Aku Disini: Selalu


Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian

Kata-kata indah tentang

Kau-

Aku-

Yang menunggu waktu untuk dilahirkan

Yang menanti saat untuk ditemukan

Di atas kertas ini

Di halaman-halaman setelah ini

Tetapi aku memilih untuk menunggumu

Kembali-

Nanti-

Dan membisikkan kata-kata itu ke telingamu

Puisi-Puisi Dari Buku Kumpulan Puisi "ENIGMA" - Terbitan 2007

Seperti Kisah Antah-Berantah

Perempuan itu berkata kepada lelaki

Yang telah berbagi ranjang dengannya:

Lelah dan amarah membuatku menyerah!

Lantas, seperti kisah-kisah antah berantah

Matahari dan bulan dilupakan

Langkah yang beriringan jadi sekam

Janji dan airmata tenggelam.

Dan, lelaki itu menjawab perempuan

Yang telah berbagi napas dengannya:

Apa itu lelah?

Apa itu amarah?

Apa itu menyerah?

Tetapi, perempuan itu tak berpaling lagi.

Pergi ke arah matahari.

Lalu, seperti kisah-kisah antah berantah

Lelaki itu mencabut belati

Membelah dadanya

Mencongkel hatinya.

Tak ada luka dan genangan darah,

Tak ada.

Tak ada tangis dan sedu-sedan,

Tak ada.

Tak ada khotbah dan lagu duka,

Tak ada

Dengarkan aku:

Tak ada lagi yang tersisa

Yang ada hanya sebuah tanda baca:

?




Saat Kembali Pulang

Jikalau mentari beranjak tua

Dan hari menampar dengan duka,

Maka biarkanlah ia membenam pergi

Jikalau menetes sudah airmata

Dan berkumpul sanak keluarga,

Maka mulyakanlah ia sang Maha Tinggi.

Sebab kita tak lebih dari pasir

Dalam gemuruh ombak kehidupan

Yang sesekali terangkat kepermukaan,

Sesekali terhempas ketepian,

Sesekali lagi hilang ditelan kegelapan malam

Sebab kita tak lebih dari darah dan daging

Yang hidup atas belas-kasihnya,

Karena tak ada yang lebih berbahagia

Dari mereka yang dipanggil

Pulang kepangkuan Pencipta Damai

Dengarkanlah:

Adakah keindahan yg lebih mulia dari kehidupan?

Adakah kebahagiaan yg lebih hakiki dari kedamaian?

Adakah kedamaian yg lebih abadi dari kematian?




Untuk Maut:

Ode Pertama

Suatu ketika aku belajar banyak tentang kehidupan:

Subuh ketika terjaga

Dan kau tak ada

Aku belajar bahwa kehidupan

Telah sirna saat itu juga!




Untuk Maut:

Ode Kedua

Kau tau

Ada saat di mana manusia mesti mati

Kita semua bersua pasti!

Tetapi betapa bangsatnya hari

Jika harus meregang pergi

Tanpa cinta hakiki!




Untuk Maut:

Ode Ketiga

Hari ini ku dekati mati

Sekali lagi

Lebih dekat lagi

Kami saling mencium pipi

Dan sisa waktu adalah keabadian




Kisah Ini Kita

Ada sebuah kisah

Yang tak pernah kuceritakan padamu

Kali ini bukan tentang merpati

Yang tak lagi di sisi

Juga malaikat yang telah terbang pergi

Atau mengenai layar-layar

Yang terlipat di dermaga

Pula deru resah kekabutan

Di puncak Masarang

Kau pasti belum pernah mendengarnya

Kisah ini tentang kita: kau dan aku

Yang masih satu

Ketika bersama di sebuah bilik kayu

Tetapi bukan tentang ketika kau

Pulang larut malam

Juga hari yang memisahkan kita

Tanpa kata

Atau mengenai airmata,

Tahun-tahun maya anak kita

Kau pasti rindu menyapanya

Dengarkan, kekasihku,

Karena ini akan jadi kisah yang terindah

Yang akan menjadi dongeng

Pengantar tidur cucu-cucu kita

Di alam sana: di niwana, tempat Empung bertahta

Ini akan menjadi kisah termulia

Yang jadi penghibur duka

Bahkan untuk dotu-dotu digjaya

Ataupun para penyair dan pendoa

Kisah ini tentang kita, kau dan aku ada di dalamnya

Kau ingat?

