Aku Disini: Selalu


Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian

Kata-kata indah tentang

Kau-

Aku-

Yang menunggu waktu untuk dilahirkan

Yang menanti saat untuk ditemukan

Di atas kertas ini

Di halaman-halaman setelah ini

Tetapi aku memilih untuk menunggumu

Kembali-

Nanti-

Dan membisikkan kata-kata itu ke telingamu

"Kembali ke Jalan yang Benar: MARI MENJADI ANARKIS!". - Sebuah esei

“In the minds of the general public, anarchism stands for an endorsement of anarchy, which is thought by many to mean a state of chaotic lawlessness. It would therefore seem to be diametrically opposed to the affirmation of community. In fact, anarchism refers to two absolute, apparently contradictory but complementary virtues toward which a good life must strive: the integrity of the individual human conscience, resistant to the dictates of both institutional power and the mob; and the dedication of the individual to the general good”.
(Encyclopedia of Community:
From the Village to the Virtual World)


Sebelum Anda Membaca…
Pembaca yang terhormat, jika anda terkejut dengan judul tulisan ini, saya tidak akan menyalahkan anda, malah mungkin justru anda yang buru-buru menyalahkan saya. Maka, tetaplah terus membaca, sebab mungkin anda akan mengkoreksi pemikiran anda itu, paling tidak sedikit demi sedikit. Tetapi, saya tidak menulis untuk mempengaruhi anda. Anda tidak perlu percaya kepada saya, sebab anda punya hak untuk tidak percaya kepada saya. Saya menulis tulisan ini agar anda mengerti apa yang sedang saya pikirkan. Mudah-mudahan di akhir tulisan ini saya sebagai penulis dan anda sebagai pembaca bisa saling baku mangarti.

Mengartikan Anarkisma
Penggunaan kata anarki yang tertua ditemukan pada naskah drama karya Aeschylus, Seven Againts Thebes, bertahun 467 SM. Dalam naskah ini, tokoh Antigone menolak menjalankan perintah dari penguasa dengan kalimat “ekhous apiston tênd anarkhian polei”. Mengartikan apa itu Anarkisma adalah sesuatu yang tidak gampang, mengingat kata ini telah terlalu lama dilekati oleh lebih banyak makna negatif. Media-masa kini yang menggunakan kata “anarkis” sebagai sebuah terma yang menggambarkan aksi-aksi destruktif, vandalis, dan khaotik, malah memperburuk pemaknaan. Bereferensi kepada “bahasa media”, yang seharusnya adalah bahasa “orang-orang terdidik” (baca Rudolf Rocker: Anarkisme & Anarko-Sindikalisme), ternyata tidak akan banyak membantu kita mengerti banyak, sebab bagaimanapun media bertendensi untuk menggunakan kata-kata yang “eye/ear catching” dan kedengaran bombastis agar lebih menarik perhatian publik. Lucunya, pelajar dan akademisi juga latah memahami kata ini hanya dari makna negatifnya. Pejabat Pemerintahan malah seolah “melegalkan” makna negatif ini lebih lanjut. Pemaknaan Anarkisma secara negatif sebenarnya bermula dari penggunaan kata ini dalam Perang Saudara Inggris (English Civil War) oleh para Royalist, pendukung monarki/imperialisma, untuk menghujat dalam orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Anarchism terderivasi dari bahasa Grika ἀν (tanpa) + ἄρχειν (pemerintah) yang secara lebih bebas berarti "tanpa penguasa". Sebagai pengimbang, mungkin akan lebih netral jika kita mencoba mengartikan kata ini secara “bahasa kamus”. Webster Dictionary mengartikan Anarki sebagai “non-existence or incapability of govermental rule”, ketiadaan atau ketidakmampuan kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, Anarkisma didefinisikan dalam buku The Concise Oxford Dictionary of Politics sebagai "the view that society can and should be organized without a coercive state." Pengartian selanjutnya dapat kita temukan dalam Dictionary of Politics and Government yang menulis: anarchism sebagai “the belief that there is no need for a system of government in a society” dengan tambahan komentar: “Anarchism flourished in the latter part of the 19th and early part of the 20th century. Anarchists believe that there should be no government, no army, no civil service, no courts, no laws, and that people should be free to live without anyone to rule them”.
Saya kemudian menemukan kesimpulan dalam The Concise Oxford Dictionary of Politics yang menggambarkan Anarkisma sebagai "a cluster of doctrines and attitudes centered on the belief that government is both harmful and unnecessary”, Anarkisma adalah sebuah faham yang menganggap pemerintahan/kekuasaan adalah sesuatu yang tidak perlu, bahkan pada ekstrimitasnya, berbahaya.
(Sampai pada titik ini, mungkin ada lebih baik anda coba menganalisa kembali makna Anarkisma yang selama ini telah ada di benak anda sebelumnya, dibandingkan dengan makna Anarkisma yang saya paparkan diatas. Jangan langsung terpengaruh oleh kata-kata saya, anda saya sarankan untuk membaca terus.)

Memahami Anarkisma
Walau masih diperdebatkan bukti-bukti antropologisnya, Harold Barclay dalam People Without Government: An Anthropology of Anarchism menuliskan bahwa umat manusia telah hidup ribuan tahun dengan damai dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Jared Diamond, penulis The Worst Mistake in the History of the Human Race, menggambarkan Masyarakat Adat sebagai sangat egaliter. Kemunculan masyarakat hirarkislah yang kemudian menciptakan politik dan melahirkan pemaksaan kekuasaan dalam bentuk kekerasan. Louis-Armand, Baron de Lahontan, dalam bukunya yang dipublikasikan tahun 1703, “Nouveaux voyages dans l'Amérique septentrionale” (New Voyages in Northern America), menggambarkan penduduk asli Amerika yang tak memiliki negara, hukum, dan penjara, sebagai sebuah masyarakat anarki.
Ide awal Anarkisma sebagai sebuah perspektif pemikiran lahir sebagai respons terhadap represi kekuasaan dan institusi politik. Filsuf Zeno dari Citium, pendiri mashab Stoik, berargumen dengan Plato bahwa akal harus menggantikan kekuasaan/pemerintahan dalam membina unsur-unsur kemasyarakatan. Ia berpendapat bahwa dalam walaupun dalam insting manusia telah terpatri “egoisme”, kita juga dikaruniakan “rasa sosial” sebagai penyeimbang. Filsuf Arristippus, seperti dikutip Sean Sheehan dalam bukunya Anarchism, berkata bahwa “yang bijak seharusnya tidak memberikan kekuasaan kepada negara
Dalam dunia filsafat timur, Lao Tze, seperti tergambar dalam Tao Te Ching, mengembangkan filosofi “tanpa kekuasaan” yang kemudian mengantar para penganut Taoisma hidup dalam pola Anarkisma. Para penganut Anarkisma Nasrani berpendapat bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari “kekuasaan Tuhan”, dan menentang segala bentuk kekuasaan lain yang “didirikan manusia”. Ajaran Kristus dinilai sangat mengandung nilai-nilai Anarkisma dan kehidupan jemaat mula-mula juga jelas-jelas mempraktekkan hal yang sama. Kelompok Kristen Anabaptis di Eropa pada abad 16 adalah para praktisi Anarkisma Nasrani. Bertrand Russell dalam bukunya History of Western Philosophy menulis bahwa penganut Anabaptis "repudiated all law, since they held that the good man will be guided at every moment by the Holy Spirit...". Sepanjang sejarah umat manusia, banyak gerakan religius yang meletakkan landasannya di atas pemahaman Anarkisma.
The Oxford Companion to Philosophy, berkata bahwa "there is no single defining position that all anarchists hold, beyond their rejection of compulsory government, and those considered anarchists at best share a certain family resemblance". Pilar-pilar Anarkisma mendukung: otonomi, perdamaian, konsensus, kooperasi, partisipasi, kolektivitas, de-birokrasi, persamaan hak dan kewajiban, persamaan derajat, saling tolong menolong, kepemilikan pribadi, kesadaran dan kebebasan berkumpul dan asosiasi pekerja independen, penyelamatan alam, perlawanan budaya. Anarkisma sendiri menolak: autoritarisma, pensensoran, kekerasan, ekploitasi, hirarki sosial (pengkastaan), fasisma, imperialisma, paternalisma, politisasi/kekuasaan agama, statistika massa, sosialisma negara dan ekonomi terencana.
Adalah Pierre-Joseph Proudhon yang kemudian dianggap sebagai yang pertama mendeklarasikan diri sebagai seorang anarkis, melalui bukunya yang menghebohkan, What is Properti?, terbit tahun 1840. Kalimat yang paling terkenal dari karyanya ini adalah "Liberty is the mother, not the daughter, of order”. Oleh karena pemikirannya ini, Ia disebut-sebut sebagai penggagas dari Anarkisma Modern. Proudhon mengoposisi dua paham, Kapitalisma dan Komunisma sekaligus. Dan, oleh karena pilihan ideologinya inilah Anarkisma akhirnya harus mengalami rongrongan dari “dua kubu besar” ini. Jadi, agaknya kurang tepat jika ada yang mengatakan jika Anarkisma adalah “sempalan” dari Komunisma. Tokoh Anarkisma, Mikhail Bakunin, pada konferensi “The First International” tahun 1864 menolak keras Autoritarianisme yang menjadi sendi dasar dari Komunisma.
Alexander Bergman, David D. Friedman, Emma Goldman, Shusui Kotoko, Peter Kropotkin, Errico Malatesta, Nestor Makhno, Buenaventura Durruti, Voltairine de Cleyre, Hakim Bey, Saul Newman dan setumpuk nama lainnya adalah tokoh-tokoh Anarkisma selanjutnya. Banyak juga tokoh-tokoh dalam sejarah secara tidak langsung mengaku bahwa ia Anarkis, namun dalam secara ideal dan praktis mereka menganut Anarkisma. Beberapa diantaranya adalah: Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, Gustave de Molinari, Guy Debord, William Godwin, Howard Zinn, Noam Chomsky, Jack Kerouac, dan, jangan kaget, Thomas Jefferson, Mohandas Gandhi, dan Karl Marx!
Thomas Jefferson, seorang pendiri Amerika Serikat, seorang penjunjung Demokrasi, mendukung Anarkisma dan mengkritik kekorupan sistem governansi Eropa dengan berucap: "The basis of our governments being the opinion of the people, the very first object should be to keep that right; and were it left to me to decide whether we should have a government without newspapers or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to prefer the latter. But I should mean that every man should receive those papers and be capable of reading them. I am convinced that those societies (as the Indians) which live without government enjoy in their general mass an infinitely greater degree of happiness than those who live under the European governments. Among the former, public opinion is in the place of law and restrains morals as powerfully as laws ever did anywhere. Among the latter, under pretense of governing, they have divided their nations into two classes, wolves and sheep. I do not exaggerate. This is a true picture of Europe”.
(Sekali lagi, saya tidak sedang mempengaruhi anda. Saya yakin, anda cukup bisa menemukan makna yang paripurna. Tinggal sebuah bagian singkat lagi dalam tulisan saya ini. Tidak ada ruginya untuk terus membaca, bukan?)

Menjadi Anarkis!
Anarkisma memang bukan sebuah falsafah yang sangat sempurna, sebagaimana juga falsafah manapun di dunia ini. Saya tidak akan menyembunyikan fakta bahwa memang ada segelintir anarkis, mereka yang terpengaruh dengan “Nihilist Movement” di akhir abad ke-19 lalu, yang tiba pada sebuah pemahaman bahwa sesekali waktu perlu pelaksanaan “Propaganda of the Deeds”, yang salah satu metode taktisnya melibatkan “pernyataan publik” yang menggunakan tindakan-tindakan yang kemudian diterjemahkan sebagai kekerasan. Metode ini dalam kalangan anarkis sendiri sangat ditolak dan dicerca. Namun, secara umum pada prakteknya, Anarkisma adalah sebuah paham politik yang dalam menuju cita-citanya, masyarakat anarki/utopia, menentang kekerasan dalam bentuk apapun.
Memang, label Individualisma, sosialisma, kolektivisma, mutualisma, serta label-label lainnya terus-menerus tertempel pada Anarkisma. Tetapi, sebagaimana rekaman sejarahwan George Richard Esenwein dalam bukunya "Anarchist Ideology and the Working Class Movement in Spain, 1868–1898" yang mencatat seruan “Anarkisma Tanpa Kata Sifat” dari Fernando Tarrida del Mármol sebagai ajakan untuk bertoleransi, ditambah dengan sifat-sifat dasarnya yang egalitarian, indigenous, feminist, ecological dan cultural-concious, saya menganggap bahwa Anarkisma adalah sesuatu yang layak kita pandang sebagai sebuah solusi untuk menghadapi kompleksitas permasalahan Umat Manusia hari ini. Saya tertarik kepada statement David Graeber and Andrej Grubacic, dalam buku "Anarchism, Or The Revolutionary Movement Of The Twenty-first Century" yang memberikan argumen bahwa oleh karena Anarkisma bukan sebuah paham yang “diciptakan” oleh seseorang saja, maka ia berkencerungan untuk terus berkembang berdasarkan prinsip-prinsip praktis yang lebih subjektif namun tidak melupakan objektifisma, dan secara alami men-disable fanatisme. Nature dari Anarkisma adalah “open doctrine” yang membuka ruang seluas-luasnya untuk kreativitas, kontekstualitas, serta identitas.
Pada akhir tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa maksud tulisan ini adalah pertama: meluruskan pengertian Anarkisma, dan kedua: untuk menyampaikan bahwa, setelah saya sebelumnya pernah berkata “Panggil Saya Orang Minahasa”, sekarang, jika anda perlu label lain, maka Panggil Saya Seorang Anarkis.
Anda?...

0 komentar: