Aku Disini: Selalu


Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian

Kata-kata indah tentang

Kau-

Aku-

Yang menunggu waktu untuk dilahirkan

Yang menanti saat untuk ditemukan

Di atas kertas ini

Di halaman-halaman setelah ini

Tetapi aku memilih untuk menunggumu

Kembali-

Nanti-

Dan membisikkan kata-kata itu ke telingamu

Novelet "VALE" - Terbit 2005

GIRUN

“Paman, lihat...!” Lera berseru gembira sambil menunjuk-nunjuk layar pantau di ruang kendali. Layar itu sedang menampilkan gambar hidup hasil serapan sensor dari kuadran 5. “Lihat! Bintang berekor Epotril sedang melintasi orbit planet Mira! Dekat sekali... wah pasti jaraknya tidak lebih dari 100.000 emmo, ya!” celotehnya dengan bersemangat. Wajar kalau dia bergitu senang, sebab pada saat seperti inilah, saat Epotril melintasi orbit Mira, ia dilahirkan. Tak terasa, Lera sudah berusia 6 Siklus. “Waah, aku harus merayakan ini! Ya, aku akan ke ruang hidropon untuk memetik mayes buat kita semua!” belum selesai bicara ia sudah berlari-lari ke transporter. Dalam waktu singkat, pasti Ia sudah tertawa-tawa memetik mayes. Ruang hidropon, kebun kami, terletak di paviliun terbelakang dari rumah kami, pesawat meta antar kuadran Vale 9.

Namaku Girun. Usiaku 28 Siklus. Aku pengawas meta di Vale. Aku bertugas mengawasi dan memperbaiki Vale dari setiap kerusakan yang diakibatkan malfungsi logam, disamping bekerja di ruang kendali sebagai peneliti sensor. Kerusakan ini lumrah terjadi pada pesawat antar kuadran semacam Vale, karena masih berteknologi meta. Akhir-akhir ini kerusakannya semakin banyak dan sering saja. Kadang aku harus bekerja puluhan gillus untuk memperbaiki satu kerusakan saja. Walaupun semua penghuni Vale memiliki kemampuan mereparasi meta, aku tak tahu berapa lama lagi Vale bisa tahan hujan kosmik jika kami nantinya kehabisan meta untuk memperbaiki setiap kerusakan. Kalau di pikir-pikir... jika saja kami sempat, pasti kami menggunakan pesawat antar kuadran Deya yang tidak lagi menggunakan meta, tapi... semuanya terjadi begitu cepat... ah, masih tergambar jelas dimataku kejadian yang tak akan pernah kami lupakan itu. Ketika aku masih kanak-kanak, hampir 20 Siklus yang lalu...

“Cepat! Cepat! Kita tidak punya banyak waktu lagi! Krosus akan segera mencapai kulminasinya beberapa saat lagi! Zirah kita mungkin tidak dapat bertahan lagi! Segera menuju pangkalan! Anak-anak mendapat prioritas utama... transporter akan menjemput sesaat lagi!...” Suara dari omnicom menggema tanpa henti. Aku masih sempat memperhatikan ayahku sedang mencoba menghidupkan razo tuanya. Sayang, benda itu sudah kehabisan tenaga. Kalaupun itu nantinya hidup, paling-paling sekali dua kali bidik selesai sudah. Kami bangsa Minua sudah terbiasa hidup dalam zirah sehingga senjata-senjata kamipun karatan. Sehingga setiap kali kami sedang diserang musuh, semua pertahanan kami diserahkan kepada zirah yang memang tak mudah ditembus mereka. Zirah kami adalah sebuah tameng parabolik dari lapisan sinar yang digenerasikan dari beberapa buah pembangkit getaran. Selain melindungi kami dari agresi musuh, zirah ini juga melindungi kami dari atmosfer luar yang membakar. Sumber tenaga pembangkit-pembangkit getaran tersebut adalah sebuah mineral mirip bebatuan misterius yang disebut-sebut telah sangat tua. Kami menyebut bebatuan ini Maccatans. Kami percaya bahwa selama kami masih memiliki tameng, kami akan selalu terhindar dari segala gangguan. Memang, dalam ribuan tahun sejarah bangsa kami, tak sekalipun zirah kami gagal. Tetapi, kemudian bangsa kami menjadi terbiasa mengandalkan zirah sebagai pelindung satu-satunya. Tetapi ternyata zirah bukan tanpa kelemahan. Kali ini ketiika musuh kami, bangsa Mass, telah berhasil menemukan teknologi pemancar gelombang krosus yang jika berkulminasi akan mampu melelehkan mineral dari jarak jauh dan mendidihkan udara sampai berjuta-juta pass sehingga berhasil membuat pembangkit-pembangkit getaran zirah mulai goyah. Sudah beberapa hari kami dikepung bangsa Mass dan menurut kabar yang kami terima Maccatans sudah mulai meleleh. Kali ini berita akan melemahnya zirah kami telah beredar luas. Itulah mungkin yang menyebabkan orang-orang lebih was-was dari biasanya. Semua keluarga di blok kami sedang bersiap-siap mengungsikan anak-anak mereka. Ibuku sedang membantu ayahku mengenakkan jaket anti suhu tinggi saat jemputan tiba. Ia membawa aku keluar kabin. Sayang, ibuku akan tinggal dan turut bertahan. Ia berdiri disamping jalan ketika aku dan beberapa temanku di bimbing oleh beberapa petugas kedalam transport. Didalam tidak terlalu penuh. Hanya beberapa anak seumuran tiga-empat siklus dan seorang gadis kecil yang lebih tua dariku. Ibuku kelihatan berkaca-kaca sambil melambaikan tangannya. Sebelum kami bergerak pergi, aku melihat ayahku tersenyum saat razonya hidup. Kemudian Ia tersenyum padaku... senyum yang aneh untuk suasana darurat seperti ini. Sepertinya ayahku yakin bahwa aku akan baik-baik saja. Itu senyum terakhirnya padaku...