Ketika malam-malam di tenggorokan

Dan kau sendiri di peraduan

Hanya ada bunyi nadi dan nafas

Yang menari lembut di wajahmu

Kau: letih dan penat lagi di usir pergi,

Tidurlah dalam damai mimpi

Kau seorang pemberani,

Berjuang sampai hampir garis mati

Hampir empat tahun berperang

Melawan ragu lagi haru

Kau maju!

Langitpun seharusnya tunduk dan malu

Hanya lengan sang waktu

Yang kadangkala membuatmu sayu

Jadi tidurlah,

Wahai dewi kekasih hati,

Istirahatlah, toh aku disini

Inilah kisah itu:

Lalu aku duduk di sampingmu,

Mengecup lembut keningmu

Kan kutatap kelopak matamu yang kuncup

Kusentuh ujung jarimu yang diam

Tubuh yang temaram

Airmata menetes diam-diam di pipiku

Lalu ada sepotong doa

Yang tak lelah kuucapkan

Tuhan!

Kaulah pemilik siang dan malam

Maka berikanlah dia kereta kencana

Untuk mengarungi sorga

Juga seorang pangeran berhati mulia

Dari puncak-puncak dunia

Biarkan ia terbang, melayang pergi dari balutan sengsara!

Telah terlalu lama ia menderita

Dan aku…

Aku tak pernah layak berada di sampingnya

Aku debu, aku sampah pilu di tepian bulevard waktu

Lantas aku,

Adalah sebuah kisah yang gugur layu.




Penuhi Lumbung-Lumbungmu!

Apa yang terjadi

Ketika pohon-pohon cinta

Ditebang paksa?

Tujuh tahun kelaparan melanda!




Penantian Akan Ku

Aku memilih menunggu

Dan terus menunggu

Dari mula hari

Sampai waktu berganti

Tetapi kau tak pernah tiba

Dangan peluk yang membuka

Jadi aku memilih berselingkuh

Dengan kekosongan ruang

Merengkuh dan bercinta

Dengan kasur busa yang diam

Lantas

Apa yang kau cari?

Apa yang kau tunggu?

Aku bertanya pada

Ku

Bukan

Mu




Mengapa Mesti Kau Pendam Mata Indah Itu?

Kau Tersenyum Tadi

Di depanku sejenak saja

Lalu waktu terhenti sunyi

Bagai tertelan angin beku

Es menggurat sampai telinga

Bahkan denyut nafas di dada

Pun jatuh tunduk pada masa

Kau tersenyum tadi

Kini itu abadi di hati

Padahal seharusnya itu malu

Sekali lagi dijerat duri rindu

Tapi lari tak punya kuasa

Lebih baik diam lalu nikmati

Sambil berdoa waktu lama berlalu

Kau tersenyum tadi

Sekejap namun sarat arti

Walau tak segenap aku mengerti

Itu bukan untukku aku tau

Tetapi tolong jawab tanya ini:

Mengapa mesti kau pendam mata indah itu

Di balik gerai lembaran rambutmu

Ketika ku kejar cahayanya?

Aku perlu jawabannya

Karena kini sesuatu lahir di sini

Di sudut-sudut mimpi

Di penjuru-penjuru hati

Mata indahmu tlah jadi mentari

Yang terbit menghangati jiwa

Yang meleleh beku pada rasa

Dan...

Aku ingin ia di sini selamanya

Kini…

Kilau itu masih ada di tempatnya bertahta

Indah lagi menggugah

Sayang seribu sayang

Aku hanya mampu memandang dari kejauhan




Sebuah Perjalanan Mengukur Jarak

Seribu langkah kaki menggulung

Antara Sonder- Tomohon- Senduk

Lalu hari ini kusangkal diri

Persetankan letih lagi malu

Mata ini harus menyapa mentarimu

Dan bertamu dalam rentang senyum itu

Seribu sembilu mengiris meraung

Remang cahya tak mampu sembunyi

Badai yang mengamuk di lembah jiwa:

Tak lagi satu kau menyongsong rasa

Dan dalam senandung mendera menung

Aku berdoa waktu mengilat pergi

Seribu dentum lantas mengurung

Padahal waktu nyaris tengah malam

Dan disana: di kerumunan tawa

Kau melakoni seribu gaya

Yang tak mampu kuduga maknanya

Lalu aku terhenyak lantas tersipu

Terlalu jauh jarak bumi dari matahari

...Mungkin saatnya aku pergi




Cuma Cinta Yang Bisa

Untuk Jenry:

Cuma cinta yang bisa

Kau tertawa

Kau menagis

Hari masih sama

Cuma cinta yang bisa!




Sajak buat Malaikat

yang Pulang ke Sorga

If you leaving

Close the door

I’m not expecting

Poeple anymore

Lirik ini aku

Dulu mengaku membatu

Lantas menyerah pada sayapmu

Ada kau-

Dan cinta- bukan dusta

Toh kita manusia

Merasa dan berkehendak

Tak rela menuai jarak

Tetapi jangan sepelekan cuaca

Datang pergi tak pasti

Jangan pula naifkan sorga

Setapak-setapak pilihannya

Karena kita di bumi

Sekali waktu ditafsir

Lalu nanti dicibir

Dan lihat:

Rusuk-rusukku patah sudah

Lelah tapi bukan amarah

Jadi coba buka tingkap mata

Jangan buta oleh asmara

Aku telah mengerti kini

Jika kau tak kembali

Tutup saja pintu:

Aku tak lagi menunggu




Pena Tak Boleh Buta

Aku bukan pemuja kata

Sebab tak punya nyawa ia

Tanpa tarian bermakna

Sebentuk pena

Pun aku tak percaya cinta

Yang lahir tiba-tiba

Tanpa kenal apa dan siapa

Mulut-mulut yang mengeja

Jadi jikapun cinta tlah mengata

Dalam kalimat menyala-nyala

Ketika malam-malam buta

Itu hampa

Tanpa kita sadar menerima

Tawa dan tangis bersama

Alur hidup gila maya

Yang pernah datang menyapa




Sepotong Jazz Untuk Hari Kelabu

Lelaki itu cuma terpaku

Memandangi kereta berkilau itu

Membawa pergi malaikatnya

Jauh ke angkasa raya




Aku Tak Punya Apa-Apa

Selain Kata-Kata

Jika ada yang bertanya

Tentang makna cinta

Saat ini aku tak lagi punya jawabnya

Karena bagaimana mungkin mengukur

Sesuatu yang tak lagi terasa

Bagaimana mungkin menaksir bentuk

Yang kini tak kasat mata

Bagaimana lagi menilai harga benda

Yang sudah tanpa makna

Tidak...

Aku memang bukan Sang Suci

Cuma lahir dan nanti mati

Sering rindu udara pagi

Menangis dalam hati

Ketika anjing kesayangan sakit lantas pergi

Bahkan memendam rindu

Buat kekasih yang tlah lama lari

Tahun-tahunku sarat bayangan

Kau tak tau pahit yang kurasakan

Melarung anak sulung korban perbedaan

Lalu apa arti kehidupan?

Hilang sudah dari ingatan

Tetapi mari duduk di sisiku

Atau jika kau malu

Biar aku yang menghampirimu

Kita bisa membunuhi waktu

Dan mungkin dapat kuajarkan

Bagaimana menelan masalalu

Atau membuat cake coklat-

Kalau kau mau

...lalu menghitungi jutaan kembang rasa

Di padang nirwana




Enigma

Aku kehilanganmu

Di riuh koridor Mega Mal

Di dentam spiker Ha Ha

Di gemeretak bola Hi Q

Aku kehilanganmu

Di rumit rak Hypermart

Di bentang sandang Remo

Di decap rasa Qua-Li

Padahal aku pernah pegangi erat tanganmu

Ketika kau pertama kali melancong ke mari

Menelusuri lorong-lorong kota Touwulut ini

Saat itu kau takut-takut melangkah kaki

Padahal aku selalu lindungi tubuh rapuhmu

Menyimpan mata dari dunia:

Kau masih beselimutkan kabut!

Padahal rasa-rasanya baru kemarin ini kita lalui

Sepiring sunset dan pisang goreng di tepian bulevard

Debu jalan dan panas siang menampar sadar

Trotoar dan ban mobil tak bisa senafas dengan raga

Sementara seharusnya aku memelukmu dengan mantra

Tawaran si’ Wuri Muda:

Kau selamanya bertiraikan halimun!

Aku telah kehilangan mu...

Tapi dimana?

: Di dunia yang tidak mengalir dalam darah kita




(Tanpa Judul)

Kau

Hanya kau-

Tanpa apa-apa

Lalu aku kehilangan kata-kata!




Saksikan:

Sebuah Kematian

Kau saksi saat kolam-kolam tumpah basah

Meluapi liuk-liuk wajah

Sekali juga tak cukup

Itu bukan karena akan pergi kau

Atau kehilangan dermaga sang kapal

Lagi malam yang menggigit tulang

Juga musik yang yatim dari nyanyian

Tidak

Kolam-kolam itu meluap

Kau saksinya berlaksa kali

Sebab hilang semua keindahan

Dari kembang yang mekar lantas layu

Lagi matahari menua dari timur menuju barat

Atau senyum membusur kemudian lenyap

Juga hidup berawal tangis lantas hembusan

Kau saksinya

Selalu berkali-kali

Saat kolam-kolam berkeluh kesah

Dan tingkap rata membelah

Aku tanpa kau

Adalah awal ruh tanpa arah




Bumi, Bulan, Bintang dan Matahari:

Sorga dan Neraka Dalam Ku

Aku menanti

Bulan

Bintang

Matahari

Meleleh lantas menetes di kepalan

Bumi?

Bumi telah mati

Semuanya dibantai sepi

Sorga?

Sorga hangus dibakar neraka

Hanya ada aku

Di atas kadera waktu yang rapuh

Ranggas

Pasak-pasaknya pun getas

Lantas patah sudah

Retak merekah

Lahir adalah mati!

Derita sang abadi!

Jika kau tanya kemana para malaikat

Kujawab:

Gugur sayap!

Dan Tuhan?

...

Sunyi senyap




Musim

Ada sebelas musim di tanah utara

Satu musim untuk bercinta

Oh!

Alangkah indah dunia

Jika kita bakudapa di musim yang sama!

Tetapi

Berdua kita berbeda dunia

Berbahasa sama tapi berkamus beda

Dan ritme hidup ini tak jua bersua

Jadi izinkan aku merangkai tanya:

Jika aku duluan mati

Ke musim apa kelak kau kan pergi?




Daun di Seine

Di tepian Seine aku:

Ada sebuah daun gugur

Indah keemasan

Di ombang-ambing jilatan air

Hilang di kelokan

Itu aku

Lalu Seine ternyata tak lebih dari Babylon




Belantara

Dalam belantara ini

Seharusnya kita belajar memetik bunga

Dan menyelipkannya

di telinga anak-anak singa

Panjatlah pohon tertinggi yang kau temui

Lalu pandangi kemilau laut di kejauhan

Sementara aku kan berdendang

Lari mengelilingi batangnya

Kemudian meompat

Berhenti kala letih

Akan kupetik buah terlezat

Makan sampai tak sanggup lagi

Kemudian tidur dengan perut kenyang-

Kau boleh menggangguku

Gelitiki telingaku

Kita boleh bercanda-tawa

Lupakan duka-kala

Lalu jika malam bersua

Kan ku selimuti kau dengan cinta

Sampai matahari kembali lahirkan jiwa

Tak kan menyerah kita

Walau maut datang menjemput raga

Dalam belantara ini

Seharusnya kita tak saling membunuh dengan kata

Apalagi berdusta kepada rasa




Nadir

Goresan-goresan pena hatiku kini

Lelah

Lemah

Kaku

Tak lagi miliki gairah

Masa telah berlari meninggalkanku jauh

Emas

Perak

Permata

Tak lagi punya harga

Titik-titik darah yang bermakna

Seribu satu kembang basi

Pendar sejuta pelangi mati

Apakah makna penciptaan?

Sebuah religi usang

Lantas untuk apa amarah bergumam?

Sebagai pertanda siang

Aku terbang

Melayang

Bintang

Kembali ke ujudku bermilenia lalu

Debu surya!

Debu surga!

Mengapung di antariksa

Melewati kitaran sang waktu

Satu

Satu

Kembali ke hadirat Mu!

Life is a journey

Not a destination




Itu Hayalan Terindah

Yang Pernah Kudengar

Telah hampir empat kali

Bumi kitari matahari

Kita bersama melangkahi hari

Makan dari tangan Tuhan

Pasiar ke ujung-ujung malam

Rumah kita indah:

Di kekabutan bukit yang permai

Damai

Masihkah kau ingat masa itu?

Berikan semua dan segalanya

Mencoba apa yang bisa

Pernah sekali waktu kita menang berperang

Melawan sekawanan gagak dari selatan

Kau terluka

Aku juga

Tetapi kita punya hangatnya sinar pagi

Untuk bunuhi sunyi sepi

Lantas kembali terbang tinggi di atas awan

Bercengkrama dalam di atas bentang permadani bintang

Kemudian:

Kau pernah berkhayal

Tentang perjalanan ke nirwana

Kembali ke asal kita

Kembali ke pangkuan semesta

Kemudian bersama-sama minta padaNya

Agar dilahirkan pada tanggal yang sama

Pada hari yang sama

Pada sorga yang sama

Pada mimpi yang sama

Kau tau?

Itu hayalan terindah yang pernah kudengar

Lebih indah dari sorga

Aku jadi tak takut pada neraka

Oh!

Betapa bahagia!

Toh,

Ada tetesan-tetesan kata yang masih tersisa

Dari gurat-gurat cerita tentang kala

Tetapi bibir ini telah lumpuh

Kehilangan tenaga untuk membuka

Seharusnya kini hati yang bicara

Seharusnya sekarang mata yang bercerita

Tetapi kau lantas pergi:

Dan kunci kau bawa




Obituari Dinding-Dinding Putih

Di kamarku ada dinding-dinding berlabur sunyi

Mengurung empat penjuru mata angin sepi

Menjepit ruang tanpa detak jantung

Tanpa kedip mata

Tanpa getar jiwa

Di sana

Di sisi putih utara

Ada retak yang membelah antara siang dan malam

Antara kembang ungu dan senyuman

Antara buai mimpi dan kenyataan

Yang membuatku teringat padamu

Dan retak-retak di rembulan yang tenggelam

Dengar

Waktu tak lagi banyak

Aku harus berlalu perlahan

Tapi aku punya pertanyaan:

Akankah matamu pernah menyapaku

Berikan aku sesuap madu

Sebelum aku terkubur dalan letih

Ataukah hanya akan tinggal retak-retak

Di dinding putih?




Kala Kata-Kata Jadi Pembawa Sengsara

Seorang teman menggilai dosa

Memilih tidur dengan Luna

Lalu segalanya jadi sia-sia

Tak ada desah bunga

Tak ada lagu luka

Cabang-cabang sunyi sepi

Pula riuh-rendah cemara

Rumput-rumput menggemeretas lesu

Tak ada janji

Laut mati

Lantas apa yang mesti dipuisi?

Tinggalah monumen semen dan merah bata

Menjulang pandang

Menantang awang-awang

Cintapun hambar

Sehambar anggur dalam cawan

Lalu untuk apa menjadi nabi

Jika hanya mengambang bagai ikan mati

Dalam wadah air benci?




Malam ini,

Dua Puluh Delapan Sudah

Malam ini gelap bintang

Kafan-kafan menjadi kelambu

Dan nisan membantal sunyi

Malam ini angin kelam

Kamar seolah keranda

Dan makam mengalas hati

Malam ini iman hilang

Dingin menabur karangan bunga

Dan wangi kemboja tak jua pergi

Malam ini matahari tenggelam dua puluh dua kali

Purnama lewat sembilan tambah satu

Dan kalender dua puluh delapan tertikam mati

Berapa lama lagi?

Berapa jauh lagi?




Sembilan Haiku

Tanpa Judul

1

Abu naik terbang

Yang mengambang dalam angin

Di tengah hari kampung sunyi

2

Dusun gelap gulita

Yang baru dihamili janji

Di masa panen kenduri

3

Bias lampu kota

Yang memantul pada air muka

Di wajah perempuan muda

4

Arak getah aren

Yang mengalir dalam nafas

Di kerongkongan anak zaman

5

Titik-titik hujan

Yang menetes pada payung

Di tangan seorang pendeta

6

Dawai gitar putus

Yang belum sempat diganti

Di tangan penyair buta

7

Bekas tanah kering

Yang menempel menahun

Di cangkul seorang petani

8

Tanah-tanah lapang

Yang ditanami lembar uang

Di pikiran kakitangan negri

9

Vultur-vultur lapar

Yang sedari kemaring menggerombol

Di cabang kenanga samping rumah




02:30

Menandangi Danau Tondano

Terlalu kejam dingin malam ini sayang

Puisi-puisi harus jadi korban bakaran

Untuk sejumput jenak kehangatan

Kilap-kilap yang memantul di kegelapan

Dari danau yang menyesah dengan kenangan

Pecah di wajah yang menggigil dan menerawang

Ah!

Telalu jauh kau kini sayang!




Sebait Sajak Untuk E.

Apakah kau yang sedikit menuai masa

Atau aku yang terlalu tua

Untuk meleleh bersama

Dalam kawah asmaragama?




Spectre Revisite

Sebuah kisah dari masa-masa indah

Datang dengan pedang:

Di hari ketiga bulan kedua

Di altar aku melepas perawan

Lalu kubiarkan ia menikam

Kalat luka hatiku yang kini kelam




The Ultimate Sin

Seluruh hudupku aku berusaha

Untuk tak berbuat kesalahan

Tetapi itu salah




Kutemukan Padang-Padang IIalang

Ya, kutemukan padang-padang ilalang

Dalam derasan arus alunan jiwa

Oh! Begitu luas ia…

Seharian aku berjalan

Mencari ujung-ujungnya

Hanya ia sendiri yang tau dimana

Aku pergi setiap hari

Disana kutemui rerumputan hijau setinggi lutut:

Wahai aku mengendara permadani hati!

Ada kembang Daffodil disana

Yang mengangguk saja saat kuhirup nektarnya

Lalu berjam-jam aku akan berbaring

Atau berguling

Sambil mengatup rapat mata

Matahari kubiar membakar dinginnya pori

Lantas tiba-tiba aku melompat!

Tertawa-tawa aku mengejar nafasku sendiri

Bila aku lelah,

Atau bila hari kelam mengepung

Langit hitam menggantung

Angin beliung maju menggulung,

Lari!

Aku lari menghampiri

Di tengah bentang taman nirwana

Ada sebuah pohon yang selalu kutuju

Di sini aku berteduh

Di sini aku mengeluh

Menangis saat gundah

Terlelap sampai udara cerah




Dan ketika malam menjelang

Lambaian dahannya mengantarku pulang

Tetapi sayang…

Besok ia akan hilang ditebang

Kupeluk erat ia

Dalam airmata aku berkata:

Jika kau begitu buruk

Katakan mengapa




Aku Cinta…

Dengan Senyum Kau Datang,

Dengan Senyum Kau Berpulang

Kau bawakan aku senampan kabar dari rahimmu

Sekali lagi terusir pergi sebuah nama

Yang seharusnya terukir dalam kitab kehidupan

-bukan namaku

Tetapi rahim itu pernah jadi rumahku

Kau biarkan mata coklatmu bicara

Tentang gelisah

Tapak-tapak langkah

Yang menyeret amarah

Tentang hidup yang resah

-bukan hidupku

Tetapi aku pernah memandang lewat matamu

Lalu aku berkata:

Bangkit dan berjalanlah!

Pergi jika kau mau

Kembali jika kau mampu

Kemudiam aku menitipkanmu

Pada bis malam yang membawamu pergi

Kekota penuh tipu muslihat

Kembali kepelukan sang masa depan

Pun:

Kau pegi dengan senyuman




Antitesa Dunia dan Sorga

Untuk apa beroleh seluruh dunia

Seluruh isinya

Segenap kemegahannya?

Untuk apa dapatkan kekekalan sorga

Seluruh kesuciannya

Segenap kemuliaannya?

Jika kemudian harus kehilangan

Orang yang dicintainya!




Masih Ada Kita

Ada dosa-dosa yang harus kita bawa

Ke bangsal perabuan

Sebelum matahari tenggelam

Sebelum segalanya tinggal kenangan

Tentang kita berdua

Tentang kisah cinta berkalang duka

Yang merebutmu dari kamar kayu kita

Ada hantu-hantu yang harus kita sula

Di altar pertobatan

Sebelum jarum jam menggeram

Sebelum semuanya ditelan malam

Tentang hari yang berbeda

Tentang darah yang tak sama

Yang membawamu pergi bersama sang naga

Ada butir-butir pasir di langit yang harus kita hitung

Ada bintang-bintang di laut yang mesti kita susun

Masih ada!

Jangan pergi!




Aku Disini: Selalu

Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian

Kata-kata indah tentang

Kau-

Aku-

Yang menunggu waktu untuk dilahirkan

Yang menanti saat untuk ditemukan

Di atas kertas ini

Di halaman-halaman setelah ini

Tetapi aku memilih untuk menunggumu

Kembali-

Nanti-

Dan membisikkan kata-kata itu ke telingamu

0 komentar: