah Catatan Pembuka

Ya. Judul diatas memang sebuah provokasi. Saya memang seorang provokator. Silahkan tangkap saya. Tetapi saya bukan provokator semacam yang pernah diisukan beredar-edar pada masa hangat-hangatnya kerusuhan beberapa waktu lalu itu. Yang menyebabkan dimana-mana berjalan kuatir kalau lupa bawa KTP itu. Bukan seperti itu komang. Tetapi memang saya banyak memprovokasi orang-orang Minahasa di sekitar saya beberapa waktu terakhir ini, baik dalam diskusi-diskusi, atau pakai mass media semacam ini, dengan ya itu tadi, Minahasa harus merdeka. Sekarang pun, saya sedang melakukan hal yang sama terhadap anda. Bukan karena saya seorang ultranationalist, bukan. Cuma karena menurut saya memang sudah semestinya begitu. Orang-orang yang paling pertama mengalami tentu saja mahasiswa teman-teman saya. Biasanya teman yang akan saya “provokasi” itu akan saya ajak berbicara tentang hal-hal yang lain, yang remeh-temeh. Tentang langit yang tidak berawan, kopi kantin Manus yang pas pahitnya, atau si Fredy yang belum berhasil dapa maitua, misalnya. Dan di tengah-tengah pembicaraan itu saya tiba-tiba akan menyelutuk “Apa ngana pe pendapat tentang Minahasa Merdeka?”. Reaksi mereka beragam. Ada yang lalu tatigo sehingga nasi yang sedang dimakannya keluar dari hidung, ada yang tenang-tenang saja seolah kata-kata tadi meaningless buanget githu loh, ada yang secara skeptis menepis segala kemungkinan ke arah pembicaraan yang lebih intens tapi ada juga yang langsung menyambut dengan deretan pidato bergelora macam bung Tomo yang isinya lebih aman tidak dibeber di sini.

Paling sering saya diwanti-wanti untuk tidak mengobarkan lagi jenis perang yang dulu telah memakan korban nyawa putra-putra terbaik Minahasa itu. Saya sering membalas dengan mengatakan bahwa saya juga, seperti banyak diantara kita, punya saudara-saudara yang jatuh korban pada perang itu, Tuhan berkati jiwa mereka semua, dan justru setelah perang itulah kita orang Minahasa lebih banyak “dikorbankan”. Bukan begitu? Tetapi, diantara semua, ada sebuah respon yang diberikan oleh seorang sahabat, seorang sejarahwan asal Langowan, kedengaran paling wise: apa torang so mampu mo merdeka?. Kemudian Ia lalu mendetailkan kebutuhan-kebutuhan sebuah daerah untuk, bahasa revolusinya, berdikari. Dia sangat cermat memaparkan, “yang ini torang memang ada, mar yang ini nyanda.” Begitu bahasanya. Sayapun mau-tak-mau jadi takjub bukan karena ngga ngeh dengan segala prasyarat itu dalam berprovokasi, namun karena akhirnya saya temukan lagi seorang Muda Minahasa yang punya rasio dalam pikirannya. Soalnya, lebih sering ketemu dengan orang yang kalau tidak so talalu tako, so nintau tako!

Kemudian, dalam intensitas diskusi dengan mereka, saya menegaskan: Orang Minahasa adalah orang-orang merdeka. Sudah semestinya begitu. Itu sudah mengalir dalam nadi kita. Jadi mau lari kemanapun pasti keinginan itu akan muncul jua. Masalah mampu dan tak mampu itu teknis. Jadi sekali lagi saya tegaskan: Orang Minahasa Harus Merdeka. Ini memang provokasi, tetapi dalam artian yang tidak dekonstuktif. Bagi saya, kemerdekaan Minahasa hari ini berarti kebebasan dari trauma masa lalu dan kebebasan dari pembunuhan masa depan. Secara praktis, ringan, dan yang terpenting kontekstual, kurang-lebih yang saya maksudkan adalah: tidak lagi mendengar Jenderal kita dimatikan karirnya, tidak lagi tidak melihat menteri kita dalam kabinet, tidak lagi mendengar bahwa kita tidak pernah menderita dalam penjajahan, tidak lagi melihat harga cingke (dan hasil bumi lain) tidak wajar, tidak lagi mendengar tentang Bibir Manado, tidak lagi melihat orang mabo bakudusu deng peda, tidak lagi mendengar orang bapajak di muka lorong , dan, ini yang paling sulit mungkin, mudah-mudahan tidak lagi melihat tambio di pinggir jalan. Hal-hal semacam itulah yang lebih dekat terhadap hati masyarakat kita, yang menjadi keresahan di setiap sudut desa, ketimbang berkampanye besar-besaran tentang Minahasa Merdeka, namun tanpa kejelasan merdeka dari apa dulu? Setidaknya temukanlah musuhmu, perangilah dan jadilah merdeka! Dan ingat, berperang tanpa senjata itu mengantar nyawa belaka. Jadi selanjutnya, diskusi beralih ke masalah senjata. Spontan seorang teman nyelutuk tentang pengetahuannya dalam “persenjataan” seperti peda tiga step, pana wayer, cakram, lilang, dsb., dsb. Lengkap dengan daya bunuhnya sekaligus. Luarbiasa! Setelah ditanya, ternyata di kampung asalnya memang sering terjadi perang antar kampung yang sudah dianggap semacam “olahraga” atau hiburan. Kalau tidak ada ngga sreg gitu. Wah! Ini salah satu prilaku yang justru harus dimerdekakan.

Beberapa waktu lalu saya ikut bergabung dalam sebuah diskusi banyak elemen Minahasa yang ingin menilai seberapa merdeka kita sebenarnya. Setelah banjir opini dan berromantika visi, saya dan beberapa teman yang masih muda mendapat bagian untuk bicara. Kami bicara tentang satu hal: Minahasa Cuma bisa dimerdekakan dengan kembali menata kebudayaannya. Caranya: Seperti yang telah kami lakukan secara estafet beberapa waktu terakhir ini dengan membangun kantong-kantong praktisi seni-budaya muda Minahasa di berbagai pelosok. Di Sonder, Wuwuk, Tomohon, Koha, Treman, Kalasey, muncul bangun-bangun budaya Minahasa baru berupa teater, sanggar seni, kelompok tari yang anggotanya para muda-mudi Minahasa yang mulai kembali secara sadar memulai sebuah pencarian identitas sebagai Orang Minahasa. Sebuah identitas yang sudah sedemikian lama secara sistematis dikaburkan agar kita, Orang Minahasa, kehilangan pegangan menuju masa depan. Sekarang, di penjuru-penjuru Minahasa, ada muda-mudi yang melalui kegiatan seni-budaya macam pentas teater, menulis dan membaca puisi, cerpen dan esay, mementaskan sebuah pentas koreografi, serta memulai proses pengayaan intelektual dengan membaca dan berdiskusi tentang karya Shakespeare sampai Marx, seraya berkata dengan bangga “Saya Orang Minahasa” seraya menjaga keseimbangan spiritualnya secara kontinyu dengan Sang Khalik, maka sejarah barupun mulai ditulis hari itu juga. Sebuah sejarah yang tak lagi menuduh kita sebagai pemberontak atau antek kolonial yang sama sekali ahistoris. Sebuah sejarah yang menempatkan Bangsa Minahasa tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah namun setara dengan bangsa-bangsa besar manapun di dunia. Lebih banyak orang-orang Minahasa yang di kembalikan ke wale, kembali ke rumah dalam artian kembali memperkaya dirinya dengan kwalitas-kwalitas seorang Touna’as yang sudah diresepkan oleh leluhur kita maka lebih mudahlah kita memperoleh kemerdekaan kita dari semua yang menjajah kita, dan kita, Orang Minahasa dapat menjadi apa pun yang kita inginkan. Kita telah dilahirkan dengan sebuah falsafah hidup yang lengkap: pengetahuan, kekuatan dan kebijaksanaan. Itulah senjata kita! Orang Minahasa Seharusnya Merdeka, so butul itu.

Sebagai penutup catatan pembuka yang sudah mulai kepanjangan ini, sebagai sebuah provokasi, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin dapat anda maknai secara pribadi: masa tu laeng bole kong kita nyada!.






Pergolakan Permesta

Sage, Bukan Spectre!

Sebuah kajian pasifistik

“War moreover, means purely and simply wholesale killing and destruction. War means mass misery” (Joseph R. Collin).

Kisah dibawah ini adalah merupakan kejadian yang benar-benar terjadi, cuma tanpa nama-nama. Bahkan kisah ini mungkin terjadi bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali di berbagai tempat di Bumi Minahasa yang kala itu sedang mencoba mengangkat kepala dikala ia di pandang sebelah mata...

Desa itu diam mencekam. Sunyi merambat disela-sela siang. Tak ada sesosok manusia yang terlihat di siang itu. Rumah-rumah ditutup, jendela-jendela dikunci. Bahkan mentari pun lari bersembunyi dibalik awan yang kian legam. Memang, hampir seluruh rumah di desa itu kosong ditinggal penghuninya angkat senjata masuk hutan atau menyingkir ke tempat yang lebih aman. Cuma angin yang berani menghembus disela-sela dedaunan. Sayang, angin itu dingin. Sedingin gerak sebuah iring-iringan manusia yang melangkah lambat di jalan yang membelah desa menuju ujung kampung. Tak banyak mereka, mungkin ada sepuluh orang. Wajah-wajah mereka keras, sekeras besi bedil yang dipanggul mereka. Tetapi, bibir mereka lelah, terlalu lelah untuk bisa berucap “aku sudah lelah membunuh!” karena ditengah-tengah mereka ada seorang pria tanpa senjata. Tangannya terikat dibelakang kepala. Langkahnya tertatih-tatih. Ketakutan yang sangat manusiawi tergambar di raut mukanya. Biji matanya lalu berkilat seolah bercerita. Begini ceritannya: “Hari ini seorang petani harus mati di ujung bedil tentara pusat karena seseorang sedesanya, seseorang yang duduk makan dengannya di pesta, seseorang yang bersebelahan pacul di giliran mapalusnya, seorang yang menjabat erat tangannya di gereja, telah menjual darahnya ganti nyawa sendiri dengan tuduhan bahwa ia antek permesta”. Tetapi, sejujurnya, pada ketika itu siapakah yang tidak? Disaat semua sanak saudara rela mati membela kampung-halaman tercinta, Netralitas adalah dosa!

Maka tibalah mereka di tempat nyawa berpisah dari raga. Di tepi desa, di rimbun kebun yang mengepung, ada sebuah jurang yang menganga. Dasarnya tak tampak, sebab dibawah sana puncak-puncak pohon menunggu dan hutan, tempat sejuta iblis bersemayam, berawal disana. Kemudian lelaki yang matanya bercerita itu di seret menuju bibir jurang itu. Tak ada kain hitam yang menutupi matanya. Ia jadi berhadap-hadapan dengan para pembunuhnya. Ia jadi bisa memandangi sosok-sosok yang telah meninggalkan keluarga mereka jauh di seberang lautan hanya untuk bisa mencabut nyawa keluarga orang di sini, di tanah ini, di Minahasa ini. Tetapi, tentu saja saat itu bukan hal ini yang ia pikirkan. Juga bukan tentang bagaimana bisa mengampuni orang yang bersalah kepadanya itu, karena mereka jelas-jelas tahu apa yang sedang ia lakukan! Berpikir untuk mendoakan para pembunuhnya pun terlalu muskil, sebab mungkin juga ia bahkan tidak ingat lagi untuk menyebut nama Sang Pencipta. Karena itu ia juga tidak berpikir untuk memelas minta nyawa. Yang sangat mungkin terjadi, disela-sela ketakutannya, seperti layaknya orang di bawah ancaman senjata, cuma satu hal yang berkitar-kitar dipikirannya: Aku tak mau mati!.

Bedil-bedil sudah siap meletus. Moncongnya menghadap denyut didada tipis pria itu yang degupnya kian memburu. Sebenarnya, dalam tata cara eksekusi yang “baik dan benar”, cuma akan ada satu bedil yang benar-benar berisi peluru mematikan. Yang lainnya hanya berisikan peluru hampa. Senjata pembunuh itu akan di undikan kepada para eksekutor bersama senjata-senjata lain, sehingga mungkin saja senjata yang mereka tembakkan kosong dan siapa yang sebenarnya menjadi pembunuh menjadi kabur. Tujuannya sistem ini adalah untuk mengurangi rasa bersalah dari para algojo. Namun kali ini, jauh di pedalaman ini, ditepi jurang ini, di perang yang sudah berkecamuk bertahun-tahun ini, mana ada senapan yang berpeluru hampa! Semuanya beamunisikan amarah dan dendam yang siap di muntahkan saat komando di teriakkan. Jari-jari telah siap menyapa pelatuk yang tinggal di ungkit lalu pergi. Waktu seakan terhenti. Anginpun mati. Tetapi tiba-tiba pria itu tersenyum! Bukan senyum perpisahan... Bukan senyum penyerahan... Bukan senyum keiklasan apalagi senyum kedamaian... Bukan! Itu senyum penuh harapan!

Gila! Nyawa sudah di ujung bedil masih pula mampu tersenyum. Apakah dia seorang ksatria yang tak gentar menghadapi mati, ataukah seorang pemegang ilmu halus yang tak mempan dirobek pelor, tak perlu kita permasalahkan. Karena sinar mata itu kembali bercerita. Begini ceritanya: “Seorang petani yang hendak di hukum mati ini, lahir dan besar di tanah ini. Sehingga tiap jengkal tanah telah ia ukur depa. Tiap helai daun sudah kenal bau tubuhnya. Termasuk jurang di balik pundaknya, telah pernah pula ia sapa. Pun, hutan di bawah sana adalah sahabat kentalnya”. Dan...

Sekonyong-konyong, secepat kilat ia membalik badan dan membuang tubuhnya kedalam jurang itu. Mereka terperangah. Tak seujung bedilpun sempat menyalak. Tak sebutir pelorpun sempat menyapa. Tak seorangpun sempat menduga. Tubuhnya melayang jatuh kebawah, menguling kemudian menggelinding sampai akhirnya tersamar hutan yang memang sedang menunggu sahabatnya itu. Hutan ini membungkus tubuhnya rapat-rapat dari pandangan pelor yang menyusulnya kemudian. Hutan ini jugalah yang menyembuhkan luka-lukanya, memberinya makan-minum sepuasnya, dan memberinya tempat meletakkan kepala sampai bedil-bedil itu pulang kerumah mereka dengan membawa sebuah tanda mata: pelor yang seharusnya bersarang di jantungnya...

***

Kisah diatas hanya satu diantara tak terhitung kisah-kisah tentang perjuangan antara hidup dan mati dimasa Pergolakan. Sebagian besar dari kisah-kisah semacam ini punya ending yang lebih kelam dari kisah diatas. Kebanyakan tak pernah tersaksikan lagi, ditelan kebisuan para pelakunya. Memang, Pergolakan telah lama berlalu. Jadi untuk apa mengenang ingat masa-masa yang sulit tersebut. Untuk apa mengungkit lagi rahasia-rahasia yang sudah tenang terpendam, bahkan mungkin telah bungkam dibawa keliang kubur? Tetapi, suka atau tidak, masa Pergolakan Permesta adalah bagian dari kita, Rakyat Minahasa. Permesta adalah jalan yang pernah kita lalui bersama. Permesta adalah sikap yang pernah kita ambil bersama. Permesta adalah satu perjuangan yang pernah menyentuh kehidupan seluruh rakyat Minahasa. Permesta berasal dari sebuah tradisi yang telah berurat akar dalam jiwa setiap orang minahasa yang tak akan pernah rela dipandang sebelah mata. Jadi, demi para dotu kita yang juga pernah rela mati berjuang membela tanah ini jauh semenjak Toar dan Lumimuut pun masih bisa mengangkat senjata, demi para waraney yang gugur membela kehormatan dimasa invasi Mongondow, Ternate, Bajak Laut, dan Kulit Putih sekalipun, maka jangan sekali-kali kita melupakan Pergolakan Permesta dan mereka mereka yang telah menyumbang nyawa untuknya apalagi menyebutnya sebagai sebuah Spectre!

Memang, rasanya terlalu naif jika hanya berkata bahwa “aku benar, kau salah”. Senaif berucap bahwa “begitulah perang, selalu jatuh korban”. Sebab, dalam perang tak ada lagi pihak yang benar atau pihak yang salah. Perang itulah kesalahan utamanya. Perang tak lain hanyalah pembantaian, kerusakan dan kehancuran. Semuanya ini akan bermuara pada penderitaan dan kehancuran. Harga yang harus dibayar untuk perang sangatlah tinggi, sehingga nyawa manusia sering menjadi begitu tidak berharga. Perang seringkali dijadikan jalan terakhir apabila jalan damai tidak dapat ditempuh. Perang sering dijadikan solusi konflik dan jalan memperoleh perdamaian. Sebuah pepatah populer malah berkata: “Jika ingin damai, bersiaplah untuk berperang”. Tetapi bagaimanapun juga sebuah aksi akan menghasilkan reaksi. Sebuah tindakan akan membawa konsekuensi. Perang kemudian membawa akibat-akibat yang tak terelakkan. Dalam peperangan kadangkala jiwa manusia dapat menjadi begitu tidak berharga. Penghargaan terhadap kehidupan menjadi nomor sekian dalam perang, sebab dalam perang, manusia mendapatkan hak untuk mengambil nyawa orang lain dengan sengaja tanpa dihukum, baik untuk mencapai kemenangan dalam sebuah peperangan, atau dengan alasan untuk melindungi diri dari musuh. Pihak-pihak yang saling bermusuhan akan berlomba-lomba membantai lawannya untuk mencapai kemenangan, apalagi jika kemenangan tersebut untuk alasan-alasan “kebebasan”, “kemerdekaan” dan “perdamaian”.

Sehingga, dapatkah Auschwitz dengan jutaan nyawa Yahudi yang melayang disana, di timbang dengan Dresden yang membakar 130.000 sipil dalam semalam? Atau Pearl Harbor yang membara ditukar dengan isak tangis Hiroshima-Nagasaki? Atau nyawa seorang simpatisan Permesta dengan nafas seorang informan pusat? Tidak! Pada saat kita bebicara dalam bahasa Hammurabi- gigi ganti gigi- tak akan pernah tercipta perdamaian. Yang akan ada justru sebuah “never ending vicious circle” yang akan terus menelan semuanya. Sekali lagi: tak ada yang benar atau salah. Dengan demikian, perang hanya akan menjerumuskan umat manusia pada penderitaan massal.

Perang dalam segala bentuk dan ukurannya harus senantiasa dihindari. Kita harus berhenti melihat perang sebagai sesuatu yang biasa, sesuatu yang wajar, apalagi menganggapnya sebagai jalan penyelesaian konflik yang terjadi. Usaha ini dapat dimulai dengan menghindari konflik, sekecil dan sesederhana apapun konflik tersebut, sehingga itu tidak menjurus kepada konflik yang lebih besar sehingga dapat menjadi awal dari kehancuran semua pihak, sebab pada dasarnya perang merupakan sebuah konflik dalam skala yang terbesar dan terburuk. Selain itu, kita harus lebih bijaksana dalam memecahkan masalah-masalah yang condong menjadi konflik. Ini dimaksudkan agar masalah tidak berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar dan membahayakan. Apabila konflik telah ada, kita harus berusaha untuk sesegera mungkin menemukan jalan keluar yang tentunya tanpa kekerasan, sehingga dapat mempersingkat waktu konflik yang pada gilirannya akan memperkecil jumlah korban yang jatuh. Satu hal terakhir yang harus kita pahami benar ialah bahwa perdamaian adalah sesuatu yang amat mahal dan untuk memperolehnya diperlukan pengorbanan yang luar biasa besarnya sehingga harus selalu kita jaga bersama sebagai warisan yang paling berharga bagi anak cucu kita.

Dari kesadaran inilah sebuah Pergolakan Permesta dan semua kisah didalamnya bisa menjadi Sage, yang bukan untuk dilupakan sebagai sebuah kenangan pahit yang membawa luka di hati setiap jiwa Minahasa, tetapi menjadi sebuah pelajaran yang amat berharga. Sebuah nasihat bijaksana dari masa lalu kita. Sebuah guru yang bangkit dari darah yang tertumpah dan jiwa para pendahulu kita.

***

Tentang dendam, ketika ditanyai sekian waktu kemudian, pria itu menjawab jujur, “Kita bukang malaekat kasiang. Kalu sto kita ada butul mati tu waktu, mungkin sto kita pe roh penasaran tu mo cari satu-satu samua. Ada no waktu dimana dulu kita butul-butul binci pa dorang. Mar, untung bae, kita ada nyaman-nyaman jo skarang. Samua Tuhan jo pe tau. Jadi, lebe bae kita kase ampung jo pa dorang”.

Pria tua itu masih tampak tegap. Guratan penderitaan memang terpatri sana-sini di wajahnya itu. Namun, kilatan matanya masih bercerita, banyak bercerita, terus bercerita. Kali ini, bukan lagi tentang penindasan, penderitaan atau pembantaian, tetapi tentang kedamaian. Dan, senyum itu masih disana... masih sama, senyum pengharapan!






Dari Peluncuran Antologi Puisi Bahasa Manado

“999”

Menggagas Kesadaran Lokalitas Sastra Manado

Sebuah antologi puisi bahasa Manado dengan judul “999” baru saja menyapa publik penikmat sastra di Manado. Peluncuran buku ini memang jauh dari darimewah dan “wah”, sebab cuma dilaksanakan di kantin kecil yang kebetulan bertempat di fakultas Sastra UNSRAT. Acaranya sederhana dan jauh dari kesan formal : ucapan selamat datang dari yang empunya kantin, kemudian langsung karya tersebut diperkenalkan lewat serangkaian tanya jawab yang lazimnya disebut “bedah buku” sambil ngopi. Yang hadirpun tidak berjubel, sebagaimana launching karya Ayu Utami misalnya. Cuma sukup untuk mengisi kursi-kursi kantin yang tersedia. Pun, tak ada sastrawan sekaliber Rendra atau Taufik Ismail yang hadir. Acara ini cuma dihadiri oleh para pegiat seni dan sastra dari lingkaran yang terbatas saja. Semuanya nampak terlalu sederhana, untuk menghindari penggunaaan kata “kurang”, untuk sebuah peluncuran buku. Tetapi mungkin, semuanya akan menjadi hal yang luar biasa jika kita melongok lebih jauh.

“999” adalah buku keempat yang diterbitkan oleh apa yang bisa dinamakan “Para Pegiat Sastra Muda di Manado” yang berasal dari lingkaran berbagai elemen organisasi seperti KONTRA (Komunitas Pekerja Sastra), Teater Kronis, FIP Sasra (Forum Independen Peduli Sastra) Sulut, ForSASTRA (Forum Sastra) Manado, Forum Pecinta Buku, Teater Bukit Hijau, Onetique Teater, Teater Remagaf, Teater Al, Teater Jarum, Teater Asbak, Teater Unik dan Teater Awan, disamping beberapa person yang terlibat secara non-organisasi. Semua upaya penerbitan ini merupakan perwuudan dari “2005 : Tahun Kebangkitan Sastra manado” yang dicanangkan oleh lingkaran kami. Boleh dibilang, semua upaya penerbitan dalam konteks “underground” dan swadaya karena kamipun merasa masih memiliki keterbatasan dalam banyak hal untuk bisa mempublikasikan karya-karya kami. Walaupun nantinya karya-karya ini terbit dalam skala kecil dan sederhana ini, sudah merupakan jawaban kami atas beberapa anggapan yang mengatakan bahwa daerah kita yang tercinta ini “miskin kreasi”. Tahun ini kami berencana untuk melakukan penerbitan karya-karya sastra lokal secara estafet dalam berbagai bentuk. Kami merencanakan menerbitkan beberapa kumpulan puisi, kumpulan cerpen, beberapa kumpulan naskah darama/teater dan esai-esai. Sulit memang, karena semua digarap sebisa dan semampunya. Namun langkah sudah diambil, tak mungkin mundur lagi.

Beberapa waktu terakhir ini, mamang Sastra Nasional Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kita menyaksikan kelahiran banyak penulis-penulis dengan karya yang beragam pula. Iklim bersastra pun sudah cukup tercipta di masyarakat khususnya kaum muda, terdongkrak oleh tren beberapa ikon mereka yang mempertunjukkan ketertarikan terhadap dunia sastra, atau menggunakan dunia sastra sebagai daya tariknya, sebagaimana termanifestasi dalam karya film “Ada Apa Dengan Cinta” yang fenomenal itu. Pendek kata, terlepas dari kemungkinan hanya tren sesaat, sastra sedang dalam posisi yang “cukup dihormati dan diminati” ketimbang waktu-waktu sebelumnya.

Namun semua diatas terjadi dalam konteks nasional saja. Berbicara tentang sastra lokal (dalam hal ini Manado, tentunya) kita masih harus mengejar ketertinggalan kita. Manado bisa dikata vakum dari upaya-upaya penerbitan sastra selama satu dekade atau mungkin lebih. Padahal suatu sisi eksistensi seorang penulis/sastrawan/penyair, mau tidak mau akan dilihat dari publikasi karyanya.

Kita sayangnya memiliki banyak sastrawan yang sebenarnya tergolong senior tetapi entah “tidur” atau melupakan lokalitasnya. Kalaupun ada “sastrawan senior manado” yang memperkenalkan karyanya, hanya ibarat “harap-harp adapa ikang ayang, dapa kamari nasi deng garang”, begitu kata beberapa pengamat. Ini diperparah dengan ketidak perdulian, atau ketidak mampuan, dari lembaga-lembaga pemerintah, yang sebenarnya sudah seharunya dan pada porsinya bisa berbuat banyak untuk memajukan Sastra dan Seni daerah pa umumnya. Padahal kelihatan baik di tataran Global maupun kancah Sastra nasional ada kecenderungan untuk back to local, kembali ke indentitas.

Didunia seni global telah lama membara semangat postmodernisme yang dengan gencar menggagas pengembangan kemampuan untuk artistik lokal dan menyerukan untuk kembali ke tradisi lokalitas. Di Jakarta sendiri, nenurut poengamatan penulis, kecenderungan “sadar asal” ini telah termiliki oleh banyak sastrawan dan seniman, dan hebatnya ini sering dijadikan “kartu truf” untuk menghadapai “Nasionalisme Seni” atau mungkin kata lainnya : melawan Sentralisasi Kesenian. Gerakan ini kelihatan dominan diusung oleh mereka yang diluar arus mainstream dan bukan “seniman mapan”, yang juga sering menggelar kegiatan secara underground namun intens.

Pada tataran lokal, penerbitan kami adalah bukti yang menunjukkan telah adanya usaha-usaha untuk “tidak mau lagi tinggal diam” dalam konteks kami tidak mau terkungkung dengan keterbatasan material, terlebih keterbatasan visi. Bahkan lebih dari itu : kami sebagai pegiat dunia sastra, telah sampai kepada sebuah kesadaran berbahasa lokal, seperti tercontoh dalam Kumpulan Puisi Bahasa Manado “999” tersebut. Disini kami berusaha membangkitkan kesadaran dari para sastrawan lokal lain, dan syukur-syukur masyarakat setempat, untuk menghargai bahasa yang digunakannya sehari-hari tersebut sebagai “torang pe bahasa” yang akan dapat punah seiring terkikisnya penggunaan bahasa tersebut dalam kegiatan berbahasa sehari-hari. Kami yakin, salah satu upaya terpenting untuk mempertahankan budaya lokal, yang adalah identitas lokal, adalah dengan mempertahankan penggunaan bahasa lokal. Dan salah satu cara untuk melestarikan bahasa lokal antara lain menuliskannya dalam bentuk apapun termasuk puisi. Kami sadar, tanpa kejelasan identitas, kita akan tenggelam dalam “pusaran zaman” dan bahasa adalah penentu signifikan dalam punah-tidaknya sebuah kebudayaan. Mungkin terlalu ekstrim untuk menganggap nihil apa yang dikenal dengan ‘budaya nasional”. Tetapi menurut kami, tanpa kita mengetahui dengan jelas identitas kita sebagai bagian dari budaya lokal kita tidak akan pernah dapat duduk seimbang dalam konteks budaya nasional.

Tegasnya : Matinya sebuah bahasa adalah pertanda matinya sebuah peradaban !

Dalam kongklusi bedah buku peluncuran “999” muncul sebuah aura penyadaran. Ternyata bahasa Manado bukan hanya enak dipakai berbincang, tetapi juga nikmat dipuisikan. Sama deng ubi colo deng dabu-dabu! Kalu begitu, pasti bisa juga untuk yang menulis bentuk lain. Kami memang baru selangkah, baru setengah jalan. Tetapi dengan modal kedaran lokal yang berhasil tersulut dalam tiap-tiap diskusi, entah dalam peluncuran buku seperti kemarin, atau bicang-bincang ringan di kantin, kami yakin bahwa lokalitas dapat menjadi wacana yang benar-benar membawa perubahan, bahkan bukan cuma dalam Sastra Manado.






Renaisans Budaya Landa Minahasa!

dari “999”, Sonder, sampai “Bentenan Reborn”

Mata dunia semestinya sedang memandang lekat kita, Minahasa. Sebab, tiba-tiba saja, dan dalam ringkas waktu yang telah berjalan beberapa bulan, sebuah semangat telah merangkul putra-putri tanah ini untuk kembali menemukan identitasnya lewat seni, sastra dan budaya. Entah karena dirasuki oleh roh para dotu atau karena darah yang mengaliri nadi tiba-tiba berteriak menyadarkan kita untuk “Kembali Ke Wale”, sehingga secara sadar segelintir anak-anak Toar-Lumimu’ut kembali duduk bersama dan bekerja bersama untuk membentuk nasib peradaban Minahasa masa depan. Sebuah bangsa yang telah disebut-sebut sebagai “yang paling cepat terkikis budayanya” tiba-tiba menggeliat dan bangkit.

Mendefinisikan identitas dalam globalitas adalah hal mutlak. Kehilangan identitas dalam arus global berarti kepunahan. Sebuah bangsa harus mampu menempatkan identitasnya sejajar dalam globalitas untuk survive. Kesadaran akan hal inilah yang menggelitik beberapa sastrawan muda yang berbasis di Manado dan Minahasa untuk memperjuangkan lokalitas masing-masing. Sastra memang sudah sepatutnya menjadi sarana pendidikan bagi masyarakat tiap lokal untuk lebih melek budaya, dan terutama lebih “sadar identitas”. Penerbitan buku-buku sastra seperti Trilogi Antologi Puisi Bahasa Manado “999”, “777”, “99” yang fenomenal itu dan berbagai buku lainnya semacam novelet dan antologi cerpen yang telah diterbitkan semenjak awal tahun ini oleh lingkaran pesastra muda minahasa, adalah sebuah usaha sadar untuk kembali menemukan identitas dan sebuah pena untuk menuliskan sebuah sejarah baru Minahasa. Usaha penerbitan karya-karya sastra ini ternyata berhasil menggesek banyak pribadi sehingga telah mendapatkan respon dengan munculnya beberapa pesastra muda yang ternyata aktif berkarya namun selama ini tak tampak. Mereka dimotivasi untuk terus berkarya dan didorong untuk menerbitkan karya sendiri. Ternyata tanah ini menyimpan banyak “Sastrawan Liar”, anda mungkin salah-satunya!

Kemudian, dalam usaha mengakrabkan seni budaya ke tataran yang lebih populis, sebuah wanua di tanah Minahasa menjawab lebih dahulu: Sonder. Negeri yang menyimpan beragam potensi seni budaya dan keindahan alam ini memang memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam gerak kesenian Minahasa, yang sayangnya, kemudian terhenti. Tetapi fundamen untuk “ber-seni” tak hancur. Ini terbukti dengan intensitas kegiatan seni di Sonder yang telah kembali meninggi. Dimulai dengan sebuah Pagelaran Seni di Jemaat GMIM EFRATA Sentrum Sonder pada bilangan Februari lalu, kemudian ada Festival Seni Sonder di Wale Papetaupan, selanjutnya launching sekaligus pementasan perdana dari Studio Ekspresi Seni “STUDIO X” Sonder, lalu ada Peluncuran dan Bedah Buku sebuah novelet berjudul “VALE”, dan baru-baru ini Festival Kesenian dan Olahraga di Jemaat GMIM IMANUEL, Sendangan. Agenda kedepan pun telah ada: SONDER ART EXPO 2005, dijadwalkan September ini, yang rencananya akan menampilkan pementasan teater, tari, pembacaan karya sastra, pameran buku, dan berbagai kegiatan seni lainnya. Acara ini merupakan sebuah hasil rembuk Forum Generasi Muda Sonder. Yang diinginkan kemudian adalah respon dari wanua-wanua lain di Minahasa. Sonder so mulai, mana dang tu Tareran, Kawangkoan, Langowan, Amurang, Tomohon, Aermadidi, deng samua-samua?

Dari dunia seni fashion pun kita punya usaha menggali kekayaan budaya dengan mulai diperkenalkannya kembali Kain Bentenan. Produk budaya Minahasa yang telah punah ini kembali digali dan ternyata tidak kalah indah dengan kain-kain terkenal lainnya. Dalam diskusi yang diadakan pada acara Seminar Kain Tenun Bentenan yang di prakarsai Himpunan Seni & Budaya Minahasa di FISIP UNSRAT baru-baru ini, terungkap bahwa yang mengakibatkan Kain Bentenan ini akhirnya hilang pamornya sehingga akhirnya lenyap adalah tidak lain dari prilaku berbudaya Orang Minahasa sendiri yang senang mengikuti perkembangan jaman. Padahal, mengikuti mode dan modernitas tidak berarti melupakan identitas. Demikian juga ber-identitas dan ber-lokalitas bukan berarti kita kembali ke pola hidup “bercidako”, bukan? Jadi wajarlah jika di acara yang sama berlangsung juga sebuah peragaan busana yang berbahankan “Kain Bentenan Reborn” yang telah dijadikan berbagai busana indah.

Sebuah perjuangan tentu butuh enersi. Disini, enersi adalah partisipasi dari semua pihak yang sudah seharusnya peduli dengan kebudayaan: organisasi pemuda, pemuda gereja, organisasi budaya, dan setiap pribadi yang memiliki kesadaran untuk mengangkat budaya Bangsa Minahasa. Enersi juga berarti konsistensi dari pihak-pihak yang telah mulai “berpikir” dan “bertindak” untuk menyelamatkan kebudayaan untuk tetap berkarya. Saya yakin kita punya semua itu.

Perjuangan so mulai, tamang!






Renaisans Seni-Budaya Terus Landa Minahasa

Giliran Wuwuk Bangkit!

(Catatan Dari Launching Sanggar “DODOKU”)

Agenda politik yang cukup menguras enersi masih menyisa letihnya. Kita pun pasti masih belum lupa akan sepak terjang para calon pemimpin tersebut dalam “seni persuasi massa” ini, terutama menyangkut hasil hitung-hitungan suara. Ada yang tenang-tenang saja, ada yang mencak-mencak, ada yang serius, ada yang malah senyam-senyum. Semua itu anggaplah sebuah sajian performance art yang gratis buat kita tonton bersama. Toh kita tak dimintai karcis, malah mungkin, masih ditambah bonus sembako! Tetapi, untunglah bahwa pentas politik yang kadang menohok rasa benar-salah kita ini mendapatkan penyeimbang dari sebuah kegiatan yang butul-butul murni nyeni, yaitu terbentuknya sebuah kumpulan pribadi-pribadi yang sadar akan perlunya penggalian nilai-nilai budaya melalui metode yang murni kultural: terbentuknya Sanggar Seni “DODOKU” di Wuwuk, kec. Tareran, MinSel.

Sanggar yang baru saja di deklarasikan pada Sabtu, 23 Juli kemarin ini adalah manifestasi dari sebuah semangat “kembali ke lokalitas” yang berhasil dibawa dalam tataran praktik. Adalah seorang putra Wuwuk sendiri, saudara Alfrits Joseph Oroh, yang telah menjadi motivator dari sekumpulan pemuda-pemudi (pada waktu deklarasi jumlah anggota yang terhimpun mencapai tigapuluhan orang) yang kemudian diarahkan dan dibina untuk lebih mengenal seni budaya dan kemudian dibentuk menjadi sebuah Sanggar Seni. Yang perlu dicatat adalah bahwa pembentukan Sanggar Seni Dodoku bukanlah merupakan hasil bentukan instan yang cuma untuk mengejar tren, namun adalah hasil pembinaan dan penggemblengan bertahun-tahun. Melalui hal ini saudara Oroh, yang juga adalah Tuama Keter-nya Teater Ungu UNIMA ini, telah memberikan sebuah contoh kongkrit bagaimana sebuah gerakan budaya mesti ditata dari tingkatan yang sedasar-dasarnya dengan membangun basis-basis bahkan di pedalaman sekalipun, dimana kegiatan seni budaya bisa selalu terjadi. Selanjutnya, pilihan untuk merangkul para muda di desanya itu bukan hanya bermaksud menjauhkan generasi muda dari kegiatan-kegian negatif, namun secara taktis juga bermaksud memenangkan sebuah “generasi baru” yang dapat muncul sebagai ikon-ikon praktisi seni-budaya Minahasa di kemudian hari. Dan untuk memperkuat unsur lokalitas, momen deklarasi ini juga dirangkaikan dengan diluncurkannya sebuah buku kumpulan puisi berbahasa manado berjudul “Di Ujung Jalang” karya Oroh sendiri.

Rangkaian acara deklarasi Sanggar Seni Dodoku yang diadakan di balai desa Wuwuk, yang malam itu disulap menjadi gedung pertunjukan , secara mengejutkan berhasil menyedot simpati massa. Ruangan balai desa yang lumayan lapang, dipadati oleh ratusan spektator yang ternyata haus even seni semacam ini. Sebahagian besar harus rela menyaksikan acara yang berdurasi dua setengah jam dengan berdiri sebab bangku-bangku yang tersedia tak pernah mau ditinggalkan penonton yang merasa beruntung tersebut. Acara yang disuguhkan pun beragam: ada empat naskah teater yang dipentaskan, kemudian ada pantomim, tarian, parade baca puisi, dan nyanyi. Sebagai performer terundang juga Studio X Sonder, yang tampil dengan nomor dance dan sebuah lakon. Ada juga saudara Pnt. Fredy Wowor, S.S. yang membawa bendera Teater Kronis, dan saudara Chandra Rooroh yang bernaung di Studio Genesis Treman, serta penulis sendiri dari Komunitas Pekerja Sastra SULUT. Kehadiran para pendukung acara dari luar ini menggambarkan bagaimana sebuah gerakan seni-budaya harus juga ditopang oleh sebuah jaringan yang betul-betul “berpikir” dan “bertindak” bersama-sama.

Kemudian, dalam acara ini saudara Oroh berhasil menulis naskah dan mendireksikan tiga pentas yang semuanya bertitik tolak pada satu kata: komikal. Menyaksikan pentas teater Dodoku seumpama kita duduk di Epidaurus yang megah di zaman Yunani Kuno dan terbahak oleh “Wasp, Birds, Frogs”-nya Aristophanes. Naskah yang dibawakan begitu lucu, konyol dan kadang vulgar. Orang bisa menjadi lepas tertawa dengan jalan cerita semacam ini. Tetapi, toh sekali-kali memecut menjadi satire yang pedas dan malah “kelam”, yang membuat penonton tersenyum kecut atau justru “takut” tertawa. Kali ini “End Game”-nya Samuel Beckett, digabung “black humor”nya Kurt Vonnegut dalam “Slaughterhouse-Five” yang melintas dalam benak. Yang menarik kemudian adalah tergabungnya taste “teater teror” ala Kronis-Kontra dengan gaya komedi khas Oroh. Hasilnya: sebuah pentas penuh kejutan yang merangsang setiap simpul saraf emosi penonton. Depe kunci rekeng, baik dari segi even keseluruhan maupun penampilan para pementas di malam itu bisa dikatakan melampaui sukses yang diharapkan.

Ya, perjuangan so mulai, tamang! Dan Wuwuk telah menjawab, karena kita memang tak bisa tinggal duduk diam lagi. Dalam globalitas, bangsa yang tidak memiliki kesadaran identitas pasti akan luntur dan hancur. Hanya dengan kembali menengok ke kekayaan seni budayalah kita dapat mempertahankan identitas. Banyak hal yang bisa kita buat untuk kembali menggelorakan semangat ber-kesenian dan ber-kebudayaan di tanah Minahasa tercinta ini. Kita dituntut bukan cuma manpu be-VISI yang sama dan kemudian tenggelam dalam mimpi-mimpi muluk soal membangun kebudayaan Minahasa dengan kegiatan-kegiatan kultural yang seremonial belaka yang ternyata ujung-ujungnya politis. Kita harus mampu ber-MISI bersama dengan cara membangun seni-budaya dengan menemukan atau membentuk manusia yang ber-seni dan ber-budaya itu sendiri. Jarak mungkin bisa memisah kita, anda mungkin tak mengenal saya, tetapi saya yakin ada banyak pribadi-pribadi yang memiliki kesadaran yang sama. Anda mungkin salah satunya?

Di akhir tulisan ini toh saya masih ingin berkata: Wuwuk suda, mana dang tu Kawangkoan, Amurang-Tumpaan, Langowan, Tomohon, Aermadidi-Tonsea, Bitung, deng tu samua-samua... ada le? ***






Alkitab:

Karya Sastra Teragung

APAKAH SASTRA ITU?

Kesusastraan, atau “literature” dalam bahasa Inggris, adalah sebuah bentuk seni yang melibatkan kata tertulis sebagai media ekspresinya. Jika seni rupa menggunakan kombinasi bentuk benda, seni lukis menggunakan kombinasi warna, atau seni tari dengan kombinasi gerak dan seni suara dengan kombinasi bunyi, maka sastra menggunakan kombinasi aksara untuk menciptakan sebuah “seni”. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa apapun yang dalam bentuk kata-kata terkomposisi dan tertulis sebagai sastra.

Menurut formatnya, sastra dapat di kelompokkan menjadi puisi, prosa, dan drama. Masing-masing bentuk ini memiliki sentuhan yang berbeda dalam memaparkan keindahan yang dikandungnya. Sedang menurut sifatnya, sastra dapat dibedakan menjadi fiksi dan non-fiksi, yang berhubungan erat dengan realistik atau tidaknya materi yang dipaparkan. Tetapi, apapun format dan sifatnya, sastra adalah sebuah buah karya pemikiran yang disusun dalam bentuk kata-kata, atau dalam kata lain: tulisan kreatif.

Sebuah karya sastra juga selain melibatkan imajinasi, dapat juga mencerminkan realitas, sebagaimana dituliskan dalam Theory of Literature: “But furthermore, literature represents life and life is, in large measure, a social reality” (Wellek dan Warren, 1956:94). Pengalaman pribadi baik dari pengarang sendiri maupun orang lain, dan hasil pemikiran pribadi pengarang atau pemikiran-pemikiran yang berasal dari sumber-sumber lain, memiliki pengaruh yang besar terhadap sebuah karya. Theory of Literature menambahkan: “To be sure, literature can be treated as a document in the history of ideas and philosophy” (Wellek dan Warren, 1956:111).

Sebuah karya sastra kemuadian akan selalu memiliki dua fungsi: menghibur dan mendidik (dulce et utile). Memang dalam suatu karya, kadang-kadang dalam sebuah karya sastra, ada kalanya salah satu fungsi kelihatan lebih menonjol dari fungsi yang lain. Walaupun demikian, menurut Rene Wellek dan Austin Warren dalam buku mereka Theory of Literature, sebuah karya selalu akan “sweet and useful” (Wellek dan Warren, 1956:71). Sebuah karya sastra yang baik selalu menjadi “penghibur” dan “guru” bagi penikmatnya

APAKAH ALKITAB ITU?

Tak ada buku di dunia ini yang telah sangat dicintai, sangat dibenci, sangat dibela, sangat di kutuk selain Alkitab. Banyak yang telah mati demi Alkitab. Banyak juga yang telah membunuh demi Alkitab. Alkitab telah menginspirasi banyak prilaku terbaik yang pernah dibuat seseorang. Perang berkobar dalam Alkitab, revolusi terjadi dalam halaman-halamannya, dan kerajaan jatuh-bangun disana. Manusia dengan berbagai sudut pandang- dari teolog pembebas sampai kapitalis, dari fasis sampai Marxis, dari diktator sampai pembebas- menyelidiki halaman-halamannya. Orang Kristen menyebutnya sebagai “Kitab Suci”. Tetapi mengapa demikian? Alkitab sendiri memiliki jawabannya! Menurut Alkitab sendiri, apakah Alkitab itu?:

· “Kitab-kitab suci” (Roma 1:2)

· “Kitab yang suci” (2 Timotius 3:15)

· “Firman Allah” (Roma 3:2, Ibrani 5:12)

· “Segala tulisan yang di ilhamkan Allah” (2 Timotius 3:16)

· “Penglihatan” (Yesaya 1:1)

· “Firman Tuhan yang dilihat” (Mikha 1:1)

· “Perkataan yang dinyatakan” (Amos 1:1)

· “Ucapan illahi, Firman Tuhan” (Maleakhi 1:1)

Alkitab adalah sebuah kitab suci yang merupakan sebuah firman yang turun dari Allah. Lebih jauh , Alkitab juga menyatakan bagaimana proses penulisannya:

· “Roh Tuhan bebicara melalui perantaraanku, firman-Nya ada di lidahku” (2 Semuel 23:2)

· “Roh Tuhan memasukiku” (Yeheskiel 2:2, 11:5 & 24)

· “Roh suci berkata”, “Roh suci mengindikasikan” (Ibrani 3:7, 9:8)

Sekarang jelaslah bahwa Alkitab adalah tulisan yang di inpirasikan oleh Allah melalui bantuan Roh Suci. Paulus mengungkapkan bahwa Roh Suci membimbing semua utusan-Nya (1 Petrus 1:10,11, 2 Petrus 1:21). Jadi, sebenarnya Tuhan sendirilah pengarang Alkitab dengan perantaraan para nabi-Nya.

Roh Suci menginspirasi kurang lebih 40 pengarang dalam kurun waktu lebih dari 1500 tahun untuk menuliskan Alkitab. Dan, nabi-nabi Tuhan menjadi “penulis”, bukan “pena” dalam proses ini. Ada kalanya mereka menulis kata-kata yang tepat seperti yang di katakan Tuhan, tetapi lebih sering mereka menjelaskan firman-Nya melalui cara, metode, dan kata-kata serta bahasa mereka sendiri. Kesimpulannya: Alkitab adalah firman Tuhan yang di ekspresikan dalam kata-kata manusia.

ALKITAB SEBAGAI SEBUAH KARYA SASTRA TERAGUNG

Mengapa tidak? Mungkin banyak dari kita yang belum sadar akan keberadaan hal ini. Tetapi Alkitab tidak dapat tidak adalah sastra, sebab sebagai mana yang telah dipaparkan sebelumnya, Alkitab memenuhi kriteria sebagai sebuah karya sastra yang antara lain adalah:

· Kata-kata Tertulis

· Merupakan hasil ekspresi pengarangnya

· Memuat ide-ide penulis

· Mengandung bentuk-bentuk sastra

· Memiliki sifat fiksi dan non-fiksi

· Memuat kesaksian pengarang

· Memuat dari inspirasi pihak ketiga

· Memuat rekaman sejarah

· Memuat realitas kehidupan

· Indah dan menghibur

· Bermanfaat

Semua aspek diatas membuktikan bahwa Alkitab adalah sebuah karya sastra, sebuah hasil penulisan kreatif, sebuah seni, yang luar biasa. Sebab, Alkitab bukan Cuma buku biasa. Alkitab adalah sebuah buku yang unik dan suci sebab merupakan hasil kerjasama manusia dan Allah. Alkitab adalah sebuah karya teragung yang tercipta sebagai hasil komunikasi dua arah antara Pencipta dan ciptaannya. Dalam alkitab terkandung unsur “kemanusiaan” yang berasal dari penulisnya, dan unsur “ke-Allahan” yang diturunkan penginspirasinya. Layaknya Yesus, Alkitab memiliki dua unsur tersebut secara utuh. Sebab, walaupun “bertubuhkan” kata-kata dalam bahasa manusia yang penuh dengan keterbatasan dan ketidak sempurnaan, Alkitab tetaplah kesaksian Tuhan. Yang paling luar biasa, adalah bahwa Alkitab adalah sebuah karya sastra yang ABADI. Alkitab telah melewati berkali-kali usaha pemusnahan, mulai dari pemusnahan pada zaman kaisar Roma Dioletian, revolusi Perancis, sampai pemusnahan yang digalang Nazi Jerman. “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataanKu tidak akan berlalu”, demikian tertulis dalam Matius 24:35. “Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya”, tambah Yesaya 40:8.

Alkitab adalah sebuah karya sastra teragung karena melaluinya kita dapat mengakrabkan diri kepada Sang Khalik dengan meneliti firman-Nya. Dalam karya sastra yang satu ini, kita tidak hanya dapat menemukan keindahan dan penghiburan, namun juga berkat yang berlimpah dan keselamatan. Alkitab bermanfaat sebagai doktrin hidup, sebagai teguran dan koreksi, sebagai petunjuk hidup dalam kebenaran. “Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik”, 2 Timotius 3:17.






Kurt Vonnegut Jr.

Moralis, Satiris, Subversif

Novel adalah sebuah karya sastra yang selain melibatkan imajinasi, dapat mencerminkan realitas, sebagaimana dituliskan dalam Theory of Literature: “But furthermore, literature represents life and life is, in large measure, a social reality” (Wellek dan Warren, 1956:94). Pengalaman pribadi baik dari pengarang sendiri maupun orang lain, dan hasil pemikiran pribadi pengarang atau pemikiran-pemikiran yang berasal dari sumber-sumber lain, memiliki pengaruh yang besar terhadap sebuah karya. Theory of Literature menambahkan: “To be sure, literature can be treated as a document in the history of ideas and philosophy” (Wellek dan Warren, 1956:111).

Kurt Vonnegut dalam novelnya Slaughterhouse-Five berhasil menyandingkan aspek-aspek di atas. Dalam novel ini tergambar jelas kombinasi unsur-unsur imajinasi, pengalaman pribadi, serta ide yang ia sampaikan kepada pembaca dalam karyanya ini. Imajinasinya yang tergolong liar dan segar serta mendekati karya fiksi ilmiah, banyak menarik simpati pembaca. Peristiwa latar yang realistik, dalam hal ini peristiwa pemboman kota Dresden, serta jalan cerita yang menyerupai perjalanan hidup Vonnegut sendiri, menambahkan unsur faktual. Sebagai seorang ‘pasifis’, atau seseorang yang menentang perang dalam bentuk apapun, Vonnegut memasukkan pesan-pesan anti perang dalam karyanya. Jadi, novel ini ialah gabungan antara fiksi ilmiah yang historis serta pesan-pesan moral yang begitu bijak dan dalam.

Vonnegut ialah seorang penulis yang produktif sampai pada masa tuanya. Puluhan novel, yang kemudian menjadi terkenal, telah ditulisnya. Dia juga menulis sejumlah cerpen dan beberapa naskah drama yang pernah dipentaskan di Broadway. Tetapi, karyanya yang terbesar, baik menurut penggemarnya, para kritikus dan Vonnegut sendiri, ialah novelnya yang berjudul Slaughterhouse-Five. Novel ini ditulis selama 25 tahun. Walaupun ada novel-novel lain yang ditulisnya sementara menyelesaikan novel ini, novel-novel tersebut semuanya akan bersumber dan mengarah kepada Slaughterhouse-Five. Novel ini merupakan beban moralnya yang terberat, yang telah “menyiksa” Vonnegut sedemikian lamanya sebelum kemudian berhasil “dimuntahkannya”, sehingga setelah selesainya novelnya ini, Vonnegut dalam sebuah wawancara berkata bahwa apa yang akan ditulisnya berikut ialah “for fun”. Jadi benarlah apa yang dikatakan Theory of Literature::

The function of literature, some say, is to relieve us, either writers or readers, from the pressure of emotions. To express emotions is to be free of them (Wellek dan Warren, 1956:36).

Novel setebal 216 halaman ini merupakan adaptasi pengalaman pribadi Vonnegut ketika ia terjun dalam kancah Perang Dunia Kedua sebagai seorang serdadu Amerika Serikat. Vonnegut sempat tertawan ketika terjadi serangan terakhir dari pihak Jerman yang terkenal dengan sebutan “The Battle of Bulge” dan dia dikirim ke kota Dresden untuk kerjapaksa pada sebuah pabrik. Dresden sendiri merupakan sebuah kota yang indah dan minus fasilitas militer sehingga dikategorikan sebagai “open city” yang berarti tidak untuk dihancurkan. Untuk alasan yang sangat tidak manusiawi, Dresden dibom oleh kesatuan Angkatan Udara Amerika Serikat dan Inggris. Kota yang cantik itu hancur dimakan “badai api” yang memusnahkan segalanya, kecuali sejumlah kecil orang yang selamat termasuk Kurt Vonnegut sendiri.

Sebagai novel yang memaparkan konsekuensi yang dihasilkan perang, Slaughterhouse-Five memberikan pembaca berbagai akibat perang yang akibatnya adalah penderitaan. Karya ini menggambarkan kehancuran secara fisis dan psikologis yang diakibatkan oleh kekerasan dalam perang. Kehancuran-kehancuran seperti ini akan mempengaruhi apa saja dan siapa saja yang terlibat dalam kekerasan perang tersebut.

Ironis sejak lahir, kata-kata ini cocok menggambarkan Vonnegut. Dia dilahirkan di Indianapolis, negara bagian Indiana, Amerika Serikat pada tanggal 11 November 1922, tepat pada Hari Angkatan Bersenjata (di Amerika, hari ini sekarang disebut Hari Veteran). Vonnegut ialah anak bungsu dari tiga bersaudara dari pasangan Kurt Vonnegut Sr. dengan Edith Lieber (nama Kurt diambil dari nama ayahnya). Kurt memiliki dua orang kakak yang bernama Bernard dan Alice. Kurt Vonnegut sendiri ialah generasi ketiga dari keturunan Jerman-Amerika. Nampaknya, dunia seni memang tidak jauh dari kehidupan keluarga tersebut. Ayah Vonnegut bekerja sebagai seorang arsitek, sedang ibunya ialah seorang ibu rumah tangga yang sering mengisi waktunya dengan menulis cerpen. Kakaknya, Alice, juga merupakan seorang pemahat.

Keluarga Vonnegut termasuk keluarga yang berada pada zamannya. Ini terbukti dengan bersekolahnya kedua kakak Vonnegut di sekolah khusus, yaitu sekolah swasta yang bukan hanya biayanya saja yang mahal, tetapi juga tidak sembarang orang dapat bersekolah di sana, kecuali anak dari keluarga yang berkelas. Tetapi, kemudian datanglah masa sulit dalam bidang ekonomi Amerika yang dikenal dengan The Great Depression. Keluarga Vonnegut kemudian cukup terpengaruh oleh krisis keuangan ini, bahkan ayah Vonnegut sampai tidak mendapatkan satupun pekerjaan arsitektur selama sebelas tahun.

Keuangan yang kurang memungkinkan, mengakibatkan Vonnegut harus bersekolah di sekolah umum, sesuatu yang disesalkan oleh ibunya. Tekad dan kata-kata janji bahwa kelak, bila keadaan ekonomi keluarga sudah membaik, Vonnegut juga akan disekolahkan di sekolah privat sering diucapkan ibunya. Ibu Vonnegut tampaknya sangat terpukul dengan terpuruknya ekonomi keluarga ini, yang menyebabkan mereka tidak dapat lagi bergaul dengan masyarakat kelas atas. Hal ini menimbulkan sebuah kekecewaan berlarut-larut yang akan membawanya mengambil keputusan untuk bunuh diri kemudian. Tetapi, pergaulan kelas atas bagi Vonnegut sendiri ini adalah sesuatu yang tidak penting, sebab dia mencintai sekolah umumnya itu. Dia mencintai teman-temannya yang orang-orang biasa. Meninggalkan mereka sama saja seperti meninggalkan segala-galanya. Tampaknya, akar kecintaannya terhadap pluralisme dan persamaan derajat yang tumbuh sejak muda menjadi dasar kuat akan adanya hal-hal semacam ini pada karya-karyanya nanti.

Salah satu hal positif lain yang diserapnya dari masa-masa pendidikan dasarnya ialah idealismenya tentang pasifisme, sebuah paham yang dia pegang teguh sampai kini dan selalu tersirat maupun tersurat dalam karya-karyanya bahkan sampai karyanya yang terbaru. Bagi Vonnegut, atmosfir kehidupan Amerika Serikat tahun tigapuluhan merupakan sebuah standar ideal sebuah negara yang cinta damai. Ketika masih duduk di kelas enam, Vonnegut diajarkan untuk merasa bangga bahwa Amerika Serikat hanya memiliki seratus ribu tentara, di saat mana Eropa memiliki lebih dari satu juta personil dan menghabiskan hampir seluruh belanja negaranya untuk senjata, tank dan kapal perang. Pada saat itu memang Amerika Serikat menerapkan politik tidak mencampuri urusan negara-negara lain, terutama Eropa bersama konflik-konfliknya.

Bersama-sama dengan tertanamnya pasifisme dalam diri Vonnegut, sekolah umum ini juga berhasil membawanya ke awal langkah karirnya menjadi seorang penulis. Ketika duduk di sekolah lanjutan atas, Vonnegut menjadi editor koran sekolahnya The Shortridge High School Echo. Di sini untuk pertama kali Vonnegut mendapatkan kesempatan untuk menulis bagi pembaca yang cukup banyak jumlahnya, yaitu teman-teman sekolahnya. Vonnegut kemudian menemukan bahwa menulis baginya merupakan sesuatu hal yang mudah bila dibandingkan dengan orang lain. Menulis baginya ialah kegiatan yang gampang dan menyenangkan. Kata-kata seperti “mengalir” saja dari pikirannya.

Tentang masa-masa bersekolahnya, Vonnegut pada satu kesempatan mengatakan bahwa Ia merasa mujur lahir dan besar di kotanya, Indianapolis. Kota ini memberikan pendidikan dasar dan lanjutan yang benar-benar kaya akan humanisme. Hal-hal ini tidak ditemukannya di Universitas. Salah satu hal yang sangat menyenangkan dengan Indianapolis menurut Vonnegut ialah sistem perpustakaan gratisnya yang begitu luas dan lengkap.

Setelah lulus sekolah, Vonnegut kuliah di Cornell University dan mengambil studi ilmu kimia. Dia memilih studi ini karena didesak ayahnya yang masih sedih karena tidak memiliki pekerjaaan selama Depresi Besar, sehingga menganjurkan anak-anaknya untuk berkarir di dunia yang “berguna”. Selain itu, Vonnegut memilih studi ini disebabkan karena pada tahun tigapuluhan ilmu kimia ialah semacam ilmu sihir. Siapa yang menguasai ilmu ini memiliki kuasa yang besar. Pada saat itu, hanya bangsa Jerman maju dalam ilmu kimia. Tetapi Vonnegut kemudian menemukan bahwa dia sedang mempelajari hal yang di luar minatnya. Nilai-nilai kuliahnya buruk.

Walau demikian, Vonnegut merasa beruntung telah mempelajari tehnologi dari pada mempelajari bahasa. Ini membuatnya tidak perlu disuruh untuk membaca atau menulis atau diihakimi tulisannya sebagai tulisan yang baik atau buruk sebagaimana jika dia mengambil studi sastra. Selain itu, Vonnegut kembali memperoleh kesuksesan di luar kegiatan akademisnya dengan bekerja di koran universitasnya, Cornell Daily Sun. Pada tahun pertama, Vonnegut sudah mengasuh rubrik “Innocents Abroad”, sebuah kolom yang memuat cerita-cerita lucu dari berbagai sumber luar negeri. Kemudian dia dipercayakan mengasuh kolom baru yang dinamakannya “Well All Right”, tempat dia banyak menulis tulisan-tulisan pasifisnya. Menjadi penulis di koran menurut Vonnegut, adalah hal yang paling menyenangkan dari masa kuliahnya di Cornell. Pecahnya Perang Dunia Kedua mengakibatkan Vonnegut harus melupakan kesenangannya menulis untuk sementara waktu. Ia masuk wajib militer dan kemudian ditransfer ke Carniage Institute of Technology untuk belajar ilmu mekanika.

Sebagai seorang yang selalu menekankan pasifisme dalam karya-karyanya, banyak yang heran akan keputusannya untuk bergabung dengan militer pada saat itu. Menurut Kurt, pacifismenya ialah sesuatu yang kurang-lebih ambivalen. Jika ditanya siapa orang yang paling dikaguminya dalam sejarah jawabnya ialah Joshua Chamberlain, seorang pahlawan Perang Sipil Amerika.

Vonnegut menerima pendidikan militernya di sebuah kamp di pinggiran Indianapolis, yaitu Atterbury Camp. Pada masa pelatihan ini ia mulai bersahabat dengan Bernard O’Hare, yang kemudian menjadi sahabatnya dalam perang dan berperan cukup besar dalam penciptaan novel Slaughterhouse-Five kemudian. Pada masa pendidikan militernya inilah, tepatnya pada Hari Ibu tahun 1944, ibunya bunuh diri.

Walaupun menerima pelatihan Alteleri, yaitu sebagai penembak senapan howitzer 240 milimeter, Vonnegut akhirnya ditugaskan sebagai seorang “Battalion Scout”, yaitu semacam seorang intel pada pasukannya, Divisi Infantri ke-106. Vonnegut diterjunkan ke Eropa beberapa waktu sebelum Jerman mengadakan serangan ofensifnya yang terakhir, Battle of Bulge. Lewat surat yang dikirimkan Vonnegut kepada ayahnya, ia menulis “Bayonet ternyata tidak terlalu bermanfaat ketika melawan tank”. Vonnegut kemudian kehilangan kontak dengan induk pasukannya dan terkatung-katung di Luxemburg selama kurang lebih delapan hari sebelum ditawan oleh musuh. Dia dan sekitar seratus tawanan perang kebangsaan Amerika lainnya kemudian dikirim ke Dresden dalam gerbong kereta api. Di kota yang menurutnya sangat indah ini, Vonnegut harus kerja paksa pada sebuah pabrik vitamin. Dresden ialah salah satu dari sebagian kecil kota di Eropa yang belum terjamah perang karena merupakan sebuah kota yang tak memiliki konsentrasi personil militer, tanpa industri militer, tanpa target militer. Kota ini hanya dipenuhi bangunan-bangunan antik, museum, taman, rumah opera, dan tempat-tempat indah lainnya. Di bawah hukum internasional, Dresden dikategorikan sebagai “open city” yang tidak untuk diserang. Memang, kota ini terlepas dari pemboman pihak Sekutu. Pesawat-pesawat pembom selalu melewatinya.

Namun pada malam tanggal 13 Februari 1945 pesawat-pesawat itu tidak hanya lewat lagi. Gabungan angkatan udara Amerika Serikat dan Inggris menjatuhkan bom-bom berkekuatan tinggi, yang dengan cepat mulai membakar kota. Dresden ditelan badai api yang pertama-tama menghanguskan segalanya sebelum kemudian mengkonsumsi seluruh oksigen yang tersedia. Vonnegut dan tawanan lainnya berlindung dalam sebuah penyimpanan daging, beberapa tingkat di bawah tanah sebuah rumah jagal hewan. Ketika mereka keluar, Dresden sudah lenyap. Sebuah kejahatan kemanusian yang terbesar dalam sejarah manusia telah terjadi. Sebuah pembantaian terkejam, kata Vonnegut. Sekali tebas, 135.000 orang menemui ajal sebelum pagi tiba.

Ketika ditanya jauh hari kemudian tentang Dresden, Vonnegut menggambarkan: “Kami ditugaskan mencari korban-korban dalam reruntuhan. Ada yang hangus terbakar, remuk tertimpa bangunan atau tercekik kehabisan oksigen. Mayat-mayat wanita, pria, anak-anak dan orang tua, diangkut ke tengah kota untuk diperabukan dalam api unggun raksasa. Sementara itu kami dilempari batu dan dimaki-maki oleh orang-orang yang kami lewati”.

Setelah “V-E Day”, hari kemenangan sekutu di Eropa, Vonnegut diselamatkan tentara Rusia dan dipulangkan ke Amerika. Ia menerima bintang Purple Heart atas jasa-jasanya. Vonnegut kemudian menikahi Jane Marie Cox pada 1 September 1945 dan pindah ke Chicago tempat ia kembali ke bangku kuliah, dan mendalami ilmu antropologi, di Universirty of Chicago. Di samping kuliah, Vonnegut bekerja sebagai reporter paruh-waktu pada Chicago City News Bureau. Mungkin karena memang kurang cocok dengan pendidikan formal, tesisnya kemudian ditolak oleh dewan penguji universitas. Jauh dikemudian hari, dewan yang sama akhirnya memberikan gelar itu kepada Vonnegut setelah ia menunjukkan karya tulis yang baru yaitu novelnya yang berjudul Cat’s Cradle. Vonnegut kemudian menghidupi keluarganya dengan berganti-ganti pekerjaan. Ia pernah menjadi sukarelawan pemadam kebakaran di Aplaus, pegawai hubungan masyarakat di General Electric, New York, bekerja sebagai guru bahasa, menjadi desainer sebuah pahatan patung besi, bahkan membuka dealer mobil bermerek Saab sebelum mulai menulis secara profesional.

Karir kepengarangan profesional Kurt Vonnegut diawali pada 11 Februari 1950, dimulai dengan dimuatnya sebuah cerita pendek yang berjudul “Report on the Barnhouse Effect” dalam majalah Collier’s. Vonnegut menerima upah $750 untuk cerpen tersebut. Merasa yakin akan karir barunya ini, Vonnegut kemudian berhenti bekerja di General Electric dan pindah ke Cape Cod dan mulai menulis secara profesional. Ia menyurati ayahnya dan berkata “Kelihatannya saya segera akan sukses...”.

Pada tahun limapuluhan Vonnegut menulis cerita-cerita pendek yang dimuat dalam majalah-majalah yang terkenal pada waktu itu. Menurutnya, kemahirannya menulis cerpen dipelajarinya dari membaca buku penuntun bagaimana menulis untuk majalah. Vonnegut mengetahui bagaimana mengkomposisikan sebuah karya agar karya tersebut laku dijual. Itu terbukti kemudian, dia berhasil menjual lebih dari seratus cerpen pada majalah-majalah itu. Dua novel, Player Piano dan Sirens of Titan, juga lahir pada periode ini. Novel-novel awalnya ini masih kurang menarik perhatian pembaca, tetapi bukan karena kurang bagus, melainkan karena pembaca dan juga kritikus masih menganggap karya-karyanya “modis” dan hanya berisi fiksi ilmiah, bukan termasuk karya yang patut diapresiasi secara sastra. Vonnegut juga mulai bereksperimen dengan menulis lakon dan lahirlah Something Borrowed, karya dramanya yang pertama.

Tahun enampuluhan merupakan masa-masa metamorfosis Vonnegut menjadi seorang penulis yang matang dan diakui. Dimulai dengan melanjutkan minatnya pada penulisan drama yang menghasilkan naskah Penelope dan What I Am This Time?. Selain itu, sebuah antologi cerpennya yang pertama, Canary in a Cathouse, juga dicetak. Pada masa inilah Vonnegut mulai berevolusi. Salah satu perkembangan yang terjadi pada Vonnegut, yang menyebabkan Ia mulai dikenal sebagai seorang penulis yang harus diperhitungkan, ialah ketika dia mulai menyempurnakan gaya menulisnya yang berkembang kemudian menjadi semacam merek dagangnya yaitu “Black humor” (komedi kelam), fiksi fantasi, protes sosial dan, yang paling berciri Vonnegut, yaitu gaya autobiografi.

Novel Mother Night dan Cat’s Cradle diterbitkan pada 1961 dan 1963. Kedua karya ini membawa Vonnegut ke puncak pengakuan publik terhadap kepengarangannya. Mother Night mempopulerkannya di kalangan orang muda dan mahasiswa di kampus-kampus seluruh Amerika, sedangkan Cat’s Cradle mendapat pengakuan sebagai salah satu karya terbaik masa itu oleh beberapa penulis dan kritikus. Dua lakon Vonnegut dihasilkan kemudian, EPICAC dan My Name Is Everyone, diproduksi di Cape Cod. Pada 1965 terbit novel God Bless You, Mr. Rosewater yang diikuti dengan pencetakan kembali karya-karya sebelumnya pada 1966. Vonnegut kembali menerbitkan kumpulan cerpen pada 1968 yang dijuduli Welcome to the Monkeyhouse. Novel terbaiknya, Slaughterhouse-Five, terbit pada Maret 1969.

Novel ini ditulis Vonnegut berdasarkan sebuah kejadian yang benar-benar pernah terjadi. Ini diperkuat dengan pernyataannya diawal novel yang menyebutkan bahwa “semuanya ini benar-benar terjadi”. Walau kemudian dia memasukkan unsur-unsur yang juga benar-benar fiksi, tetap saja novel ini memuat serangkaian kejadian yang telah terekam dalam buku sejarah. Bahkan mungkin novel ini sebenarnya adalah buku sejarah yang di bumbui fiksi. “Nama-nama telah saya ganti” kata Vonnegut.

Penokohan mungkin dapat diganti, tetapi latar sama sekali tidak dirobah Vonnegut. Perang ialah latar utama cerita ini. Sebuah keadaan kacau-balau, penuh kehancuran dan pembantaian yang disebabkan oleh konflik bersenjata antara dua kelompok (atau lebih) dalam masyarakat merupakan titik berangkat karya ini. Perang Dunia Kedua, sebuah perang yang oleh Vonnegut dikatakan sebagai “usaha bunuh diri peradaban manusia yang ke dua”, merupakan latar yang di pilihnya untuk novel ini.

Perang Dunia Kedua terjadi oleh banyak sebab. Beberapa di antaranya akibat beban-beban lama yang masih tersisa dari Perang Dunia Pertama yang ternyata masih membekas. Tetapi pemicu yang paling nyata ialah konflik-konflik kecil antar negara yang telah mengesampingkan tata krama dalam pergaulan antar negara, dan ketidakpedulian akan perdamaian. Ini disebabkan karena banyak pemimpin dari negara-negara tersebut ialah orang-orang yang tidak menghormati demokrasi, haus kekuasaan, berambisi teritorial dan cenderung diktator. Negara-negara yang besar dan kuat menyerang negara tetangganya yang lemah dengan sesukanya.

Secara resmi, Perang Dunia Kedua dikatakan meletus pada saat seorang diktator berkebangsaan Jerman bernama Adolf Hitler menyerang negara tetangganya, Polandia, yang memiliki perjanjian bersama Inggris, Prancis, dan beberapa negara lain yang disebut Allied Nations atau Sekutu. Perjanjian ini menyebutkan bahwa jika Polandia diserang, kedua negara sahabatnya itu akan membantu. Ketika Inggris dan Perancis menyatakan perang melawan Jerman, seluruh Eropa kembali terlibat perang besar.

Di bagian lain bola bumi, pada tanggal 7 Desember 1941, sebuah pangkalan Amerika Serikat di kepulauan Hawaii yang bernama Pearl Harbor dibom pasukan Jepang yang ingin menguasai Asia. Amerika Serikat langsung mengangkat panji perangnya melawan Jepang. Karena Jepang juga memiliki perjanjian dengan Jerman dan Italia yang disebut Axis Treaty atau Perjanjian Negara Poros, maka Amerika Serikatpun dinyatakan sebagai musuh mereka. Maka terjadi sebuah perang dashyat dibumi ini, perang Eropa di sebelah barat dan Perang Pasifik di timur.

Kekuatan “negara-negara jahat” memang luar biasa pada masa-masa awal perang. Jerman dengan cepat menguasai hampir seluruh Eropa dan bagian utara Afrika. Jepang menduduki hampir tiap sentimeter tanah Asia Pasifik. Tetapi, keadaan berubah seiring waktu. Negara-negara Poros dapat dipukul mundur. Di Perang Pasifik, Jepang mulai satu persatu menyerahkan tanah taklukannya dan mundur teratur. Di Perang Eropa, Jerman terdesak jauh mendekati wilayah perbatasan negaranya sendiri. Tetapi perang masih jauh dari usai. Sebuah serangan balik terakhir dilancarkan oleh Jerman secara tiba-tiba. Serangan yang disejarahkan dengan nama “Battle of Bulge” ini cukup mengejutkan sehingga pihak sekutu harus mundur kembali. Sayangnya, tak semua pasukan berhasil tertarik mundur. Sejumlah tentara Amerika Serikat terjebak di belakang garis musuh.

Hanya sebagian kecil serdadu yang dapat menyeberang kembali ke wilayah Sekutu serta bergabung dengan induk pasukannya. Sebahagian dari mereka tewas mencoba mempertahankan posisi. Sebagian besar kemudian tertawan dan dikirim ke wilayah negara Jerman untuk dipenjara di kamp-kamp sebagai tawanan perang atau dikerjapaksakan di pabrik-pabrik seperti yang dialami Vonnegut di kota Dresden. Kota ini sendiri adalah kota yang amat indah dan dipenuhi dengan peninggalan-peninggalan sejarah, museum, taman gedung opera dan bangunan-bangunan indah lain. Dresden dijuluki “Florence di Elbe” karena keindahannya. Kota ini dilindungi undang-undang internasional untuk tidak boleh dihancurkan. Jika menghadapi agresi, kota ini harus diserahkan oleh pihak yang kalah tanpa perlawanan. Hal yang sama juga diterapkan bagi kota Paris, Perancis. Kapasitas sebagai “open city” menyebabkan Dresden lolos dari rentetan pemboman Sekutu.

Tetapi pada 13 Februari 1945, Dresden dibom juga oleh Amerika dan Inggris. Pemboman ini merupakan bagian dari kampanye “Operation Thunderclap” yang salah satu maksudnya ialah untuk mempercepat akhir perang dengan cara meruntuhkan moral Jerman yang kemudian diharapkan akan membawa mereka lelah berperang dan mencari perdamaian. Pemboman yang memakan waktu sehari semalam ini melibatkan 1103 pesawat pembom dan lebih dari 3427 ton bom. Api membakar seluas 1600 hektar kota ini selama seminggu. Penyebab mengapa korban jatuh begitu besar dalam pemboman ini ialah gabungan dari beberapa keadaan yang benar-benar tidak memihak Dresden. Pada saat itu Dresden tidak memiliki persenjataan alteleri untuk menangkis serangan udara, sementara pangkalan udara Jerman yang berada di sekitar tidak dapat memberikan bantuan disebabkan kurang tersedianya bahan bakar. Sialnya, cuaca yang biasanya begitu buruk menyelimuti Jerman, di malam pembantaian itu menjadi sangat cerah. Tetapi penyebab utama kelihatannya ialah ketidaksiapan kota ini untuk menerima serangan sebesar Operasi Thunderclap. Hanya ada satu bunker yang benar-benar memenuhi syarat sebagai perlindungan anti bom. Keadaan ini sangat ironis mengingat Dresden sedang dipenuhi pengungsi yang mengakibatkan penduduknya membengkak dari 630.000 menjadi lebih dari sejuta.

Dengan jumlah korban lebih dari 130.000, jauh melebihi jumlah korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, tragedi Dresden menjadi contoh kongkrit teror perang udara. Hal ini menjadi berita bagi pihak rakyat negara-negara sekutu sendiri yang menyatakan bahwa korban-korban perang terbesar di pihak negara-negara Poros justru bukan dari pihak militer melainkan dari rakyat biasa. Kejadian ini menjadi begitu mengerikan dan memalukan, sehingga media massa sempat diperingatkan oleh pihak sekutu untuk tidak memberitakan hal ini. Teror bom di Dresden sempat menjadi sebuah kejadian yang “Amat Rahasia” jauh sampai akhir tahun enampuluhan. Slaughterhouse-Five termasuk salah satu karya tertulis pertama yang membuka rahasia tragedi Dresden bagi publik pada tahun 1969.

Ketika diterbitkan pada tahun 1969, Slaughterhouse-Five merupakan novel yang diterbitkan pada masa-masa buruk tentang pengalaman pada masa-masa yang buruk pula. Ketika novel ini dalam masa penyelesaian tahun 1968, rakyat Amerika menyaksikan tokoh-tokoh besar mereka tewas terbunuh. Martin Luther King Jr., seorang pejuang persamaan hak Kulit Hitam tewas ditembak. Diikuti dengan tewasnya presiden mereka sendiri, J.F. Kennedy. Amerika juga sedang dilanda kerusuhan rasial besar yang menuntut persamaan hak hakiki antara Kulit Hitam dan Kulit Putih. Sebuah revolusi besar lainnya juga sedang melanda Amerika, yaitu revolusi para Generasi Muda yang menentang nilai-nilai lama yang dipercayai orang tua dan menentang penggunaan kekerasan dalam bentuk apapun. Salah satu ikon terbesar revolusi ini ialah membanjirnya setengah juta anak-anak muda Amerika di konser musik Woodstock yang kemudian menyebabkan gaya hidup “hippies” dengan seks bebasnya serta paham-paham pasifistik semacam “make love not war” menjadi begitu populer di kalangan anak muda. Teknologi umat manusia juga sedang dilanda sebuah perkembangan besar. Pada tahun-tahun sebelumnya, Amerika dan Rusia terlibat perlombaan dalam penaklukan angkasa luar dengan diluncurkannya sejumlah roket. Amerika kemudian mencatat sejarah ketika pada tahun 1969 Neil Amstrong berhasil menjejakkan kakinya di bulan.

Tetapi hal yang paling relevan bagi penerbitan sebuah novel yang “anti perang” pada masa itu, ialah bahwa Amerika, sang pengusung panji Kapitalisme, sedang terlibat dalam sebuah konfrontasi politis dengan sebuah kekuatan besar Komunisme di bawah komando Uni Soviet yang dikenal dengan “Perang Dingin”. Kedua negara adidaya ini terlibat perlombaan dominasi politis yang kemudian membawa mereka kepada perebutan wilayah secara tidak langsung. Sering kali konflik semacam ini berakhir dengan harus dibaginya sebuah wilayah kepada kedua kekuatan dengan paham yang berbeda. Contoh kongkritnya ialah pembagian Jerman Barat dan Jerman Timur, Korea Utara dan Korea Salatan. Yang paling kontekstual bagi masa terbitnya Slaughterhouse-Five ialah konflik Vietnam Utara yang disokong oleh Soviet, dengan Vietnam selatan yang dibantu Amerika. Konflik ini dikenal dengan Perang Vietnam. Pada saat itu, Amerika sedang menghadapi sebuah perlawanan besar dan memusingkan dari pihak komunis Vietnam Utara, yang melancarkan serangan pada posisi-posisi Amerika di seluruh Vietnam. Perlawanan yang disebut “Tet Offensive” ini menjadi titik balik yang nyata bagi perang ini. Walaupun di pihak Viet Cong jatuh banyak korban, perlawanan ini membuat Amerika lelah secara pisikologis. Kurang lebih lima puluh ribu jiwa tentara Amerika menjadi korban pada akhirnya. Fakta-fakta tentang ini ini menghantam rakyat Amerika bersama dengan pemberitaan pembantaian rakyat sipil Vietnam di sebuah desa yang bernama Mai Lai. Kasus ini hanya sebagian kecil dari korban keseluruhan yang mencapai jutaan orang Vietnam. Ini disusul dengan terciptanya sebuah rekor di mana Amerika telah menjatuhkan bom di Vietnam lebih banyak dari yang telah dijatuhkan oleh seluruh kekuatan pada Perang Dunia Kedua. Slaughterhouse-Five yang nota bene bercerita tentang tragedi pemboman Dresden, sedang ditulis dan siap terbit ketika Amerika sedang melaksanakan sebuah pemboman yang paling brutal sepanjang sejarah. Sebuah kebetulan yang ironis.

Walaupun Vonnegut sendiri menganggap ini sebagai karya yang “gagal”, Slaughterhouse-Five mendapatkan sukses dimana-mana dengan segera. Kepopuleran Vonnegut meroket bersama dengan “demam Vonnegut” yang melanda Amerika, terutama di kampus-kampus tempat aroma anti perang begitu tercium. Kritikus-kritikus literatur, bahkan yang belum pernah sebelumnya mengakui karya-karyanya, berlomba-lomba membedah karya-karya Vonnegut yang menyebabkan harus dicetaknya lagi novel-novel awalnya.

Sejak penerbitan perdananya, Slaughterhouse-Five telah mengkokohkan diri sebagai karya Vonnegut yang paling besar dan paling kontroversial. Novel ini telah digunakan dalam ruangan kelas di seluruh Amerika, dan juga dilarang oleh dewan-dewan sekolah. Bahkan ada yang sampai menyita dan membakarnya. Vonnegut menanggapi ini sebagai sesuatu yang berlebihan dan “kelam”. Belum tentu, katanya, pihak-pihak yang membenci bukunya itu pernah membaca buku itu sampai habis atau bahkan pernah membaca buku apa saja sampai habis. Tetapi, pada saat yang memang tepat, Amerika telah mendapatkan seorang Ikon perdamaian baru: Kurt Vonnegut.

Tahun tujuhpuluhan kembali dimulai Vonnegut dengan keterlibatannya dalam dunia lakon. Naskah Penelope direvisi dan diberi judul baru, Happy Birthday, Wanda June. Pada tahun 1971 Vonnegut bahkan melangkah lebih jauh. Karyanya Between Time and Timbuktu: A Space Fantasy serta Slaughterhouse-Five difilmkan. Masa ini juga diisi dengan terbitnya novel Wampeters, Foma & Granfaloons dan Slapstick.

Vonnegut masih produktif menulis sampai saat ini, sesuatu yang sering digambarkannya sebagai kemalangan. Umumnya seorang profesional pensiun pada usia lima puluhan, katanya. Namun sampai pada masa tuapun ia merasa masih harus menulis terus. Novel novel Bluebeard, Hocus Pocus, dan Fates Worse Than Death lahir pada tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan. Karyanya yang paling baru bertahun 1997 dan ditajuk Timequake.






Kembali ke Manusia dan Budaya:

Tawaran Solusi Untuk Deklinasi Pendidikan di Minahasa

Man vs. Machine

Rusuh hasil Ujian Nasional komputerisasi itu masih belum pudar dari ingatan. Di berbagai daerah penolakan-penolakan malah telah memicu beberapa tindak vandalisme, baik dari siswa yang merasa dirugikan atau pihak keluarganya, yang telah cukup meresahkan masyarakat hingga jatuh korban. Pro-kon yang terjadi kemudian adalah tentang perlu-tidaknya Ujian Nasional atau tentang etis-tidaknya penggunaan komputer sebagai mesin pemeriksa serta pengelola hasil ujian. Lalu, saya adalah termasuk yang tidak setuju.

Ada yang berargumen bahwa menyerahkan nasib seorang peserta didik, yang adalah manusia selengkap-lengkapnya ini, di tangan sekumpulan kabel, timah dan arus listrik yang disebut komputer itu adalah sebuah tindakan yang terlalu naif. Saya setuju itu. Memang, jika dikatakan bahwa komputer memiliki daya analitik yang begitu stabil, cepat, tepat dan akurat itu benar. Saya pun tidak akan membantah jika dikatakan bahwa komputer punya error margin yang sangat kecil. Tetapi, seorang Bill Gates pun mau tak mau harus mengamini ini, komputer bukanlah periferal yang error-free. Saya punya komputer dengan spek yang cukup advance. Dengan komputer ini saya dapat melakukan apa saja, begitu lebih-kurangnya, yang membuat saya sangat bersyukur bisa lahir di abad Microsoft ini. Informasi yang bisa saya kelola keluar-masuk bisa sangat banyak dan memang hasilnya hampir tak pernah cacat. Hampir.

Tahun di belakang saya kelimpungan mencari obat untuk virus karya anak bangsa yang namanya Brontok. Padahal, saya punya perlindungan antivirus yang ternyata Cuma mempan menangkal virus-virus import. Dapat memang, setelah menunggu enam bulan. Tetapi kemudian ada mampir juga varian Brontok A, Brontok B, Brontok MyBro, Brontok Laknats, Brontok Sensasi, dst., dst. yang daftarnya bisa sepanjang menu di restoran. Sudahlah membahas dari mana dan bagai mana penyakit-penyakit itu, yang jelas komputer saya berantakan. Segalanya yang stabil, cepat, tepat dan akurat itu lenyap sudah. Tersisalah sebuah mesin yang berpikir dan bertindak laksana seorang skizo. Dan, sekedar informasi, di dunia saat ini ada setidaknya 2 juta virus komputer yang siap melumpuhkan, atau setidaknya mengacaukan mesin ini. Jadi, sekali lagi, rasanya terlalu naif untuk percaya sepenuhnya pada sekumpulan besi tak berperasaan ini. Kalau begitu kepada siapa tanggung jawab akan keberhasilan anak-anak kita?

Guru. Ya, orang yang setiap hari berinteraksi dengan sang murid. Orang yang mengamati tiap usaha, tiap kegagalan dan tiap keberhasilan yang dialami sang murid hari demi hari sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di halaman sekolah sampai di hari ujian akhirnya. Orang yang mengajar, mendidik dan membina sang murid dengan intelektualitas, totalitas, dan diatas semuanya: perasaan dan kasih sayang. Demi Tuhan! Tak ada penilaian yang lebih sahih dari penilaian seorang guru. Jika kemudian yang dipertanyakan adalah objektivitas, bahwa dari komputer didapatkan hasil yang lebih fair dan objektif tanpa beban dan muatan, tanpa memandang bulu, dan tanpa memandang resiko, maka saya akan menyarankan agar di meja hijau pengadilan juga, ketimbang memakai hakim yang malah rawan suap itu, lebih baik ditempatkan seperangkat komputer (yang bebas virus tentunya), bukan begitu? Lantas, bagaimana menemukan guru yang kapabel untuk melakukan semua hal-hal ideal diatas? Pada poin ini saya sebenarnya lebih percaya a good teacher is born, not made. Tetapi, saya juga percaya good things come to those who work, not only wait.

Mencetak Guru: Creating The Man of Steel?

Minahasa Masih Kekurangan Ribuan Guru, begitu sebuah tajuk berita di halaman pendidikan sebuah surat kabar lokal. Di halaman hiburan ada berita tentang preview film Superman Returns. Saya tersenyum. Dua hal yang berbeda tapi persis sama. Mengapa? Karena menurut saya menciptakan guru yang berkemampuan ibarat menciptakan seorang manusia super.

Pada penerimaan CPNS baru lalu, ada porsi yang cukup signifikan yang khusus direservasi untuk guru, dan fakta selalu berkata bahwa setiap penerimaan pegawai negeri pasti sold out layaknya tayang perdana sebuah film blockbuster Holywood sekelas, ya itu tadi, Superman Returns. Semua orang ingin nonton. Semua orang ingin jadi PNS (sejujurnya, termasuk saya). Seorang teman yang bermodalkan ijazah S1 dan sedikit faktor luck (ia mujur punya saudara “tempat tinggi”, begitu maksud saya) tahun ini akhirnya berhasil menerima jaminan gaji plus pension seumur hidup. Saya sedikit bagara: “jadi guru dang, eee!” Dia menjawab dengan kalem: “sala sala no, tumbus di situ”. Dua puluh lima tahun lalu ibu saya juga mulai mengenakkan seragam KORPRI dan PGRI-nya. Katanya, pada masa itu guru (juga) dibutuhkan dalam jumlah besar, sehingga jika ingin pekerjaan yang paling tersedia ya itu, jadi guru. Saya anak yang berbakti, saya menganggap ibu saya termasuk tipe guru yang luar biasa, tetapi something is really wrong in here. Kelihatannya, dalam kurun puluhan tahun terakhir, lebih banyak guru yang tercipta dari demand untuk mengisi ruang lowong ketimbang dari pure calling untuk menjadi guru.

Saya senang menulis, saya menulis karena saya senang dan saya menulis karena itu membuat saya senang. Saya bisa duduk menulis bejam-jam hingga lupa apa pun (kecuali makan). Saya tidak berkata bahwa saya tidak dapat hidup tanpa menulis, tetapi saya merasa tanpa menulis saya tidak menjadi seseorang yang saya inginkan. Saya merasa bahwa tanpa menulis saya tidak memberikan apa yang saya mampu berikan untuk orang lain. Bagi saya menulis itu panggilan, bukan pekerjaan (di Manado jadi penulis memang belum bisa menghidupi!). Lalu saya berpikir: bukankah jadi guru juga seharusnya begitu? Lalu, apakah ini doable? Saya bertanya kepada ibu saya, berdasar pengalamannya di dunia pendidikan, apakah ini bisa diujudkan, dan dia menjawab: “ngana cari pa mner Hengky Rondonuwu. So dia tu guru yang butul-butul guru”.

Culture-Conscious Education

Orangnya sederhana tetapi classy. Usianya senja, namun pemikirannya masih cukup tajam, radikal dan, terlebih, visioner, khas pemikir Minahasa. Saya beruntung dapat bersua dengannya pada sela riuh-rendah Pengucapan Syukur di Wuwuk, Tareran, Minahasa Selatan yang baru lewat. Kami duduk-duduk di fores rumah dan dia mulai bercerita. Beliau sekarang sudah pensiun dari mengajar di ruang kelas, namun ternyata, layak iklan susu buat orang lanjut usia itu, masih seorang guru yang penuh dedikasi. Buktinya, saya “dikuliahi” lima jam non-stop dimulai dari statement “kita kalo maso klas mo mengajar, nyanda pernah bawa buku”.

Menurutnya, seorang guru adalah pengajar, pendidik dan pelatih bagi setiap murid. Ini bukan idealnya. Ini hakikatnya. Mengajar baginya berarti membuat murid menjadi tau apa yang sebelumnya mereka tidak tau. Mendidik adalah membuat murid mengerti apa yang tidak dimengerti. Melatih adalah membuat murid mampu melakukan yang sebelumnya tidak bisa mereka lakukan. Ketiganya adalah sebuah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang harus dilakukan seutuhnya. “Yang terjadi sekarang adalah banyak guru yang tidak mampu mensinergikan ketiga hal ini. Bahkan, lebih banyak lagi yang tidak tahu akan ketiga dalil ini”, dengusnya. Maka output yang dihasilkan adalah pribadi-pribadi yang tidak lengkap pula, simpulnya. “Pola pendidikan yang paling sempurna, padahal, telah dimiliki dan diterapkan oleh kita, bangsa Minahasa, sejak dahulu kala”.

Falsafah “Touna’as” yang menempel dalam ruang hidup budaya Minahasa, menurutnya, adalah solusi yang paling menjawab bagi permasalahan penurunan mutu pendidikan di tanah ini. Touna’as, yang kemudian saya definisikan sebagai seorang yang memiliki “pengetahuan” ini, adalah sebuah taraf tertinggi penghargaan terhadap person-person yang dinilai outstanding dalam sendi-sendi peri kehidupan masyarakatnya. Adapun “pengetahuan” yang dikandung oleh seorang touna’as adalah perpaduan antara penguasaan akan keterampilan olah fisik, penguasaan pengetahuan kekuatan-kekuatan alam (yang saat ini harus saya kontekstualkan sebagai penguasaan akan science dan teknologi), dan kemudian pengertian mahaluas akan kehidupan, yang mungkin lebih akrab disebut sebagai kebijaksanaan. Niscaya, seseorang dengan kombinasi unsur-unsur ini akan memiliki sebuah “kekuatan” yang luar biasa. Jadi, ternyata, analogi “Knowledge is Power” bukan sesuatu yang baru lagi bagi leluhur kita. “Begitu seharusnya orang Minahasa dididik dan mendidik!”, tandas mner Hengky. Kesalahan terbesar terjadi ketika kita kemudian menerima pola didik yang tidak kompatibel. “Minahasa seharusnya tidak mengimplementasikan falsafah ‘tut wuri handayani’ dalam pendidikan di daerah ini, sekalipun itu mungkin yang menjadi falsafah pendidikan nasional Indonesia, sebab sama sekali tidak sesuai dengan tata kehidupan dan budaya Bangsa Minahasa. Ini kesalahan fatal!”, semburnya. “Cara Jawa mungkin akan berhasil di masyarakat yang menganut sistem masyarakat multi-level, tetapi, maaf saja, tidak akan sukses diberlakukan di masyarakat Minahasa yang horizontal. Jadi, sudah saatnya dunia pendidikan di desentralisasi juga. Let us do things our way!”. Masuk akal, kan?

Tak terasa malam telah beranjak tua. Angin dari bukit Tareran berhembus dingin. Kelas larut malam ini harus ditutup. Sang Guru tua ini meneguk sloki sopinya yang terakhir seraya pamit pulang...






Menyambut Peringatan Verbond 10 Januari 1679

Kebudayaan Minahasa :

Sesuatu yang Terjadi di Hari ini,

Bukan Hanya Kemarin

"... Culture should be regarded as the set of distinctive spiritual, material, intellectual and emotional features of society or a social group, and that it encompasses, in addition to art and literature, lifestyles, ways of living together, value systems, traditions and beliefs". (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), 2002).

Culture? What Culture?

Saya tersenyum geli, ketika pertama kali mendengar lagu makaaruyen yang di-remix dengan sampel-sampel disko dari sound system menghentak sebuah mikrolet. Bukan karena campuran yang lucu itu, tetapi karena akhirnya tiba-tiba ada irama khas Minahasa, yang selama ini oleh sebagian anak muda dianggap sebagai musik “pangge-pangge ujang”, mendapatkan “raga” baru dan pemaknaan baru sehingga bisa kembali tampil melaksanakan tugas, sebagai bagian dari fungsi estetikanya, untuk menghibur manusia yang menciptakannya. Sambil tersenyum, pikiran saya mulai berliar-liar tentang lantai-lantai disko yang sering dipadati clubbers Manado dan mulai mengimajinasikan tubuh-tubuh yang bergoyang diiringi niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko… He he he, saya jadi tergelak, ternyata kebudayaan Minahasa belum mati.

Tapi tunggu, apa lagu remix yang dipakai untuk berkeringat semacam itu bisa dianggap sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “kebudayaan”? Begitu mungkin anda langsung menyanggah. Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita saksikan dalam ritus-ritus dan situs-situs purba? Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita lihat terpampang rapi dalam museum-museum? Bukankah kebudayaan itu adalah kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak terkait, pemerintah terutama, seperti festival kesenian tradisional semacam Maengket, Kawasaran, Pindah Waruga atau yang sejenisnya? Bukankan kebudayaan adalah sesuatu yang agung, indah, dan monumental? Anda tidak keliru, jika kita bicara tentang kebudayaan sebagai sebuah warisan dari masa lalu. Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

  • Kebudayaan material

Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

  • Kebudayaan nonmaterial

Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Tetapi tolong, jangan berhenti sampai pada pemahaman itu saja. Kebudayaan kita bukan hanya sesuatu yang telah terjadi. Sesuatu dari hari kemarin. Kebudayaan kita juga adalah apa yang sedang terjadi hari ini, sekarang. Jadi, sebenarnya gerakan-gerakan yang tadi saya imajinasikan sedang dilakukan di lantai disko Ha-Ha Café tidaklah beda berbudaya dengan serangkaian gerakan seorang penari Maengket! Pula sebuah lagu remix yang mendentum dalam mikrolet punya kesetaraan kultural dengan tembang yang dinyayikan dalam tari Maengket! Mungkin anda bisa saja tersinggung dengan ide seperti ini, tetapi ini dikarenakan kebudayaan juga menurut J.J. Hoenigman, dibedakan menjadi tiga wujud:

  • Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

  • Aktivitas (tindakan)

Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

  • Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Suatu ketika, seorang sahabat yang juga bergiat dalam bidang budaya berkata bahwa tanpa menggali sedalam-dalamnya kultur, lewat berbagai artefak dan praktik, kita tak akan bisa mengerti apapun tentang itu. Beliau memang telah cukup dalam menggali budayanya, terbukti dengan terkumpulnya sejumlah benda-benda kultural di rumahnya, juga dari pengetahuan-pengetahuan meta-kultur yang telah dikuasainya. Saya hampir-hampir setuju dengan pendapat itu. Tetapi saya lantas berpikir: apakah sebagai tou Minahasa, saya dikehendaki oleh leluhur saya untuk kembali membongkar kubur-kubur tua, memburu berbagai mustika dan benda kuno lainnya, yang, meminjam kata-kata yang sering digemakan seorang sastrawan Minahasa saudara Pnt. Fredy Wowor, usaha melap-lap benda usang agar mengkilat kembali? Saya rasa tidak. Kebudayaan Minahasa adalah di hari ini, bukan hanya kemarin.

Ada pula seorang praktisi budaya yang mempertanyakan kepada saya mengapa kebanyakan orang Minahasa praktis sudah meninggalkan tradisi-tradisi shamanisme kuno semisal upacara foso dan, bentuk besarnya, konsep teologi tradisional. Saya katakan bahwa dia salah. Orang Minahasa tidak melupakan semua itu. Akan halnya sistem religi yang universal, ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik menusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.

Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", yang dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Agama tradisional telah menjawab kebutuhan rohani tou Minahasa akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. Dan saat ini, kata saya, orang Minahasa telah menemukan itu semua dalam keimanan mereka terhadap Empung Kasuruan dalam Yesus Kristus. Jabatan shaman saat ini dipegang para pemimpin jemaat. Tidak ada yang berubah.

Beliau kemudian juga berargumen tentang rendahnya minat orang Minahasa saat ini terhadap “pengetahuan-pengetahuan” tradisional semacam ilmu mengendalikan kekuatan alam. Saya tersenyum dan berkata bahwa itu juga salah. Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).

Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

  • pengetahuan tentang alam
  • pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
  • pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
  • pengetahuan tentang ruang dan waktu

Teknologi, saya selalu menggolongkan pengetahuan-pengetahuan semacam itu dalam perspektif ini, adalah segala sesuatu yang menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

Jadi, lanjut saya, jika pada suatu masa leluhur saya menggunakan aspek-aspek teknologi zamannya semacam memakai cidako (yang menurut saya pasti sangat modis pada saat itu), maka saat ini saya sebagai orang Minahasa yang hidup di milenium ketiga memilih memakai jins dan t-shirt. Atau, jika dulu ada peti kayu untuk menyimpan benda berharga, sekarang saya punya flashdisk untuk sesuatu yang kurang lebih sama. Dan, mungkin ini yang paling menarik: kalau dulu nenek moyang saya perlu menggunakan telepati (atau apalah namanya) untuk mengirimkan pesan ke tempat yang jauh, sekarang saya tinggal memencet tombol telepon genggam. Atau, dulu jika ingin berkonsultasi mengenai pengambilan keputusan, kita perlu menghadirkan ruh leluhur dan melihat gejala-gejala alam, baik binatang, tumbuhan, ataupun bintang, sekarang saya akan mengunjungi perpustakaan, bahkan bisa mengakses Internet untuk mendapatkan referensi-referensi yang kurang-lebih berguna sama! Jadi, sekali lagi, tidak ada yang berubah. Saya yakin orang Minahasa tidak pernah meninggalkan aspek-aspek budayanya. Jika kelihatan ada yang berubah, itu karena memang yang berubah adalah yang kelihatan saja, metode fisiknya saja. Sedangkan esensinya, lebih tepat: filosofinya, tetap ada dan tinggal.

Saya katakan kepada rekan itu bahwa saya percaya Kebudayaan Minahasa adalah sesuatu yang everchanging, sesuatu yang terus-menerus berkembang, berubah dan beradaptasi menurut kebutuhan masanya. Kebudayaan Minahasa, menurut saya, bukanlah sebuah finished product, namun sebuah ongoing process. Kebudayaan yang stagnan, yang hanya mengelu-elukan kebesaran dan kejayaan masa lampau, tampa bergerak maju kedepan menyongsong kemajuan dunia, menurut saya adalah kebudayaan yang mati. Kebudayaan yang agung adalah kebudayaan yang menghargai identitas ancient civilization-nya, sekaligus memiliki perspektif suvival yang jauh ke depan.

Redefining Minahasan Culture

Saya dan banyak saudara-saudara tou Muda Minahasa lainnya bergiat dalam usaha-usaha kreatif dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Semuanya dalam sebuah rel pemikiran: Ini dilakukan dengan kesadaran penuh akan “…lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut” tadi. Saudara Jenry Koraag dalam puisinya Mawale menggariskan kata-kata:

aku ingin pulang

tapi bukan kepada batu

karena batu tak mampu mengisahkan

segala kisah tentang sejarah

aku ingin pulang

tapi bukan kepada pohon

karena pohon tak bisa tuturkan

liku jalanan panjang cermin lalu

aku ingin pulang

tapi bukan kepada gunung

karena gunung hanya diam

tak dapat cerahkan coretan alam.

Semua ini adalah usaha sadar untuk kembali “menemukan” apa yang kita harapkan akan diberi label “Kebudayaan Minahasa”. Sesuatu yang lebih dari sekedar “batu” atau “gunung”. Sesuatu yang kelak dapat kita pertanggung-jawabkan di dihadapan leluhur kita dan, terutama, dapat kita wariskan kepada generasi sesudah kita, sampai tiba giliran anak-cucu Lumimuut-Toar untuk kembali meredefinisikan kebudayaan Minahasa di masa mereka. Mawale Movement, - Gerakan Kembali Pulang, begitu kami menyebut ini.

Kami bicara tentang satu hal: Identitas ke-Minahasa-an Cuma bisa ditemukan dengan kembali menata kebudayaannya. Caranya: Seperti yang telah kami lakukan secara estafet beberapa waktu terakhir ini dengan membangun kantong-kantong praktisi seni-budaya muda Minahasa di berbagai pelosok Minahasa. Di Sonder, Wuwuk, Tomohon, Koha, Treman, Kalasey, muncul bangun-bangun budaya Minahasa baru berupa teater, sanggar seni, kelompok tari yang anggotanya para muda-mudi Minahasa yang mulai kembali secara sadar memulai sebuah pencarian identitas sebagai Orang Minahasa. Sebuah identitas yang sudah sedemikian lama secara sistematis dikaburkan agar kita, Orang Minahasa, kehilangan pegangan menuju masa depan.

Sekarang, di penjuru-penjuru Minahasa, ada muda-mudi yang melalui kegiatan seni-budaya macam pentas teater, menulis dan membaca puisi, cerpen dan esay, mementaskan sebuah pentas koreografi, serta memulai proses pengayaan intelektual dengan membaca dan berdiskusi tentang karya raksasa sastra semacam Beowulf dan Shakespeare sampai puisi sederhana karangan seorang anak SMP dari Sonder. Mereka menganalisa Republik-nya Plato sampai Das Kapital-nya Marx, lantas Dekonstruksi-nya Derrida dan tentang Post-kolonialisme. Mereka belajar tentang apa itu Walian, berkenalan dengan Teologi Pembebasan, sampai bagaimana mengkritik Gereja yang korup.

Inilah yang sedang terjadi: Mereka belajar tentang Dunia sambil berseru dengan bangga “Saya Orang Minahasa!”, seraya menjaga keseimbangan spiritualnya secara kontinyu dengan Sang Khalik. Maka, sejarah baru mulai ditulis hari itu juga. Sebuah sejarah yang menempatkan Bangsa Minahasa tidak lebih tinggi namun tidak lebih rendah dari bangsa-bangsa besar manapun di dunia.

Lantas, mengapa sastra (baca: tulisan)? Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari Bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.

Fungsi bahasa secara umum adalah:

Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah:

  • Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari (fungsi praktis).
  • Mewujudkan seni (fungsi artistik).
  • Mempelajari naskah-naskah kuno (fungsi filosofis).
  • Untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, bukan begitu? Dalam arti: ini tak akan lekang dimakan zaman.

Mengapa? Karena salah satu kelemahan “Kebudayaan” yang hanya mengacu pada artefak dan aktifitas adalah kecenderungan untuk menjadi apa yang dijabarkan sebagai "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture), yang pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas , seni tingkat tinggi, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".

Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature). Saya bukan sedang berkata bahwa usaha-usaha yang membawa kebudayaan Minahasa ke atas pentas-pentas raksasa dan massif, sebagaimana yang akhir-akhir ini sering kita lihat, adalah sesuatu yang negatif. Bukan. Yang sedang berusaha saya sampaikan adalah kebudayaan Minahasa harusnya menjadi milik masyarakatnya, bukan pentas-pentas seni-budaya yang memerlukan dana ratusan juta (mungkin milyaran) rupiah sekali even. Memang, efek yang dihasilkan adalah bahwa kebudayaan terlihat menjadi sesuatu yang grandeur, sesuatu yang agung. Tetapi, eksesnya pada tataran seperti ini, kebudayaan justru mendapatkan label sebagai sesuatu yang wah, mewah, mahal dan, ini yang utama, tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Selanjutnya, dalam skenario terburuk, orang Minahasa akan menolak kebudayaannya sendiri, menyangkal identitasnya, dan kemudian menghancurkan eksistensinya sebagai bangsa! Pengembangan kebudayaan semestinya berujung-pangkal pada pemeliharaan akar konseptualnya, pada anyone, pada diri semua masyarakat yang melahirkan kebudayaan itu.

Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu — berkebudayaan dan tidak berkebudayaan — dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik pop sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama — masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan.

Demikian halnya lagu disko remix tadi, yang dentumannya saya yakin telah merambat sampai ke sudut-sudut terdalam tana’ Minahasa, biarlah menjadi contoh yang menjadi penyadar bagi kita bahwa esensi kebudayaan Minahasa adalah kemampuan untuk selalu dapat memahami kontekstualitas kehidupan hari ini. Memang, sejarah selalu diciptakan hari ini. Kebudayaan Minahasa adalah di hari ini, bukan hanya hari kemarin. Niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko…

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan-tulisan Anda sangat inspiratif. Dalam rangka memuculkan penulis-penulis Kristen kreatif, akan diselenggarakan

festival penulis dan pembaca kristiani. Salah satu pre-event adalah lomba menulis cerpen dan novelet berdasar Alkitab. Anda

mungkin berminat untuk ikut? Info lengkap dapat Anda klik di Lomba Menulis Cerpen dan Novelet Berdasar

Alkitab