Di pangkalan kumpulan anak-anak, kebanyakan dibawah 10 siklus, sudah ramai. Ada ribuan, tetapi cuma sedikit yang lebih tua dari 13 siklus. Pasti yang lebih tua sudah merasa mampu bertahan dan rela menyumbang tenaga untuk bertempur mempertahankan Wantua, koloni kami. Keadaan riuh dengan suara anak-anak yang bertanya-tanya sebab kami umumnya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kemudian kami dibahagi menjadi beberapa kelompok yang entah apa maksudnya selalu seimbang jumlah anak lelaki dan perempuannya. Seorang Waran bersenjata razo model terbaru melalui layar besar memberitahukan bahwa kami akan dibawa ketempat aman dengan pesawat dan setiap kelompok akan ditemani satu tim Waran yang juga akan menjadi pengendara pesawat antar kuadran kami. “Anak-anak, jangan takut karena kalian akan segera kembali kekeluarga kalian setelah ancaman gelombang krosus lewat”, tambahnya. Didalam hati aku mulai merasa bahwa ini bukan ancaman biasa. Bangsa Mass memang sudah sering melancarkan serangannya, dan biasanya kami selalu terlindungi zirah yang megitari koloni kami. Tetapi, kali ini aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi.

Tersedia ratusan pesawat yang siap mengangkut kami. Tiap pesawat mampu menyangga kehidupan untuk kurang-lebih seratus orang. Dalam setiap pesawat terdapat kapasitas memproduksi makanan melalui tumbuhan hidropon, daging sintetis, serta pendaur air dan udara. Ada dua jenis pesawat yang masih tersedia di pangkalan yaitu kelas Vale dan kelas Deya. Yang terakhir ini lebih baru teknologinya. Katanya laju pesawat ini hampir tiga kali dari Vale. Kebetulan aku kebagian tempat di Deya 13. Aku dan beberapa anak lain sedang melangkah dibimbing seorang Waran menuju pesawat kami ketika tiba-tiba terdengar sebuah teriakan dari omnicom, “Sudah dimulai!... Sudah Dimulai!... Kulminasi sudah dimulai! Zirah hancur! Diulangi, ZIRAH HANCUR! Luncurkan semua pesawat!... Selamatkan mereka...!”. Keadaan menjadi tidak terkendali. Kami mulai berlarian kesana-kemari. Suara gelegar menggema dimana-mana. Anak-anak panik dan berteriak-teriak ketakutan. Ledakan demi ledakan menggoncang. Rupanya zirah kami tidak lagi mampu menahan gelombang panas akibat kulminasi krosus. Pangkalan mulai merah oleh api yang membakar benda-benda yang meledak tadi. Beberapa pesawat juga mulai meleleh. Sebagian tertimpa logam akibat ledakan. Beberapa mencoba meluncur namun jatuh berkeping-keping. Suara tangis dan erangan bercampur jadi satu. Aku turut berlarian mencari pesawat yang bisa meluncur, namun pandanganku tertutup asap. Kulitku mulai terasa panas. Aku sedang melompati beberapa kepingan logam pecahan pesawat yang merah membara ketika terhempas akibat runtuhnya sebagian pelataran pangkalan. Pada saat itu aku kehilangan kesadaran. Semua gelap. Samar-samar aku merasa ada yang menggendongku...

Ketika sadar, sudah berada di Vale 9 dan kami sudah jauh dari Wantua, mungkin sudah puluhan ribu emmo. Hampir 3 gillus aku pingsan, sekarangpun masih amat pusing. Aku di baringkan di ruang pemulihan, tepat di samping ruang kontak. Samar-samar kudengar pesawat kami berusaha menghubungi Wantua, namun tidak ada respon. Aku memaksa turun dari dipan dan mendekati ruang kontak. Di layar sensor utama aku melihat visual yang sangat mengerikan... Wantua sedang membara di kejauhan. Aku mendengar Vale 9 kemudian berusaha mengkontak pesawat-pesawat lain namun hasilnya nihil. Semua gelombang komunikasi bungkam. Kelihatannya, Vale 9 adalah satu satunya pesawat yang sempat meluncur sebelum pangkalan hancur, dan mungkin... kamilah satu-satunya kelompok dari bangsa Minua yang masih tersisa.

Ketika kami mencapai 50.000 emmo, seorang Waran pengendara, satu-satunya orang dewasa yang tersisa dan sempat menyelamatkan kami dengan pesawat ini, mengumpulkan kami di ruang besar. Waran itu bernama Rumon. Ternyata hanya puluhan anak yang berhasil dimuat Vale 9 dan semuanya masih kecil, malah ada yang baru 3 siklus. Kami merengek-rengek untuk kembali ke Wantua. Wajar memang, karena beberapa dari kami masih terlalu kecil dan sedang ketakutan. Kemudian dengan suara perlahan namun berwibawa Rumon berkata, “Anak-anak dengan berat hati saya harus mengabarkan bahwa Wantua sudah lenyap. Tidak ada lagi yang tersisa disana. Semua yang kita pernah lihat dan kenal telah tiada. Kitapun tidak bisa kembali kesana. Kalau kita kembali, kita kemungkinan besar akan dibunuh atau diperbudak Bangsa Mass yang kejam itu. Pesawat-pesawat lain juga tidak berhasil dihubungi. Kini kita sebatang kara”. Tangis anak-anak yang rindu rumah dan orang tua terdengar balas-membalas apalagi dari gadis-gadis kecil. “Sudahlah, jangan bersedih. Kita malah mesti bersyukur bahwa kita masih hidup. Dan ini bukan akhir dari kita, bangsa Minua. Memang, kita tidak berhasil mengkontak Wantua dan pesawat-pesawat lain. Tetapi, Vale 9 sempat menerima transmisi data tujuan kita secara rinci dari pusat komando kita sesaat sebelum hancur. Kita akan menuju Males! Kesanalah tujuan kita. Kita akan kembali ke asal kita!” tambahnya antusias namun terselip nada berusaha menghibur kami. Males!... Negeri yang disebut-sebut asal bangsa Minua jauh sebelum menempati koloni Wantua ribuan atau mungkin puluhan ribu siklus yang lalu! Negeri tempat para nenek moyang kami lahir! Negeri yang cuma terdengar dalam dongeng-dongeng sebelum kami tidur! Ah... bukankah itu hanya legenda belaka? Apakah tempat itu benar-benar ada? Tidak ada yang pernah mampu membuktikan jika Males benar-benar ada. Tempat itu mungkin cuma rekaan belaka! Tapi, keraguan-keraguan itu harus ku lupakan dahulu. Saat ini, yang terpenting adalah memiliki harapan. Males adalah satu-satunya harapan kami. Vale 9 telah memiliki koordinat Males dari program navigasi dasarnya. Data posisi Males adalah data yang diambil dari gulungan-gulungan kuno yang diwariskan turun-temurun. “Males adalah sesuatu yang nyata. Menurut gulungan-gulungan tua, Males teletak nun jauh di kuadran 999. Memang, tidak pernah ada pesawat buatan bangsa kita sebetapapun canggihnya pernah mencapai jarak sejauh itu. Tidak disebut dalam data tentang berapa lama perjalanan ini akan berlangsung, tetapi kita memiliki Vale 9. Tetapi jika nenek moyang kita bisa menempuh perjalanan dari Males ke Wantua dahulu, berarti kitapun dapat melakukan hal yang sama. Kita akan tetap terus menuju Males dan suatu saat nanti kita pasti tiba!”, Rumon meyakinkan. Entah data itu memang memberikan posisi yang sebenarnya atau tidak, kami tidak tahu. Maka, mulailah perjalanan kami mengarungi ruang angkasa untuk mencari Males.

“Paman Girun, ini mayesmu!” lamunanku buyar seketika. Lera telah berdiri dihadapanku dengan mata berbinar-binar sambil mengacung-acungkan beberapa untai mayes yang ranum. “Ini , aku pilihkan yang paling merah untukmu. Aku akan membagikan mayes kepada yang lain yaa...!”. Ia pun lari menghilang lagi. Membagikan mayes memang adalah tradisi kami setiap menghadapi siklus baru. Lera adalah generasi ke dua di Vale 9. Ayah dan ibunya adalah teman-teman seperjalananku dari Wantua menuju Males yang akhirnya tumbuh dewasa kemudian menikah dalam perjalanan. Sudah ada banyak pasangan yang akhirnya menikah di Vale 9, sayangnya aku belum seberuntung mereka. Kini anak-anak mereka menjadi keceriaan tersendiri di Vale 9. Mereka jadi alasan bagi kami untuk tetap bertahan mencari Males. Ya, Lera, seperti juga teman-teman sebayanya, tidak lagi mengenal Wantua. Ia lahir dan dibesarkan di sini, di Vale 9...

***

RUMON

Aku yang menyelamatkan Girun. Ketika dia terhempas untuk kedua kalinya kebawah runtuhan pelataran, kebetulan aku sedang berlari ke pesawatku. Aku harus melompati beberapa lobang yang menganga untuk mencapai tubuh kecilnya itu. Dia sudah tidak sadar ketika aku membopongnya tepat sebelum tiang penyangga balkon ruang pengawar runtuh. Kalau terlambat sepersekian detik saja pasti ia, dan mungkin juga aku, sudah menjadi kerupuk gosong! Padahal Vale 9 sebenarnya bukan pesawat yang akan aku kemudikan, namun entah mengapa aku justru memilihnya. Ya... aku memilihnya ketika keadaan sudah mencapai saat yang benar-benar kritis. Tiang penyangga pangkalan sudah mulai goyah ketika mataku tertuju pada pesawat ini. Padahal sebenarnya ada dua pesawat Deya yang masih utuh bersebelahan dengan Vale 9, tetapi... aku justu berlari ke sini. Mungkin ini cuma perasaanku saja... justru bukan aku yang memilihnya...tidak... Vale 9 lah yang memilih aku! Ketika pintu lambungnya terbuka, ternyata sudah ada puluhan anak kecil yang bersembunyi ketakutan didalam. Kebetulan, Vale 9 di parkir di bagian tertinggi pangkalan yang sebenarnya bukan diperuntukkan buat pesawat sebesar Vale. Biasanya transporter kelas Talda yang ditempatkan di bagian ini. Entah mengapa kali ini pangkalan membuat suatu kesalahan. Mungkin karena letaknya paling tinggi dan jauh dijangkau, hanya sedikit anak-anak yang mampu mencapainya. Sebelum pintu lambung kukunci, aku berusaha melongok kembali ke pelataran kalau-kalau ada lagi anak-anak yang berhasil menyelamatkan diri dari kekacauan dan kehancuran yang sedang berlangsung... dan benar, dikejauhan, disela sela asap hitam dan silau ledakan inilah kulihat seorang bocah terpental. Wajahnya yang telah hitam oleh asap rasanya cukup familiar. Tetapi siapa...? Sesuatu berkelebat di benakku. Aku terhenyak. Girun! Aku kenal baik Welo, ayah Girun. Kami teman sepermainan semenjak kecil. Walau kami tinggal agak berjauhan, kami kemudian memempuh pendidikan pada Wakian yang sama. Bersama beberapa anak-anak lainnya kami menempuh pendidikan dasar pada Wakian Rowor, seorang tetua berambut panjang dan berjubah merah darah. Ia adalah satu dari sekian banyak Wakian yang terdapat di Wantua Tengah. Memang, ia tidak setenar Wakian-Wakian lain , namun ada sebuah keunikan yang tidak dimiliki oleh Wakian lainnya. Diantara semua Wakian, baik di utara maupun di selatan, hanya dialah yang masih memelihara kepercayaan lama bangsa kami yakni kepercayaan terhadap kekuatan Topoka, sebuah kepercayaan akan adanya kekuatan yang maha besar di langit. Kekuatan ini dianggap sebagai asal dari segala benda yang pernah ada, yang ada, dan yang akan ada. Sayangnya, kepercayaan ini sudah dianggap sangat kuno dan telah ditinggalkan oleh bangsa kami, mungkin sejak kami mulai memasuki era perdagangan antar kuadran ratusan tahun silam. Wakian Rowor adalah mungkin yang terakhir dari para Wakian yang masih teguh memegang kepercayaan ini. Walau demikian, kami para muridnya tidak pernah dipaksanya untuk percaya kepada kepercayaan ini. Aku pada awalnya pun tidak perduli apakah Topoka ada atau tidak. Itu tidak penting untukku. Yang aku senang dari berguru pada Wakian Rowor adalah bahwa ia gemar sekali mendongeng. Di antara pergantian kelas kami akan bekumpul mengelilinginya di ruang didik ilmu bintang dan mulailah ia bercerita tentang legenda-legenda zaman dahulu... kisah-kisah tentang kepahlawanan para Waran dimasa lalu... cerita tentang asal usul Wantua... tentang nenek moyang kami... dan tentang Males...

Aku dan ayah Girun akhirnya percaya cerita-cerita Wakian Rowor. Mungkin awalnya Cuma didorong rasa ingin tahu anak-anak, tetapi kami kemudian menjadi begitu antusias. Bahkan sampai saat kami telah menyelesaikan pendidikan padanya sekalipun, kami masih sering berdiskusi akan kemungkinan dimana Males sebenarnya berada. Kami bermaksud membuktikannya secara teknis dan ilmiah. Ini terus berlangsung sampai kami masuk Pendidikan Besar. Kami berdua mulai mencari data-data tentang keberadaan Males sampai kepelosok-pelosok ruang arsip sekolah. Tidak puas dengan minimnya hasil yang kami peroleh dari situ, kami mulai mencari kesumber apa saja yang terpikir oleh kami. Tak sedikit teman-teman kami yang heran dan bahkan mencemooh usaha kami sebagai sesuatu yang absurd dan buang-buang waktu. Tetapi, kami berdua tidak kecil hati. Sesuatu dari dalam jiwa kami seakan-akan menyuruh kami untuk tetap mencari. Sebuah dorongan yang begitu besar seakan menguasai kami. Seperti dorongan kerinduan seorang pengembara akan kampung halamannya. Seluruh penyimpanan data yang dapat kami akses telah kami telusuri, bahkan sampai ke bank data terlengkap Wantua sekalipun! Namun, semua tentang Males sepertinya telah hilang. Tak ada data kongkrit yang kami temukan kecuali dongeng-dongeng tutur tentang tanah nenek moyang kami itu. Mungkinkah ada yang sengaja menghapus semua memori tentang Males? Mungkinkah ada yang sengaja menghapus hubungan kami dengan leluhur kami? Mungkin ada yang sengaja hendak mencabut kami dari akar kami! Tapi siapa? Mengapa?

Akhirnya, pencarian kami membawa kami berdua kembali kepada Wakian Rowor. Usianya sudah sekitar 80an siklus dan tengah terbaring lemah ketika kami berdua menemuinya di kabinnya. Sebelum kami bahkan membuka mulut akan maksud kami ia sudah menggumam pelan, “Mari anak-anakku, mendekatlah... Males menunggu kalian!” kami pun terhenyak karena heran. Ia bangkit dengan susah payah dari ranjangnya dan tertatih-tatih ke ruang belajar ilmu bintang. “Cepat, anak-anakku... waktuku tidak lama lagi. Begitu pula Wantua...” lanjutnya dengan nada penyesalan. Aku sempat berpikir akan makna ucapannya itu. Apa maksudnya bahwa Wantua sudah tidak lama lagi? Tetapi pikiran itu cepat pergi. Di ruangan itu kami duduk saling berhadap-hadapan. Wakian Rowor kemudian mengeluarkan sebuah tabung berwarna hitam dari balik jubahnya merahnya. “Tidak banyak yang tersisa dari ramuan leluhur ini. Hanya satu diantara kalian yang akan dapat melihat Wantua. Kau!” ia menujuk Welo. Kami berdua saling pandang. Welo kemudian mengangguk perlahan. “Kau adalah yang paling peka diantara kalian berdua. Kau akan minum cairan leluhur ini. Setelah itu aku akan membawamu kealam lain. Kembali kealam leluhur kita. Kembali ke Males! Kau akan mengingat seluruh perjalananmu itu dan kau akan mengetahui dimana Males berada!”. Aku bergeser sedikit kesamping dan mereka berdua saling berhadapan. Kemudian ia membantu Welo menenggak habis isi tabung tadi. Wajahnya menahan rasa yang tak sedap, mungking antara pahit dan amis. Berselang beberapa saat kemudian, Wakian Rowor mulai menggumamkan sebuah rangkaian kata-kata yang bernada mirip nyanyian dengan sebuah bahasa yang tidak dapat aku tangkap, namun rasanya tidak asing ditelingaku. Welo mulai bertingkah, mata dan wajahnya mulai merah, sedang duduknya mulai miring kesana-sini. Tiba-tiba Wakian Rowor memekik sambil memegangi kepala Welo. Matanya memandang tajam kearah mata Welo. Welo tersentak dengan mata terbelalak dan mulai bergoncang-goncang. Mulutnya mulai komat-kamit mengucapkan sesuatu yang bukan bahasa. Nada nyanyian aneh Wakian Rowor kian meninggi. Suasana menjadi sangat mistis. Nyanyiannya meninggi dan meninggi dan berlangsung cukup lama hingga hanya berupa teriakan histeris dan kembali hening. Mereka berdua basah oleh peluh dan kelihatan sangat kelelahan. Wakian Rowor sendiri tanpak kehabisan tenaga dan langsung terkulai. Aku langsung mendekati dan memapahnya kembali duduk. Welo masih duduk tediam dengan nafas terengah-engah. Pandangannya kosong kedepan. Kemudian dengan wajah yang antara takjub dan tidak percaya ia mengguman perlahan,”...aku... aku melihat... Males...”.

Kami berdua meninggalkan kabin Wakian Rowor setelah membantu memapahnya kembali ke dipan. Dalm perjalanan pulang Welo masih kelihatan melayang antara sadar dan tidak. “Aku haus... aku perlu minum” katanya. Kami singgah di sebuah kabin makan yang tidak terlalu penuh. Setelah ia cukup minum dan kelihatan sudah cukup tenang, ku desak dia untuk menceritakan apa yang dirasakannya, atau mungkin, yang dilihatnya tadi tentang Males. Welo dengan hati-hati mulai menggambarkannya, ”Males benar-benar ada. Aku telah melihatnya. Kala aku tidak sadar tadi aku seolah diangkat dari Wantua oleh seekor binatang terbang yang belum pernah aku lihat. Tubuhnya berbulu. Sayapnya lebar, kepalanya besar berparuh kecil, bertelinga menjulang dan... kedua matanya... besar dan bulat bercahaya dalam kegelapan. Ia membawaku kelangit dan terhisap sebuah pusaran waktu yang membawaku melintasi langit bintang sampai begitu jauh, mungkin ratusan atau ribuan kuadran. Aku melayang melintasi langit bintang melewati jutaan ruang dan waktu. Kemudian disana, di kejauhan, Males terlihat. Dia bersama beberapa planet lain berada dalam satu sistem edar dan mengitari sebuah bintang bercahaya. Panet-planet itu berwarna warni dan bebagai ukuran. Males sendiri dari kejauhan berwarna campuran biru dan putih. Sebuah planet disampingnya merah kehitaman. Aku ingin melihat dari dekat, tetapi binatang terbang yang membawaku sepertinya telah merasa bahwa kami telah cukup dekat melihat Males. Kami segera tersedot kembali menapaki jalur yang telah kami lewati dan aku kembali terhempas kembali ke Wantua...”. Ia kelihatan menyesal tidak bisa melihat secara lebih rinci lagi. “Mungkin aku tidak sadar tadi. Namun yang kulihat bukan mimpi. Bukan khayalan. Aku yakin benar Males ada nun jauh disana!”.

Sayang, itu adalah usaha terakhir kami untuk menemukan Males. Setelah kembali ke Pendidikan Besar, kami akhirnya menjadi terlalu sibuk akan pelajaran-pelajaran. Setamat pendidikan, kami akhirnya terpisah oleh pekerjaan yang berbeda. Welo memilih menjadi penambang yang bekerja jauh di bawah tanah, sedang aku lebih tertarik menjadi Waran. Ia kemudian menemukan pasangan hidup, aku belum seberuntung dia, di tempat ia bekerja. Bagaimana mungkin bisa seberuntung dia sedangkan aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Setelah menempuh pendidikan dasar Waran, aku kemudian dikirim ke pangkalan untuk belajar ilmu bintang jauh dan mendapat pelatihan pengendara pesawat. Aku dan Welo masih sering berkomunikasi lewat privacom bahkan sampai Girun berusia beberapa siklus. Hubungan kami benar-benar terputus saat aku harus ke planet Talaw untuk mengkomando sebuah pos. Tapi sebelum aku berangkat, Welo sempat mengirimkan gambar hidup mereka berdua sedang mengunyah mayes sambil tertawa-tawa ketika Girun merayakan siklusnya yang ke 3. Dari gambar itulah aku mengenal wajah Girun.

Setelah berhasil meluncurkan Vale 9, sebagai seorang Waran tugasku adalah menghubungi induk pasukan. Namun semua usakha kontak yang aku lakukan tidak berhasil. Keinginan untuk kembali ke Wantua untuk mengecek keadaan sebenarnya juga pernah terpikir olehku, namun dengan membawa Vale 9 seorang diri tanpa pertolongan pengendali senjata, usaha ini akan seperti bunuh diri belaka. Vale 9 akan segera dihancurkan oleh pesawat-pesawat penghancur Mass dengan mudahnya. Beberapa saat aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku hanya diam sambil memandangi layar sensor. Tetapi, sebuah langkah kaki kecil menyadarkanku. Di belakangku, tepat di pintu, aku melihat Girun sedang terkesiap memandang monitor yang memampangkan Wantua yang sedang terbakar. Wajahnya mengingatkan aku akan ayahnya. Ya, dan aku teringat akan persahabatan kami. Aku teringat akan tekad kami menemukan Males. Aku teringat akan semua pengalaman kami pencarian, termasuk ketika mengunjungi Wakian Rowor. Sebuah ide tiba-tiba melintasi benakku. ... Males! Ya... tidak pernah ada komunikasi dari Wantua yang menghendaki kami menuju Males. Tidak ada kiriman data koordinat tentang dimana Males berada. Tidak ada gulungan-gulungan tua tempat asal data-data tentang Males. Aku menciptakan semua cerita itu agar semua memiliki harapan. Aku kemudian harus menganalisa sendiri dimana kira-kira Males berada. Berdasarkan pengetahuan bintang jauh yang kupelajari dalam pendidikan Waran, dan dengan membandingkannya dengan informasi yang diceritakan Welo tentang posisi Males, aku menarik kesimpulan bahwa Males berada di suatu tempat pada kuadran 999. Kuadran tersebut memiliki komposisi bitang yang paling mendekati cerita Welo. Kesanalah Vale 9 kuarahkan.

Vale 9 mungkin telah menempuh perjalanan trilyunan emmo sejak dari Wantua. Telah ribuan kuadran yang dilaluinya. Pesawat tua ini telah mengarungi langit bintang hampir dua puluh siklus. Memang, ia dapat menyangga kehidupan dari semua penghuninya dengan kemampuan regenerasinya, namun usia metanya terbatas. Walau rajin diperbaiki, meta akan mencapai usia puncak pakai yang tidak akan mungkin dapat diperbaiki lagi. Setelah adanya beberapa keluarga baru, kini ada belasan jiwa yang menggantungkan hidupnya pada Vale 9. Ada belasan jiwa dari sisa-sisa terakhir bangsa kami yang harus segera menemukan “rumah”. Memang perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Tetapi, kami masih belum mau untuk menyerah. Harapan masih berkobar dalam hati setiap penghuni Vale 9. Males, entah berapa lama lagi...

***

VALE 9

Monitor di ruang pantau berkedap-kedip. Alarm membahana ke seantero Vale 9. Semua terhenyak. Seluruh penghuninya berlarian ke ruang besar, tak terkecuali anak-anak kecil. Di sana sebuah monitor besar diaktifkan dan langsung menggambarkan hasil sensor. Keadaan riuh rendah dan kacau. Namun, herannya tidak ada siratan kepanikan di wajah-wajah mereka, malah sebuah gambaran kegembiraan yang terlihat. Sorak-sorai menggema, “Males terlihat...! Males terlihat! Kita sampai! KITA SAMPAI!”. Jarak Vale 9 dan Males tinggal sekitar ratusan ribu emmo. Ternyata kumpulan planet tempat Males berada dikelilingi oleh sebuah pembatas berupa sabuk meteorit. Selain memang terlau jauh, lapisan inilah yang menghalangi sensor untuk mendeteksi Males lebih jauh dari ratusan ribu emmo, sehingga pemetaan kuadran ini oleh sensor dari Wantua begitu kabur, yang mengakibatkan Males tidak terpetakan dan dianggap hanya sebuah dongeng oleh belaka oleh bangsa Minua. Bangsa yang telah menganut pola pikir Griston, seorang suci Wantua, yang secara sistematis menghilangkan kepercayaan mereka terhadap hal-hal “diluar apa yang telah di anggap benar”. Kepercayaan lama Topoka yang juga dikategorikan “tidak benar” mulai ditinggalkan semenjak mereka mulai masuk era perdagangan antar kuadran. Padahal, sesuatu yang diluar kemampuan mempercayai kita tidak berarti bahwa sesuatu tersebut tidak ada, bukan? Dari luar sabuk inipun Vale 9 masih tidak memiliki visual yang jelas akan Males. Tetapi paling tidak, sekarang Males sudah di depan mata.

Rumon dan para kru diruang kendali sibuk mengarahkan Vale 9 menghindari sabuk meteorit yang lumayan tebal. Sabuk-sabuk semacam ini banyak tersebar di langit bintang dan Vale 9 pernah melewati yang lebih buruk dari ini. Rumon dengan ahlinya berhasil mengarahkan Vale 9 keluar dari kepungan asteroid. Pada saat pesawat terbebas dari medan magnit asteroid, sensor menerima sebuah gambaran yang mencengangkan dari Males. Girun yang bertugas mengawasi layar sensor terperangah, “Rumon, Males berpenghuni...!”. Seluruh awak Vale 9 terbelalak. Seluruhnya, termasuk mereka yang berkumpul diruang besar sekalipun. Dari sensor mereka menerima visual kehidupan di Males. Dilayar mereka melihat tanda-tanda kehidupan dan peradaban. Diberbagai sudut Males terdeteksi kumpulan-kumpulan hunian dalam jumlah besar seperti yang terdapat di wantua. Bahkan, berdasarkan analisa luas keseluruhan, mungkin populasi di Males jauh lebih besar dari Wantua. “Males berpenghuni...” ulang Girun lambat. Bermacam perasaan bercampur aduk dalam hati awak Vale 9. Mereka gembira telah mencapai tujuan setelah sekian lama mengembara namun, mereka kecewa ketika melihat Males ternyata berpenghuni. Dibalik kekecewaan mereka, tersembunyi bermacam-macam keraguan dan pertanyaan. Mungkinkah penghuni Males sekarang adalah saudara sebangsa mereka? Ataukah mereka itu penghuni baru yang datang menguasai Males setelah nenek moyang bangsa Minua meninggalkan Males menuju Wantua? Atau malah karena serangan penghuni inilah yang menyebabkan bangsa Minua harus pergi dari Males, seperti yang terjadi ketika bangsa Mass menghancurkan koloni mereka? Awak Vale 9 seperti terpatung dalam pikiran-pikiran mereka. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berani mengambil inisiatif untuk maju terus atau meninggalkan Wantua, Rumon sekalipun. Semua hening. Sekonyong-konyong, dalam keheningan mereka tersentak. Pesawat antar kuadran Vale 9 tiba-tiba mengeluarkan cahaya biru, se biru Males. Dari layar sensor mereka kehilangan gambaran posisi Vale 9 sendiri. Kelihatannya Vale 9 seperti hilang dari layar sensornya sendiri. Dari luar memang Vale 9 seolah dibungkus lapisan tembus pandang. Pesawat ini hilang dari pandangan... Vale 9 kemudian bergerak sendiri tanpa diarahkan. Kru kendali Vale 9 berusaha mengendalikannya namun kontrol seperti putus. Ia seakan-akan memasuki pusaran magnetis yang dengan sendirinya menarik Vale 9 ke... Males!

Vale 9 meluncur pasti menuju Males, tanpa bisa dikendalikan lagi. Mereka semakin dekat dan dekat melewati lintasan kelompok planet yang mengelilingi sebuah bintang bercahaya itu. Mulai dari planet yang paling luar, terus mendekat melewati berbagai planet lain. Ada yang beku karena terlalu dingin Ada yang berukuran seribu kali Males. Ada yang dikelilingi cincin berlapis-lapis. Kemudian... dikejauhan...Males! “Lihat, Males sebagian besar terdiri dari cairan... tetapi, kelihatannya penghuni Males tinggal di bagian-bagian yang kering saja. Tidak ada pemukiman di dalam wilayah bercairan itu. Kemungkinan besar mereka hidup dengan menghirup angin seperti bangsa Minua!” Girun menganalisa tampilan layar sensor dengan hati-hati. Vale 9 mendekati Males dari balik sebuah planit kecil yang mengitarinya. Pusaran magnetis itu tambah kuat menarik Vale 9, hingga akhirnya, ia memasuki atmosfer Males dengan perlahan. Seluruh awak Vale menahan napas. Terlihat beberapa benda logam mengorbit Males. Vale 9 kelihatannya ditarik kearah tengah Males, kearah garis tengah planet ini. Vale 9 terus dan terus tersedot menuju sebuah gugusan kepulauan di bagian tengah Wantua dan terus mendekati sebuah pulau. Vale 9 oleh kekuatan penyedot itu diarahkan ke ujung utara pulau tersebut. Wilayah ini bergunung-gunung dan memiliki beberapa puncak yang berlava. Vale 9 terus ditarik menuju kaki sebuah puncak berlava tersebut. Namun, Vale 9 masih tetap ditarik sehingga akhirnya melayang-layang diatas sebuah bangunan kecil di ditepi hutan. Disini Vale 9 benar-benar berhenti. Medan magnetik yang menyeret mereka masih terasa dan memang berasal dari bangunan kecil tepat dibawah mereka. Melalui sensor, Girun menerima sebuah visual. Ternyata bangunan dibawah mereka berisi sebuah batu besar. Bangunan itu kelihatannya dibangun untuk melindungi batu tersebut. Girun mempertajam sensor dan tampaklah bahwa batu besar itu terdapat guratan-guratan semacam aksara. Ia sibuk bekerja dengan penganalisa di depannya....

Wajahnya kemudian berubah cerah. “Itu aksara Minua kuno!” seru Girun antusias. Sebuah perasaan lega tergambar dari wajah-wajah awak Vale 9. Mereka yakin bahwa inilah Males yang mereka cari selama ini. Dari sinilah asal mereka. Disinilah tempat nenek moyang mereka dilahirkan. Perjalanan berakhir. Vale 9 telah tiba! Mereka telah tiba!

***



MALES

Sebenarnya, masih ada beberapa deret aksara lain yang tervisualkan sensor. Tetapi bukan ditulis di batu besar tadi, bukan. Deretan aksara itu tertulis di bangunan yang memayungi batu tersebut. Aku tidak terlalu memperhatikannya karena itu tidak dapat dimengerti. Penganalisa telah mencoba menterjemahkannya namun, gagal. Deretan aksara itu terlalu asing. Mungkin, itu adalah aksara dan bahasa para penghuni Males. Deretan aksara asing itu adalah:

...WATU PINABETENGAN

0 komentar: