Aku Disini: Selalu


Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian

Kata-kata indah tentang

Kau-

Aku-

Yang menunggu waktu untuk dilahirkan

Yang menanti saat untuk ditemukan

Di atas kertas ini

Di halaman-halaman setelah ini

Tetapi aku memilih untuk menunggumu

Kembali-

Nanti-

Dan membisikkan kata-kata itu ke telingamu

Rapat Kerja Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) - Kasepuhan Sinar Resmi, Sukabumi, Jawa Barat, 4- 9 Agustus 2009




"Sic Utere Tuo Ut Alienum Non Laedas", - Sebuah Puisi

Menangislah!
Sebab telah kau buat aku menangis
Tersenyumlah!
Sebab telah kau buat aku tersenyum

Ini hidup!

"Kau Atau Aku Yang Mati", - Sebuah Puisi

Seorang sahabat berkata padaku tadi malam:
Kau membunuhnya!

Siapa?

st "Fuck You!", - Sebuah Puisi

Akan kutiduri ribuan wanita
-lalu ribuan lagi
Lantas orgasme dalam
mu

"Ketika Dalam Sepi", - Sebuah Puisi

Ada suara yang bergaung-gaung dalam sepiku
: kau

"Sajak Untuk Kekasih Yang Pergi", - Sebuah Puisi

Pernakah kau teringat akan ku?
Aku..
…ya

"Tonite", - Sebuah Puisi

I will burn all memories of you
Alongside this old body of mine...

Tonite.

"Libertad", - Sebuah Puisi

Fly
Sky
High
...
Die

"For Tomorrow", - Sebuah Puisi

A tired horse from a day’s journey

Enjoying his evening meal

Chew horse, chew!

A day’s journey ahead!

s to this post "Look Deeper", - Sebuah Puisi

You said you saw nothingness in me

Let me tell you about this nothingness:

When I saw that you failed to see love in my eyes

"Moon Over Tondano", - Sebuah Puisi

I see reflection of the moon

Half pale, half dark

I see reflection of the moon

Halfway above a tree bark

I see reflection of the moon

Seconds before midnight

I see reflection of the moon

Shines just about right

I see reflection of the moon

But where’s the lake?

I see reflection of the moon

Entangled by the hands of fate

this post "Lima Puluh Tahun Sudah", - Sebuah Cerpen

Buat Fredy S. W.


“Kita tak mungkin bisa bersatu, itu kau tau”,

suaranya renyah membisiki gagang telepon.

“Kita… mungkin tak pernah tau”.

Suara lain membalas dari jauh, lambat…

“Tidak. Kita sadar itu dari awal”,

“Kita seharusnya tak menyerah… “

“Aku lelah…”

“Sudah berapa tahun anak kita, jika tak kita …?”




Tiba-tiba lelaki itu tersentak bangun dari tidur. Napas di kantong dada tipisnya terengah, tapi Cuma mampu satu-satu. Setitik peluh merayapi dahi kemudian menggantung di keningnya. Matanya kuyu, dicobanya untuk menangkap bayang-bayang jari jam yang menempel di dinding kamar dingin dan remang itu. Setengah satu. Lima puluh tahun sudah. Mimpi itu lagi… Puisi itu lagi...

Pernah ku saksikan hari yang lebih gemilang

Pagi yang cerah-cemerah,

Lagu yang gugah-menggugah

Kita yang masih berpeluk sayang


Pernah ku cicipi masa tawa memanjang

Di buai kereta-kereta kencana

Di angkasa singasana swargaloka

Kau aku layang-melayang


Pernah ku berkawan dengan kemenangan

Madu dan anggur dari kebun terbaik

Kain tenun-tenunan corak menarik

Berdua dipangung cerlang-cemerlang


Tapi itu aku yang kini menoleh ke belakang

Bayang-bayang beria-ria menyambut aku datang

Kembali lagi ke pelukan kasur dan kursi usang

Kamar yang lelah temaram

Himpitan kitab-kitab malang

Aku menerawang:

Kiranya hari tlah jauh malam

"03:00", - Sebuah Cerpen

They say:

The World is Falling Apart

We…

…are the world


03:00

Seorang lelaki tua berdiri dalam sorot kekuningan lampu merkuri dari sebuah tiang besi tua di tepi jalan. Bulan tua yang terbit larut masih nampak mencondong di langit. Jalan raya sepi. Ada kabut, atau mungkin asap, menggantung tipis di atas aspal. Sekeliling lengang, malah sedikit mencekam. Tak ada suara. Tak ada gerakan. Udara tak bergeming sehembus anginpun. Bahkan lelaki itupun berdiri diam. Tubuhnya seolah kaku, seolah ia telah berdiri disana sejak ribuan tahun lalu. Tangannya menggantung diam di tepi tubuhnya. Wajahnya yang ditingkahi kerut-merut begitu dingin, tanpa emosi. Bulu wajahnya tak terawat, panjang-pendek, putih-hitam. Beberapa helai rambut perak jatuh menutupi wajah itu, sementara yang sisa kelihatan tak terurus sejak lama, lama sekali, menggantung menyentuh pundak. Bibirnya terkatup rapat. Matanya menerawang kosong. Tak ada cahaya di mata itu. Gelap, bagai malam yang sedang menggeram ini…


Tunggu.... Ada yang bergerak! Ada! Ada sesuatu di sana… Bergerak lambat, sangat lambat, tapi bergerak! Kau pasti bisa melihatnya! Tidak? Coba lagi, lihat lebih dekat lagi. Pandang wajahnya. Lihat ke arah matanya! Benda itu… perlahan merambati wajahnya. Lihat! Itu bercahaya dalam kegelapan! Berkilau…

Itu… itu…

Itu..

Itu airmata…



Tomohon, Penghujung Maret 2008

"In Search of “Gaius Maecenas” di Minahasa Hari Ini: PATRONAGING MINAHASAN ART & CULTURE". Sebuah Esei

Exegi monumentum ære perennius.
("I have built a monument more durable than bronze”, Horace, Odes III, 30, 1, of his poetry).


“I must study politics and war that my sons may have liberty to study mathematics and philosophy. My sons ought to study mathematics and philosophy, geography, natural history, naval architecture, navigation, commerce and agriculture in order to give their children a right to study painting, poetry, music, architecture, statuary, tapestry, and porcelain”. (John Adams)


Gaius Cilnius Maecenas di Romawi, Masa Silam
Tak dapat disangkal bahwa peradaban dunia hari ini dibangun di atas sebuah proses evolusi kesenian dan kebudayaan yang telah menjalani pembentukannya bermilenia waktu. Secara teoritis tradisional, kita mengenal segitiga Pekarya-Karya-Apresian dalam proses daur hidup sebuah produk kesenian. Tetapi, ada sesuatu yang kadang kita luputkan dalam scema grande pelahiran kesenian itu sendiri: pihak benefaktor yang dengan sengaja dan sadar mendevosikan waktu, tenaga dan juga kemampuan finansialnya demi eksistensi kesenian dan kebudayaan. Maka, tersebutlah seorang Gaius Cilnius Maecenas (70 – 8 B.C.), penasehat politik Oktavian, yang dikenal sebagai Kaisar Agustus, yang namanya menjadi byword terhadap seseorang yang ‘kekayaannya’ menjadi patron kesenian. Namanya, dan makna dibalik itu, bahkan diadopsi kedalam berbagai bahasa, menjadi mecenaat dalam bahasa Belanda, mesenaatti dalam bahasa Finlan, mécène dalam bahasa Prancis, Mäzen dalam bahasa Jerman, mecenate dalam bahasa Itali, mecen dalam bahasa Slovenia, dan mecenas dalam bahasa Spanyol.
Dari Cicero (Pro Cluentio, 56), sebuah gambaran tentang pribadi Maecenas sedikit terungkap. Ia adalah seorang anggota berpengaruh dari ordo equestrian. Sedang dari kesaksian Horace (Odes 8, 5) dan juga dari tulisan-tulisan pribadi yang merefleksikan selera literaturnya, nampak bahwa ia terdidik dengan didikan yang ‘terbaik’ di zaman itu. Kemampuan finansialnya sebahagian mungkin adalah warisan, tetapi kemudian kedekatannya dengan rezim berkuasa, Kaisar Agustus, adalah yang membuka gerbang seluas-luasnya untuk menjadi seorang ‘patron’ (baca: pengayom) kesenian di masanya.
Memang ada banyak pendapat, seiring waktu, yang berucap tentang pribadi Maecenas. Namun, kesaksian-kesaksian yang banyak terungkap dalam kitab-kitab sejarah cukuplah sudah mendefinisikan siapa ia, terutama pengakuan unanimous terhadap kemampuan diplomatis dan administratifnya. Maecenas sangat menikmati berbagi pemikiran baru. Ia juga sering mendedikasikan segala kemampuannya untuk mengadakan iven-iven kesenian dan kebudayaan yang, ini sering luput dianalisa, akhirnya mampu membawa Emperium Romawi yang masih muda pada waktu itu lepas dari banyak ‘bahaya’. Malah, Marcus Valleius Paterculus (Propertius, 88) merangkum seorang Maecenas sebagai "of sleepless vigilance in critical emergencies, far-seeing and knowing how to act, but in his relaxation from business more luxurious and effeminate than a woman."

Gaius Cilnius Maecenas di Minahasa, Masa Kini
Tersebutlah serangkaian perhelatan kebudayaan raksasa yang dilaksanakan marathon di tanah Minahasa selang beberapa tahun terakhir ini. Mulai ritual adat di Watu Pinawetengan, ceramah dan simposium kebudayaan, pelatihan keterampilan, sumbangan berbagai infrastruktur kesenian, festival tari-tarian, festival makanan, sampai usaha-usaha pencapaian rekor lewat bentuk-bentuk yang sophisticated. Anda tak mungkin melewatkan, paling tidak mendengar satu saja, dari even-even tadi. Kemudian, terbacalah: sebuah grand strategy kebudayaan sedang di bawa ke tataran praktis. Di belakang semua itu hanya ada satu nama: Kombes Pol Beny Mamoto.
Mamoto sehari-harinya disibukkan dengan berburu penjahat sampai ke pelosok-pelosok dunia. Kepala transnational crime division kepolisian Indonesia ini sedang intens menyidik David Nusa Wijaya, mantan pimpinan Bank Umum Servitia yang didakwa penyalahgunaan dana BLBI setotal $13.5 billion, yang “pulang dengan sadar” ke Indonesia setelah ditemukan bersembunyi di Los Angeles januari silam. Indonesia dan Amerika Serikat tidak punya perjanjian mengenai ekstradisi, namun kelihatannya proses ini berlangsung tanpa banyak hambatan. Dua dunia yang kelihatan sangat berbada, Kebudayaan dan Kriminalitas, namun sebenarnya jika dikaji lebih lanjut terdapat benang merah diantaranya, keduanya saling mempengaruhi. Boleh-boleh saja kita bertanya dalam hati, apa yang menyebabkan seorang Beny Mamoto rela merogoh kantongnya dalam-dalam, membuang waktunya yang amat-sangat berharga dan terutama pemikirannya terhadap sebuah Kebudayaan Minahasa? Pada sebuah kesempatan gathering dengan para seniman dan budayawan Sulawesi Utara, Mamoto berusaha menyederhanakan apa yang sedang dilakukannya saat ini dengan kalimat-kalimat “Ini semacam amanat yang harus saya laksanakan. Lama saya jauh dari tanah Minahasa, jadi sekarang saya harus berbuat sesuatu untuknya dan selebihnya saya mengerti benar pentingnya peran kebudayaan dalam menata pri-kehidupan. Minahasa jelas perlu menata kembali masyarakatnya lewat kebudayaannya”.

Patronasi: Jalan Keluar dari Stagnasi
Setelah tuntas dengan proses kreatifnya, penyair yang bermaksud menulis puisinya akan butuh paling-tidak selembar kertas dan sebuah pena. Pelukis perlu kuas dan kanvas. Penari, pemahat, pemusik dengan “paling-tidak-paling-tidak” yang serupa. Lalu, dari mana kebutuhan-kebutuhan kesenimanan esensial semacam itu bisa terpenuhi? Pertama, dari usaha swadaya seniman itu sendiri, entah dari pendapatan yang melibatkan skill kesenimanannya sendiri atau dari sumber sekunder (yang akhirnya jadi primer!). Kedua, dari bantuan pihak lain seperti pemerintah, grant-grant pihak swasta, dan tentu saja dari ‘pengayom-pengayom’.
Kesenimanan masih belum terhitung profesi yang menjanjikan penghidupan, apa lagi di Minahasa. Pahit, memang. Tetapi itulah realitas. Terlalu lama kita, orang Minahasa, seolah menihilkan peranan kesenian, dan kebudayaan dalam bentuk besarnya, dalam ruang hidup kita. Sedari kecil anak-anak kita telah dicekoki cita-cita menjadi ‘pilot’ atau ‘presiden’ dan tak ada yang menerima (apalagi mendukung) jika anaknya menyebut ‘menggambar’ atau ‘menari’. Anak-anak malah tak kenal kata ‘penyair’ apalagi ‘peteater’. Paling-paling, untuk keterlibatan dalam dunia seni, anak didorong untuk ‘bisa menyanyi’ yang kemudian diikutkan dalam ‘idol-idolan’ yang memang lagi mewabah bahkan sampai ke gereja-gereja (padahal ‘idol’ maknanya setara dengan ‘ilah’). Itulah makanya sampai saat ini seniman yang bisa hidup dari kesenimanannya di Minahasa bisa dihitung dengan jari tangan sebelah. Bahkan seniman yang paling gifted pun harus ‘nyambi’ jadi PNS, wartawan, atau malah politisi. Ini perkara mindset, memerlukan tak sedikit waktu untuk membentuk sebuah atmosfer kebudayaan yang benar-benar kondusif untuk bisa menghidupi pekarya-pekaryanya.
Kemudian kita mencoba berpaling pada pemerintah. Bantuan memang kadang ada, namun akhirnya selalu terbingkai dengan ada-tidaknya alokasi dana. Kalaupun ada sedikit dana, masih terkungkung dengan konsep pelaksanaan agenda-agenda kesenian dan kebudayaan ‘dalam rangka’. Kesenian seolah telah terkonsep dan terpola, sehingga melupakan unsur yang paling hakiki dari kesenian itu sendiri: kreativitas dan subjetivitas. Seniman-seniman kita ternyata masih harus ‘malele gidi-gidi’ kepada seniman-seniman di negara-negara lain seperti Malaysia yang justru ‘berburu’ sastrawan dan karyanya sampai ke kampung-kampung untuk diberi tunjangan hidup dan di cetak-terbitkan karyanya. Atau Kuba sebagai misal, anak-anak yang punya bakat kesenian diberikan pendidikan khusus dengan infrastruktur lengkap.
Di akhir tulisan ini, tak berpanjang- lebar lagi, kelihatan tersisalah sebuah skenario terakhir: Patronasi. Seorang Gaius Cilnius Maecenas dalam seorang Beny Mamoto menjadi solusi terakhir ‘penyelamat’ Kesenian dan Kebudayaan Minahasa hari ini. Toh sebuah pertanyaan mesti dilayangkan: apakah semua ini hanya ‘monumen perunggu’?

"Kebudayaan Minahasa Tak Pernah Mati Lebih Jauh Tentang Don Juan, Kontemporaritas Kesenian, dan Eksistensi Mawale Movement". -Sebuah Esei

“If you want to know your past - look into your present conditions. If you want to know your future - look into your present actions”. – Buddhism Proverb


Saya ada Desember itu. Akhir tahun lalu tepatnya. Saya ingat benar, karena kerumunan seperti ini jarang tercipta: lusinan pekerja teater, pencipta dan pembaca puisi, sejumlah orang yang menonton (banyak yang berasal dari dua kelompok pertama tadi), dan, ini plusnya, ada seorang pengayom seni-budaya. Setelah sedikit tukar kata, sepotong-dua pisang goreng dan berbatang-batang rokok, tetamu dan semua yang hadir diundang kedalam gedung Pingkan Matindas untuk menyaksikan pentas perdana sebuah naskah adaptasi sebuah lakon komedi karya Moliere oleh Eric MF Dajoh, sutradara teater senior Sulawesi Utara, yang juga bedirektur hari itu. Saya duduk di ruang panas dan pengap yang dipaksagelapkan dengan seorang kawan bersama calon istrinya yang lagi hamil tua anak pertama mereka.
Jean-Baptiste Poquelin, a.k.a Moliere bukan penulis lakon pertama yang mengkertaskan legenda “Don Juan” atau “Don Giovanni”, ada paling-tidak empat penulis yang menggarap kisah ini sebelum Moliere. Sekitar empatpuluhan tahun sebelumnya, pada 1620, dipublikasikan El burlador de Sevilla y convidado de piedra (The Trickster of Seville and the Stone Guest) oleh Tirso de Molina. Konon, Moliere banyak terinpirasi dari karya yang paling dulu terbit ini, apalagi karakter utama cerita. Cuma, ending yang agak ditekuk Moliere, karakter ciptaannya- Don Juan, adalah seorang atheis, kemudian dimusnahkan api neraka. Versi Molina lebih “morale”, bertobat dan mencari pengampunan. Memang, sepanjang masa, legenda Don Juan laku digarap para penulis. Sebutlah nama-nama penulis raksasa semisal Byron, Pushkin, Dumas, Tolstoy, Shaw, dan sederet nama lain. Kisah si playboy jaman bahela ini pun banyak menginspirasi kesenian lain, seperti musik, rupa, bahkan sinema.
Penggunaan term “Don” sebenarnya tidak tekstual. Naskah Moliere menulis Dom Juan ou le Festin de pierre (Dom Juan or The Feast with the Statue) sebagai judul. “Dom” adalah kependekan dari gelar Prancis, “Dominus”. Jadi, latar dari versi Moliere adalah Prancis dengan segalah riuh-rendah sosialitanya saat itu, bukan Spanyol pedesaan, seperti yang sering disalahsangkakan. Lebih lanjut mengenai kesalahan-kesalahan lain, pada hakikatnya “Don” Juan (saya bergabung saja dengan kesalahan mayoritas, ketimbang disangka salah ketik) ditulis sebagai sebuah naskah dengan konsepsi satire, bukan komedi. Perbedaannya? Tipis, tetapi sangat fundamen, dan bukan tujuan tulisan ini untuk membeberkannya. Sekedar menggambarkan, berikut petikan teks terjemahan naskah Don Juan dalam bahasa inggris, dialog Sganarelle (dalam versi Dayoh, Sagan), silahkan anda analisa sendiri:
"By his death everyone gets satisfaction. Heaven offended, laws violated, girls led astray, families dishonored, relatives outraged, wives ruined, husbands driven to despair, they all are satisfied. I am the only unlucky one. My wages, my wages, my wages!" (Fort, Alice B. and Kates, Herbert S., Don Juan or The Stone Death, Minute History of the Drama, New York: Grosset & Dunlap, 1935. p. 47. Nov 27, 2007).
Yang jelas, pemilihan konsep yang tepat akan mempengaruhi penyutradaraan dan, pada gilirannya, pementasan. Juga, entah disengaja atau tidak, naskah Don Juan versi Indonesia buah terjemahan Winarsih Arifin yang kemudian diadaptasi oleh Dajoh ini mencantumkan karakter bernama Don Luis, sebagai ayah sang Don Juan. Dari beberapa sumber yang lebih primer, saya temukan bahwa karakter Don Luis adalah seorang teman lama dari Don Juan. Bisa jadi saya yang salah, atau ini karena hakikat adaptasi itu sendiri, atau juga jangan-jangan Winarsih bukan menterjemah naskah Moliere, tetapi versi-versi karya penulis lain yang memang berjumlah puluhan itu.
Dalam dalam buklet pementasan “Don Juan Laki-Laki Dari Utara – Laki-Laki Bataru” terdapat sebuah pengkajian yang menekankan “Don Juan-ism” sebagai sesuatu yang menggambarkan kejahatan, kerakusan dan kekurangajaran. Ia digambarkan sebagai seseorang lelaki yang penuh nafsu, perayu dan penipu wanita, yang selalu menginginkan seks dari tiap wanita, dimana saja, kapan saja. Pendek kata, secara frontal karakter Don Juan digambarkan sebagai sebuah simbol amoralitas. Saya ingin menawarkan sebuah perspektif yang berbeda: Don Juan adalah seorang pria yang (ternyata) mencintai dengan tulus semua wanita yang ia dekati, seseorang dengan karunia untuk memahami kecantikan wanita lebih dari sekedar sedalam kulitnya, serta seorang gentleman yang mampu membuat wanita merasa bangga dengan tiap sentimeter tubuhnya. Ia, sebenarnya, justru yang menjadi korban dari nafsu para wanita! Lebih jauh, Don Juan adalah seseorang yang justru menjadi korban dari lingkungan, kebudayaan, dan rezim ortodoks dimana ia berada. Ia tak lebih dari seseorang dengan pola pikir berbeda yang harus menjadi outcast yang tak diterima oleh masa dimana dia hidup. Bagaimana?
Tetapi segala diferensiasi atas nama penyesuaian dan perubahan yang dipaparkan Dajoh di atas panggungnya ini bukan pertanda kelemahan. Ini justru yang menjadi nilai lebih dari lakon garapannya. Jadi, sewaktu saya duduk di gedung tadi, sebelum lampu panggung menyala, saya telah benar-benar siap untuk menerima sebuah adaptasi yang betul-betul adaptatif se-adaptif adaptasi itu memungkinkan dari sebuah karya Moliere! Dan... Itulah yang terjadi. Saya turut jadi saksi.
Saya juga ada pada dua malam pementasan garapan Dajoh ini di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), belum lama berselang, bahkan turut naik panggung. Bukan sebagai seorang pemain dalam naskahnya, tetapi sebagai performer gitar dalam musikalisasi puisi. Sebagai seorang (mantan) gitaris, tentu saya sangat berbangga bisa tampil di panggung GKJ, karena tidak sembarang seniman, seberapa hebatpun dia, dapat unjuk kebolehan di gedung yang telah menjadi pusat performans kesenian semenjak dua abad silam tersebut. Melalui perbincangan dengan Benni Mamoto, maecenas yang memungkinkan pentas Don Juan tampil dua malam di GKJ itu, saya jadi tahu kalau ada dua syarat harus dipenuhi seorang seniman untuk mendapatkan keleluasaan manggung di gedung peninggalan kolonal itu. Pertama: memang piawai di bidangnya, dan kedua, yang terpenting: punya sponsor/produser (backing?) yang betul-betul terpercaya bonafiditasnya. Saya bangga bukan hanya karena terciptanya sebuah fakta saya menjadi seorang pemain gitar dari Minahasa yang pernah (dan mungkin yang pertama) tampil di GKJ, tetapi terlebih bahwa sebuah bentuk kesenian dari movement kebudayaan Minahasa kontemporer, yakni musikalisasi puisi, berhasil mempenetrasi Jakarta langsung di sebuah pusat standarisasi keseniannya. Di jakarta, booming musikalisasi puisi baru mulai menggema dua atau tiga tahun terakhir. Jadi, kepada gitaris-gitaris lain yang saya jumpai, saya sering berseloroh bahwa sekarang saya sudah bisa “gantung gitar” dengan tenang, hehehe!
Memang, tidak ada standing ovation odiens selepas musikalisasi puisi, dan juga pentas teaternya, namun selama tiga jam lebih ramuan pentas naskah Don Juan dan pembacaan puisi tersebut saya sering mendengar tawa geli penonton, atau cerocosan-cerocosan, menanggapi idiom-idiom khas Orang Manado yang sering tasosuru di dialog-dialog. Pentas memang terus-terusan mengumbar stimulasi emotional recall, membongkar ingatan-ingatan romantik para penonton, dengan pendekatan unsur-unsur yang memang sangat Manado skali. Begitu pula 15 menit musikalisasi 15 halaman puisi Fredy “Cupez” Wowor yang punchlinenya adalah “…kita inga…” itu, juga seakan memaksa penonton berflashback. Approach seperti ini menurut saya wajar-wajar saja mengingat keterangan pelaksana bahwa target pementasan ini adalah para Kawanua. Wajar juga jika kemudian Nano Riantiarno, direktur Teater Koma yang ternyata datang bauni, memilih mengapresiasi keberanian Dajoh mengeksploitasi kekayaan lokalitas dalam naskah garapannya ini. Menurut saya, hakikat sebuah kaya seni salah satunya adalah usaha berkomunikasi pencipta karya dengan penikmat karya itu. Komunikasi, dalam banyak kasus, dapat saja terjadi dengan baik walau tanpa banyak memusingkan faktor teknis. Maka, menurut saya, komunikasi telah terjadi di dua malam pementasan Don Juan di GKJ, tanpa perlu lagi menyoal pas-pasannya penguasaan teknis teaterikal para pendukung pentas ini, terlepas dari penampilan Sylvester “Ompi” Setligt sebagai Sagan, yang memang sukses mengenerasikan proyeksi komikal yang brilian, walau sebenarnya saya masih kurang yakin kalau ini buah tangan sang sutradara, karena sehari-hari, di luar panggung, Ompi memang berkarakter sangat komikal. Sayangnya, karena pentas keseluruhan mengambil pendekatan komunikasi verbal, Iverdikson Tinungki, pemuisi senior Sulut yang tampil dengan puisi mantra andalannya justru yang seolah kehilangan touch. Penampilan pembaca puisi lain maksimal, khusus Gembala Teddy Batasina dan Pendeta Haezar Sumual, tampil memukau, padahal mereka bukan penyair. Terlepas plus-minusnya, toh sehari setelah pementasan Don Juan oleh BalaiTeater di GKJ tersebut, harian-harian ibukota dihiasi berita kesuksesan penampilan tim garapan Dajoh ini.
Saya pribadi justru merasa kagum kepada Benni Mamoto yang bahkan turut menjadi performer dalam iven GKJ tersebut, membacakan sebuah puisi dengan iringan kolintang O Ina Ni Keke yang divokali oleh sang istri tercinta. Pengalaman perdana ini membuat Kombes ini basuar dingin juga. Rupanya, tatapan penonton lebih membuat gugup ketimbang sorot mata seorang kriminal sekelas Imam Samudra yang sehari-hari diakrabinya! Saya kemudian harus meminjam ujaran Benni Matindas, seorang filsuf dan budayawan Minahasa, penulis seribuan halaman buku “Negara Sebenarnya”, yang sering berkhotbah bahwa perkembangan kebudayaan Minahasa haruslah melalui pembangunan kesenian yang memberi ruang seluas-luasnya untuk eksplorasi kreativitas dan pengembangan intelektualitas. Jika Mamoto (akhirnya) mulai melirik kesenian-kesenian kontemporer dalam usahanya mengayomi kesenian dan kebudayaan di Sulawesi Utara, di Minahasa khususnya, tentu saja itu bukan kebetulan. Saya merasa terhormat bisa menyaksikan proses itu mulai terjadi.
Ketika di pertengahan tahun sembilan puluhan tercipta sebuah core seniman-seniman avant garde di Fakultas Sastra UNSRAT yang kemudian mengusung panji Teater Kronis, saya berada di dalamnya. Kami mengklaim sebagai sebuah kelompok yang muncul dari ketidakberadaan. Maksudnya, kelompok ini akhirnya harus survive dengan segala keterbatasan, mulai dari keterbatasan kebebasan berekspresi (eksis di masa represi Orde Baru, membaca satu puisi saja sering harus ditebus dengan drop-out), keterbatasan referensi (menegaskan bahwa tidak pernah berkiblat pada siapapun, kecuali kepada literatur-literatur internasional, dus, self-educated), sampai keterbatasan properti (tidak punya kostum pentas, sering memilih berteater setengah telanjang, berbalurkan cat atau lumpur). Teater Kronis memilih untuk, kalau tidak mementaskan naskah sendiri, mendekonstruksi (bukan cuma mengadaptasi) naskah-naskah teater lain. Repertoirnya: mulai dari naskah “Lebih Hitam Dari Hitam” Iwan Simatupang, pelopor drama dan prosa absurd Indonesia, yang di bongkar-pasang menjadi “Jiwa Dari Dunia Yang Hilang Jiwa”, sampai “Ma’ame: Ratapan Anak-Cucu Lumimuut-Toar”, sebuah dekonstruksi “Ratapan Mati” karya Hugo Ball, pengarang eksil di Swiss, seorang tokoh Zurich Movement. Masih di masa yang sama pula, experimentalis-experientalis dari lingkaran yang sama memulai penggabungan musik dan pembacaan puisi. Musikalisasi puisi, mulai ala The Doors, Talkin’ Blues, Heavy Rock, sampai Rap-Hip Metal digarap. Menyusul kemudian tampil KONTRA (Komunitas Pekerja Sastra Sulawesi Utara), masih dari core yang sama, meramaikan (mungkin lebih tepat mengejutkan) jalanan Manado hampir setiap hari dengan Street Theater, Happening dan Performance Art. Konsep penampilan serta pemanggungan teater seperti ini, pada saat itu, adalah benar-benar baru untuk tataran Indonesia sekalipun. Hari ini, jaringan seni-budaya yang berbenang merah dengan core ini, yang kini bergerak bersama dalam sebuah kesadaran Mawale Movement, tak bisa disangkal lagi adalah merupakan jaringan terbesar di seenteru Utara Sulawesi, merangkum empat puluhan kelompok, dari teater, sanggar tari, study club, sanggar rupa, bahkan kelompok musik. Di dunia akademik melibatkan kelompok-kelompok dari UNSRAT (Manado), UNIMA (Tondano), UNG (Gorontalo) UKIT (Tomohon), Politeknik Negeri Manado, UG (Gorontalo), STAIN (Manado). Di luaran, merangkum kelompok-kelompok dari berbagai penjuru Minahasa dan Gorontalo.
Radio Suara Minahasa punya “Leput 412”, sebuah program kebudayaan mingguan yang telah berjalan dua tahunan. Terakhir, acara ini menampilkan profil sebuah kelompok teater kampus. Seminggu sebelumnya peluncuran CD album sebuah band lokal Tomohon, “Paeyus”. Sebelumnya ada lauching tiga buku sastra, dua kumpulan puisi dan satu kumpulan cerpen dari tiga penulis muda. Lima buku puisi dari Arie Tulus, seniman paripurna Minahasa, juga luncur di acara ini. Yang paling sering acara ini menampilkan dialog kebudayaan interaktif. Total jenderal, ada paling-tidak belasan buku yang telah diperkenalkan kepada publik dalam acara ini, ada berbagai kelompok kesenian, mulai sanggar dari selatan Minahasa sampai teater gereja di Minahasa Utara, pernah singgah, ada puluhan konsep, ratusan ide, tak terhitung proses kreatif, dan yang paling penting: pemaparan peta terkini konstelasi kebudayaan Minahasa kontemporer secara real-time. Sebagai host acara ini, saya jadi punya banyak bukti dan juga sekaligus menjadi saksi bahwa kebudayaan Minahasa ternyata tak mati (apalagi mati suri, seperti beberapa sangkaan pesimistis yang sering terdengar).
Sayang, saya tidak bisa ke R.S. Kandouw ketika sms dengan berbagai puji-syukur itu masuk. Saya lagi berada di pelosok Minahasa, mencari materi buat Seni-Budaya Minahasa, sebuah program Radio Suara Minahasa yang mengangkat kesenian tradisional. Istri (akhirnya mereka menikah) dari kawan yang sedang hamil ketika bersama kami menyaksikan “Don Juan Laki-Laki Dari Utara – Laki-Laki Bataru” pentas perdana, telah melahirkan seorang bayi perempuan yang mereka beri nama Festival Hanayori Karema. Tiga kata yang, menurut orangtua bayi mungil itu, menggambarkan segala eksistensinya. Jika bukan untuk konsumsi media cetak (yang telah menyediakan sedikit celah untuk tulisan-tulisan budaya), seharusnya tulisan ini masih puluhan halaman lagi mengulas tentang Mawale Movement, seiring dengan bertambahnya permintaan penjabaran ide gerakan budaya ini dari berbagai pihak, dari berbagai belahan dunia. Tetapi, layaknya sebuah movement, seperti juga bagaimana seharusnya memaknai karakter Don Juan, yang terpenting bukanlah idenya, namun eksistensinya. Saya kemudian mensaripatikan Mawale Movement menjadi tiga kata: Identity, Creativity, & Contextuality.
I Yayat U Santi!

"Kembali ke Jalan yang Benar: MARI MENJADI ANARKIS!". - Sebuah esei

“In the minds of the general public, anarchism stands for an endorsement of anarchy, which is thought by many to mean a state of chaotic lawlessness. It would therefore seem to be diametrically opposed to the affirmation of community. In fact, anarchism refers to two absolute, apparently contradictory but complementary virtues toward which a good life must strive: the integrity of the individual human conscience, resistant to the dictates of both institutional power and the mob; and the dedication of the individual to the general good”.
(Encyclopedia of Community:
From the Village to the Virtual World)


Sebelum Anda Membaca…
Pembaca yang terhormat, jika anda terkejut dengan judul tulisan ini, saya tidak akan menyalahkan anda, malah mungkin justru anda yang buru-buru menyalahkan saya. Maka, tetaplah terus membaca, sebab mungkin anda akan mengkoreksi pemikiran anda itu, paling tidak sedikit demi sedikit. Tetapi, saya tidak menulis untuk mempengaruhi anda. Anda tidak perlu percaya kepada saya, sebab anda punya hak untuk tidak percaya kepada saya. Saya menulis tulisan ini agar anda mengerti apa yang sedang saya pikirkan. Mudah-mudahan di akhir tulisan ini saya sebagai penulis dan anda sebagai pembaca bisa saling baku mangarti.

Mengartikan Anarkisma
Penggunaan kata anarki yang tertua ditemukan pada naskah drama karya Aeschylus, Seven Againts Thebes, bertahun 467 SM. Dalam naskah ini, tokoh Antigone menolak menjalankan perintah dari penguasa dengan kalimat “ekhous apiston tênd anarkhian polei”. Mengartikan apa itu Anarkisma adalah sesuatu yang tidak gampang, mengingat kata ini telah terlalu lama dilekati oleh lebih banyak makna negatif. Media-masa kini yang menggunakan kata “anarkis” sebagai sebuah terma yang menggambarkan aksi-aksi destruktif, vandalis, dan khaotik, malah memperburuk pemaknaan. Bereferensi kepada “bahasa media”, yang seharusnya adalah bahasa “orang-orang terdidik” (baca Rudolf Rocker: Anarkisme & Anarko-Sindikalisme), ternyata tidak akan banyak membantu kita mengerti banyak, sebab bagaimanapun media bertendensi untuk menggunakan kata-kata yang “eye/ear catching” dan kedengaran bombastis agar lebih menarik perhatian publik. Lucunya, pelajar dan akademisi juga latah memahami kata ini hanya dari makna negatifnya. Pejabat Pemerintahan malah seolah “melegalkan” makna negatif ini lebih lanjut. Pemaknaan Anarkisma secara negatif sebenarnya bermula dari penggunaan kata ini dalam Perang Saudara Inggris (English Civil War) oleh para Royalist, pendukung monarki/imperialisma, untuk menghujat dalam orang yang tidak sepaham dengan mereka.
Anarchism terderivasi dari bahasa Grika ἀν (tanpa) + ἄρχειν (pemerintah) yang secara lebih bebas berarti "tanpa penguasa". Sebagai pengimbang, mungkin akan lebih netral jika kita mencoba mengartikan kata ini secara “bahasa kamus”. Webster Dictionary mengartikan Anarki sebagai “non-existence or incapability of govermental rule”, ketiadaan atau ketidakmampuan kekuasaan pemerintahan. Selanjutnya, Anarkisma didefinisikan dalam buku The Concise Oxford Dictionary of Politics sebagai "the view that society can and should be organized without a coercive state." Pengartian selanjutnya dapat kita temukan dalam Dictionary of Politics and Government yang menulis: anarchism sebagai “the belief that there is no need for a system of government in a society” dengan tambahan komentar: “Anarchism flourished in the latter part of the 19th and early part of the 20th century. Anarchists believe that there should be no government, no army, no civil service, no courts, no laws, and that people should be free to live without anyone to rule them”.
Saya kemudian menemukan kesimpulan dalam The Concise Oxford Dictionary of Politics yang menggambarkan Anarkisma sebagai "a cluster of doctrines and attitudes centered on the belief that government is both harmful and unnecessary”, Anarkisma adalah sebuah faham yang menganggap pemerintahan/kekuasaan adalah sesuatu yang tidak perlu, bahkan pada ekstrimitasnya, berbahaya.
(Sampai pada titik ini, mungkin ada lebih baik anda coba menganalisa kembali makna Anarkisma yang selama ini telah ada di benak anda sebelumnya, dibandingkan dengan makna Anarkisma yang saya paparkan diatas. Jangan langsung terpengaruh oleh kata-kata saya, anda saya sarankan untuk membaca terus.)

Memahami Anarkisma
Walau masih diperdebatkan bukti-bukti antropologisnya, Harold Barclay dalam People Without Government: An Anthropology of Anarchism menuliskan bahwa umat manusia telah hidup ribuan tahun dengan damai dalam sebuah masyarakat tanpa pemerintahan. Jared Diamond, penulis The Worst Mistake in the History of the Human Race, menggambarkan Masyarakat Adat sebagai sangat egaliter. Kemunculan masyarakat hirarkislah yang kemudian menciptakan politik dan melahirkan pemaksaan kekuasaan dalam bentuk kekerasan. Louis-Armand, Baron de Lahontan, dalam bukunya yang dipublikasikan tahun 1703, “Nouveaux voyages dans l'Amérique septentrionale” (New Voyages in Northern America), menggambarkan penduduk asli Amerika yang tak memiliki negara, hukum, dan penjara, sebagai sebuah masyarakat anarki.
Ide awal Anarkisma sebagai sebuah perspektif pemikiran lahir sebagai respons terhadap represi kekuasaan dan institusi politik. Filsuf Zeno dari Citium, pendiri mashab Stoik, berargumen dengan Plato bahwa akal harus menggantikan kekuasaan/pemerintahan dalam membina unsur-unsur kemasyarakatan. Ia berpendapat bahwa dalam walaupun dalam insting manusia telah terpatri “egoisme”, kita juga dikaruniakan “rasa sosial” sebagai penyeimbang. Filsuf Arristippus, seperti dikutip Sean Sheehan dalam bukunya Anarchism, berkata bahwa “yang bijak seharusnya tidak memberikan kekuasaan kepada negara
Dalam dunia filsafat timur, Lao Tze, seperti tergambar dalam Tao Te Ching, mengembangkan filosofi “tanpa kekuasaan” yang kemudian mengantar para penganut Taoisma hidup dalam pola Anarkisma. Para penganut Anarkisma Nasrani berpendapat bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi dari “kekuasaan Tuhan”, dan menentang segala bentuk kekuasaan lain yang “didirikan manusia”. Ajaran Kristus dinilai sangat mengandung nilai-nilai Anarkisma dan kehidupan jemaat mula-mula juga jelas-jelas mempraktekkan hal yang sama. Kelompok Kristen Anabaptis di Eropa pada abad 16 adalah para praktisi Anarkisma Nasrani. Bertrand Russell dalam bukunya History of Western Philosophy menulis bahwa penganut Anabaptis "repudiated all law, since they held that the good man will be guided at every moment by the Holy Spirit...". Sepanjang sejarah umat manusia, banyak gerakan religius yang meletakkan landasannya di atas pemahaman Anarkisma.
The Oxford Companion to Philosophy, berkata bahwa "there is no single defining position that all anarchists hold, beyond their rejection of compulsory government, and those considered anarchists at best share a certain family resemblance". Pilar-pilar Anarkisma mendukung: otonomi, perdamaian, konsensus, kooperasi, partisipasi, kolektivitas, de-birokrasi, persamaan hak dan kewajiban, persamaan derajat, saling tolong menolong, kepemilikan pribadi, kesadaran dan kebebasan berkumpul dan asosiasi pekerja independen, penyelamatan alam, perlawanan budaya. Anarkisma sendiri menolak: autoritarisma, pensensoran, kekerasan, ekploitasi, hirarki sosial (pengkastaan), fasisma, imperialisma, paternalisma, politisasi/kekuasaan agama, statistika massa, sosialisma negara dan ekonomi terencana.
Adalah Pierre-Joseph Proudhon yang kemudian dianggap sebagai yang pertama mendeklarasikan diri sebagai seorang anarkis, melalui bukunya yang menghebohkan, What is Properti?, terbit tahun 1840. Kalimat yang paling terkenal dari karyanya ini adalah "Liberty is the mother, not the daughter, of order”. Oleh karena pemikirannya ini, Ia disebut-sebut sebagai penggagas dari Anarkisma Modern. Proudhon mengoposisi dua paham, Kapitalisma dan Komunisma sekaligus. Dan, oleh karena pilihan ideologinya inilah Anarkisma akhirnya harus mengalami rongrongan dari “dua kubu besar” ini. Jadi, agaknya kurang tepat jika ada yang mengatakan jika Anarkisma adalah “sempalan” dari Komunisma. Tokoh Anarkisma, Mikhail Bakunin, pada konferensi “The First International” tahun 1864 menolak keras Autoritarianisme yang menjadi sendi dasar dari Komunisma.
Alexander Bergman, David D. Friedman, Emma Goldman, Shusui Kotoko, Peter Kropotkin, Errico Malatesta, Nestor Makhno, Buenaventura Durruti, Voltairine de Cleyre, Hakim Bey, Saul Newman dan setumpuk nama lainnya adalah tokoh-tokoh Anarkisma selanjutnya. Banyak juga tokoh-tokoh dalam sejarah secara tidak langsung mengaku bahwa ia Anarkis, namun dalam secara ideal dan praktis mereka menganut Anarkisma. Beberapa diantaranya adalah: Leo Tolstoy, Henry David Thoreau, Gustave de Molinari, Guy Debord, William Godwin, Howard Zinn, Noam Chomsky, Jack Kerouac, dan, jangan kaget, Thomas Jefferson, Mohandas Gandhi, dan Karl Marx!
Thomas Jefferson, seorang pendiri Amerika Serikat, seorang penjunjung Demokrasi, mendukung Anarkisma dan mengkritik kekorupan sistem governansi Eropa dengan berucap: "The basis of our governments being the opinion of the people, the very first object should be to keep that right; and were it left to me to decide whether we should have a government without newspapers or newspapers without a government, I should not hesitate a moment to prefer the latter. But I should mean that every man should receive those papers and be capable of reading them. I am convinced that those societies (as the Indians) which live without government enjoy in their general mass an infinitely greater degree of happiness than those who live under the European governments. Among the former, public opinion is in the place of law and restrains morals as powerfully as laws ever did anywhere. Among the latter, under pretense of governing, they have divided their nations into two classes, wolves and sheep. I do not exaggerate. This is a true picture of Europe”.
(Sekali lagi, saya tidak sedang mempengaruhi anda. Saya yakin, anda cukup bisa menemukan makna yang paripurna. Tinggal sebuah bagian singkat lagi dalam tulisan saya ini. Tidak ada ruginya untuk terus membaca, bukan?)

Menjadi Anarkis!
Anarkisma memang bukan sebuah falsafah yang sangat sempurna, sebagaimana juga falsafah manapun di dunia ini. Saya tidak akan menyembunyikan fakta bahwa memang ada segelintir anarkis, mereka yang terpengaruh dengan “Nihilist Movement” di akhir abad ke-19 lalu, yang tiba pada sebuah pemahaman bahwa sesekali waktu perlu pelaksanaan “Propaganda of the Deeds”, yang salah satu metode taktisnya melibatkan “pernyataan publik” yang menggunakan tindakan-tindakan yang kemudian diterjemahkan sebagai kekerasan. Metode ini dalam kalangan anarkis sendiri sangat ditolak dan dicerca. Namun, secara umum pada prakteknya, Anarkisma adalah sebuah paham politik yang dalam menuju cita-citanya, masyarakat anarki/utopia, menentang kekerasan dalam bentuk apapun.
Memang, label Individualisma, sosialisma, kolektivisma, mutualisma, serta label-label lainnya terus-menerus tertempel pada Anarkisma. Tetapi, sebagaimana rekaman sejarahwan George Richard Esenwein dalam bukunya "Anarchist Ideology and the Working Class Movement in Spain, 1868–1898" yang mencatat seruan “Anarkisma Tanpa Kata Sifat” dari Fernando Tarrida del Mármol sebagai ajakan untuk bertoleransi, ditambah dengan sifat-sifat dasarnya yang egalitarian, indigenous, feminist, ecological dan cultural-concious, saya menganggap bahwa Anarkisma adalah sesuatu yang layak kita pandang sebagai sebuah solusi untuk menghadapi kompleksitas permasalahan Umat Manusia hari ini. Saya tertarik kepada statement David Graeber and Andrej Grubacic, dalam buku "Anarchism, Or The Revolutionary Movement Of The Twenty-first Century" yang memberikan argumen bahwa oleh karena Anarkisma bukan sebuah paham yang “diciptakan” oleh seseorang saja, maka ia berkencerungan untuk terus berkembang berdasarkan prinsip-prinsip praktis yang lebih subjektif namun tidak melupakan objektifisma, dan secara alami men-disable fanatisme. Nature dari Anarkisma adalah “open doctrine” yang membuka ruang seluas-luasnya untuk kreativitas, kontekstualitas, serta identitas.
Pada akhir tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa maksud tulisan ini adalah pertama: meluruskan pengertian Anarkisma, dan kedua: untuk menyampaikan bahwa, setelah saya sebelumnya pernah berkata “Panggil Saya Orang Minahasa”, sekarang, jika anda perlu label lain, maka Panggil Saya Seorang Anarkis.
Anda?...

"Kebudayaan Minahasa Sesuatu yang Terjadi di Hari ini, Bukan Hanya Kemarin". - Sebuah Esei

"... Culture should be regarded as the set of distinctive spiritual, material, intellectual and emotional features of society or a social group, and that it encompasses, in addition to art and literature, lifestyles, ways of living together, value systems, traditions and beliefs". (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), 2002).

Culture? What Culture?
Saya tersenyum geli, ketika pertama kali mendengar lagu makaaruyen yang di-remix dengan sampel-sampel disko dari sound system menghentak sebuah mikrolet. Bukan karena campuran yang lucu itu, tetapi karena akhirnya tiba-tiba ada irama khas Minahasa, yang selama ini oleh sebagian anak muda dianggap sebagai musik “pangge-pangge ujang”, mendapatkan “raga” baru dan pemaknaan baru sehingga bisa kembali tampil melaksanakan tugas, sebagai bagian dari fungsi estetikanya, untuk menghibur manusia yang menciptakannya. Sambil tersenyum, pikiran saya mulai berliar-liar tentang lantai-lantai disko yang sering dipadati clubbers Manado dan mulai mengimajinasikan tubuh-tubuh yang bergoyang diiringi niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko… He he he, saya jadi tergelak, ternyata kebudayaan Minahasa belum mati.
Tapi tunggu, apa lagu remix yang dipakai untuk berkeringat semacam itu bisa dianggap sebagai bagian dari apa yang disebut sebagai “kebudayaan”? Begitu mungkin anda langsung menyanggah. Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita saksikan dalam ritus-ritus dan situs-situs purba? Bukankah kebudayaan itu sesuatu yang kita lihat terpampang rapi dalam museum-museum? Bukankah kebudayaan itu adalah kegiatan-kegiatan yang sering dilakukan oleh pihak-pihak terkait, pemerintah terutama, seperti festival kesenian tradisional semacam Maengket, Kawasaran, Pindah Waruga atau yang sejenisnya? Bukankan kebudayaan adalah sesuatu yang agung, indah, dan monumental? Anda tidak keliru, jika kita bicara tentang kebudayaan sebagai sebuah warisan dari masa lalu. Melville J. Herkovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Kebudayaan dapat digolongkan atas dua komponen utama:

• Kebudayaan material
Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian arkeologi: mangkuk tanah liat, perhisalan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.

• Kebudayaan nonmaterial
Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

Tetapi tolong, jangan berhenti sampai pada pemahaman itu saja. Kebudayaan kita bukan hanya sesuatu yang telah terjadi. Sesuatu dari hari kemarin. Kebudayaan kita juga adalah apa yang sedang terjadi hari ini, sekarang. Jadi, sebenarnya gerakan-gerakan yang tadi saya imajinasikan sedang dilakukan di lantai disko Ha-Ha Café tidaklah beda berbudaya dengan serangkaian gerakan seorang penari Maengket! Pula sebuah lagu remix yang mendentum dalam mikrolet punya kesetaraan kultural dengan tembang yang dinyayikan dalam tari Maengket! Mungkin anda bisa saja tersinggung dengan ide seperti ini, tetapi ini dikarenakan kebudayaan juga menurut J.J. Hoenigman, dibedakan menjadi tiga wujud:

• Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.

• Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

• Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.

Suatu ketika, seorang sahabat yang juga bergiat dalam bidang budaya berkata bahwa tanpa menggali sedalam-dalamnya kultur, lewat berbagai artefak dan praktik, kita tak akan bisa mengerti apapun tentang itu. Beliau memang telah cukup dalam menggali budayanya, terbukti dengan terkumpulnya sejumlah benda-benda kultural di rumahnya, juga dari pengetahuan-pengetahuan meta-kultur yang telah dikuasainya. Saya hampir-hampir setuju dengan pendapat itu. Tetapi saya lantas berpikir: apakah sebagai tou Minahasa, saya dikehendaki oleh leluhur saya untuk kembali membongkar kubur-kubur tua, memburu berbagai mustika dan benda kuno lainnya, yang, meminjam kata-kata yang sering digemakan seorang sastrawan Minahasa saudara Pnt. Fredy Wowor, usaha melap-lap benda usang agar mengkilat kembali? Saya rasa tidak. Kebudayaan Minahasa adalah di hari ini, bukan hanya kemarin.
Ada pula seorang praktisi budaya yang mempertanyakan kepada saya mengapa kebanyakan orang Minahasa praktis sudah meninggalkan tradisi-tradisi shamanisme kuno semisal upacara foso dan, bentuk besarnya, konsep teologi tradisional. Saya katakan bahwa dia salah. Orang Minahasa tidak melupakan semua itu. Akan halnya sistem religi yang universal, ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik menusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:
... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.
Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek moyang", yang dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika. Agama tradisional telah menjawab kebutuhan rohani tou Minahasa akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri. Dan saat ini, kata saya, orang Minahasa telah menemukan itu semua dalam keimanan mereka terhadap Empung Kasuruan dalam Yesus Kristus. Jabatan shaman saat ini dipegang para pemimpin jemaat. Tidak ada yang berubah.
Beliau kemudian juga berargumen tentang rendahnya minat orang Minahasa saat ini terhadap “pengetahuan-pengetahuan” tradisional semacam ilmu mengendalikan kekuatan alam. Saya tersenyum dan berkata bahwa itu juga salah. Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
• pengetahuan tentang alam
• pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
• pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia
• pengetahuan tentang ruang dan waktu
Teknologi, saya selalu menggolongkan pengetahuan-pengetahuan semacam itu dalam perspektif ini, adalah segala sesuatu yang menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
• alat-alat produktif
• senjata
• wadah
• alat-alat menyalakan api
• makanan
• pakaian
• tempat berlindung dan perumahan
• alat-alat transportasi
Jadi, lanjut saya, jika pada suatu masa leluhur saya menggunakan aspek-aspek teknologi zamannya semacam memakai cidako (yang menurut saya pasti sangat modis pada saat itu), maka saat ini saya sebagai orang Minahasa yang hidup di milenium ketiga memilih memakai jins dan t-shirt. Atau, jika dulu ada peti kayu untuk menyimpan benda berharga, sekarang saya punya flashdisk untuk sesuatu yang kurang lebih sama. Dan, mungkin ini yang paling menarik: kalau dulu nenek moyang saya perlu menggunakan telepati (atau apalah namanya) untuk mengirimkan pesan ke tempat yang jauh, sekarang saya tinggal memencet tombol telepon genggam. Atau, dulu jika ingin berkonsultasi mengenai pengambilan keputusan, kita perlu menghadirkan ruh leluhur dan melihat gejala-gejala alam, baik binatang, tumbuhan, ataupun bintang, sekarang saya akan mengunjungi perpustakaan, bahkan bisa mengakses Internet untuk mendapatkan referensi-referensi yang kurang-lebih berguna sama! Jadi, sekali lagi, tidak ada yang berubah. Saya yakin orang Minahasa tidak pernah meninggalkan aspek-aspek budayanya. Jika kelihatan ada yang berubah, itu karena memang yang berubah adalah yang kelihatan saja, metode fisiknya saja. Sedangkan esensinya, lebih tepat: filosofinya, tetap ada dan tinggal.
Saya katakan kepada rekan itu bahwa saya percaya Kebudayaan Minahasa adalah sesuatu yang everchanging, sesuatu yang terus-menerus berkembang, berubah dan beradaptasi menurut kebutuhan masanya. Kebudayaan Minahasa, menurut saya, bukanlah sebuah finished product, namun sebuah ongoing process. Kebudayaan yang stagnan, yang hanya mengelu-elukan kebesaran dan kejayaan masa lampau, tampa bergerak maju kedepan menyongsong kemajuan dunia, menurut saya adalah kebudayaan yang mati. Kebudayaan yang agung adalah kebudayaan yang menghargai identitas ancient civilization-nya, sekaligus memiliki perspektif suvival yang jauh ke depan.

Redefining Minahasan Culture
Saya dan banyak saudara-saudara tou Muda Minahasa lainnya bergiat dalam usaha-usaha kreatif dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Semuanya dalam sebuah rel pemikiran: Ini dilakukan dengan kesadaran penuh akan “…lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut” tadi. Saudara Jenry Koraag dalam puisinya Mawale menggariskan kata-kata:

aku ingin pulang
tapi bukan kepada batu
karena batu tak mampu mengisahkan
segala kisah tentang sejarah

aku ingin pulang
tapi bukan kepada pohon
karena pohon tak bisa tuturkan
liku jalanan panjang cermin lalu

aku ingin pulang
tapi bukan kepada gunung
karena gunung hanya diam
tak dapat cerahkan coretan alam.

Semua ini adalah usaha sadar untuk kembali “menemukan” apa yang kita harapkan akan diberi label “Kebudayaan Minahasa”. Sesuatu yang lebih dari sekedar “batu” atau “gunung”. Sesuatu yang kelak dapat kita pertanggung-jawabkan di dihadapan leluhur kita dan, terutama, dapat kita wariskan kepada generasi sesudah kita, sampai tiba giliran anak-cucu Lumimuut-Toar untuk kembali meredefinisikan kebudayaan Minahasa di masa mereka. Mawale Movement, - Gerakan Kembali Pulang, begitu kami menyebut ini.
Kami bicara tentang satu hal: Identitas ke-Minahasa-an cuma bisa ditemukan dengan kembali menata kebudayaannya. Caranya: Seperti yang telah kami lakukan secara estafet beberapa waktu terakhir ini dengan membangun kantong-kantong praktisi seni-budaya muda Minahasa di berbagai pelosok Minahasa. Di Sonder, Wuwuk, Tomohon, Koha, Treman, Kalasey, muncul bangun-bangun budaya Minahasa baru berupa teater, sanggar seni, kelompok tari yang anggotanya para muda-mudi Minahasa yang mulai kembali secara sadar memulai sebuah pencarian identitas sebagai Orang Minahasa. Sebuah identitas yang sudah sedemikian lama secara sistematis dikaburkan agar kita, Orang Minahasa, kehilangan pegangan menuju masa depan.
Sekarang, di penjuru-penjuru Minahasa, ada muda-mudi yang melalui kegiatan seni-budaya macam pentas teater, menulis dan membaca puisi, cerpen dan esay, mementaskan sebuah pentas koreografi, serta memulai proses pengayaan intelektual dengan membaca dan berdiskusi tentang karya raksasa sastra semacam Beowulf dan Shakespeare sampai puisi sederhana karangan seorang anak SMP dari Sonder. Mereka menganalisa Republik-nya Plato sampai Das Kapital-nya Marx, lantas Dekonstruksi-nya Derrida dan tentang Post-kolonialisme. Mereka belajar tentang apa itu Walian, berkenalan dengan Teologi Pembebasan, sampai bagaimana mengkritik Gereja yang korup.
Inilah yang sedang terjadi: Mereka belajar tentang Dunia sambil berseru dengan bangga “Saya Orang Minahasa!”, seraya menjaga keseimbangan spiritualnya secara kontinyu dengan Sang Khalik. Maka, sejarah baru mulai ditulis hari itu juga. Sebuah sejarah yang menempatkan Bangsa Minahasa tidak lebih tinggi namun tidak lebih rendah dari bangsa-bangsa besar manapun di dunia.
Lantas, mengapa sastra (baca: tulisan)? Sebab tulisan adalah bentuk kasat mata dari Bahasa yang adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Fungsi bahasa secara umum adalah:
• alat berekspresi
• alat komunikasi
• alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah:
• Mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari (fungsi praktis).
• Mewujudkan seni (fungsi artistik).
• Mempelajari naskah-naskah kuno (fungsi filosofis).
• Untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang terutama adalah bahwa lewat sastra kita dapat kembali menjabarkan “Kebudayaan Minahasa” hari ini. Dengan menulis kita dapat kembali meluruskan benang kusut sejarah Bangsa Minahasa. Lalu, lewat tulisan, kita menggapai keabadian, bukan begitu? Dalam arti: ini tak akan lekang dimakan zaman.
Mengapa? Karena salah satu kelemahan “Kebudayaan” yang hanya mengacu pada artefak dan aktifitas adalah kecenderungan untuk menjadi apa yang dijabarkan sebagai "kebudayaan tingkat tinggi" (High Culture), yang pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang berkelas , seni tingkat tinggi, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah "berkebudayaan".
Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan" dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia alami" (human nature). Saya bukan sedang berkata bahwa usaha-usaha yang membawa kebudayaan Minahasa ke atas pentas-pentas raksasa dan massif, sebagaimana yang akhir-akhir ini sering kita lihat, adalah sesuatu yang negatif. Bukan. Yang sedang berusaha saya sampaikan adalah kebudayaan Minahasa harusnya menjadi milik masyarakatnya, bukan pentas-pentas seni-budaya yang memerlukan dana ratusan juta (mungkin milyaran) rupiah sekali even. Memang, efek yang dihasilkan adalah bahwa kebudayaan terlihat menjadi sesuatu yang grandeur, sesuatu yang agung. Tetapi, eksesnya pada tataran seperti ini, kebudayaan justru mendapatkan label sebagai sesuatu yang wah, mewah, mahal dan, ini yang utama, tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Selanjutnya, dalam skenario terburuk, orang Minahasa akan menolak kebudayaannya sendiri, menyangkal identitasnya, dan kemudian menghancurkan eksistensinya sebagai bangsa! Pengembangan kebudayaan semestinya berujung-pangkal pada pemeliharaan akar konseptualnya, pada anyone, pada diri semua masyarakat yang melahirkan kebudayaan itu.
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu — berkebudayaan dan tidak berkebudayaan — dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik pop sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama — masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan.
Demikian halnya lagu disko remix tadi, yang dentumannya saya yakin telah merambat sampai ke sudut-sudut terdalam tana’ Minahasa, biarlah menjadi contoh yang menjadi penyadar bagi kita bahwa esensi kebudayaan Minahasa adalah kemampuan untuk selalu dapat memahami kontekstualitas kehidupan hari ini. Memang, sejarah selalu diciptakan hari ini. Kebudayaan Minahasa adalah di hari ini, bukan hanya hari kemarin. Niko mokan si gumenang lah sa aku lewo wia niko…

Puisi-Puisi Dari Buku Antologi Puisi Bahasa Manado "999" - Terbitan 2005

Cuma 50

Masi fruk tu waktu
Di trotoar Bole muka Ritzy
Tambio so mulai pasang gaya
Satu, dua, tiga...
Ado banya no!
Deng muka-muka tabal bahodeng
Tangisi-ngisi deng brapa om-om

Blum talalu lat kong Terano itang sandar
Dapa lia yang bawa bukang orang sini
Itang kong balogat mana sto
Dia iko muat tu parampuang paling gaga
Trus tindis gas kaluar kota
Paling kwa kalo nyanda Tambulinas
Dorang indehoi di Kasuang
Pa Yoyo pe cottage sto

So komang tenga malam dorang baru babale
Cuma drop tu parampuang kong langsung pigi
Mar dapa lia tu parampuang kurang sanang
Iko momake di muka depe tamang-tamang
“Pe soe le kita”
“pake Terano mar bayar cuma 50”
“Setang le”
“Lebe bae so bamapalus di Ranotongkor!”








Rex Orgasmus

Ombong masi tabal di Masarang
Matahari somu-somu, blum stenga anam
Dingin bacucu tumbus tulang
Ini Rurukan tamang!

Pe pica jam anam
Samua so tarang
Dapa lia enteru tu kampung pe pemandangan
Memang no, torang pe tana nya’ da lawang

So ini no tu bilang
Biar nyanda badapa tadi malang
Mar dapa rasa no tu sanang
Lebe dari tabuang...



















Palakat

Pang!
Di skit pas testa
Panjahat rubu
Barol untung
INDOVISION, 5 Desember 2004

Cek!
Dia bla pas gargantang
Ade taplaka
Kaka tumingkas
POSKO, 6 Desember 2004






















Retro Epic

Ini cirita tentang kita
Waktu masi skola di SMA taong 1992

Dapa inga tu dulu-dulu
Waktu katu kita masi sadiki muda
Jaman blum tau hidop pe siksa
Tu waktu torang nyanda farek
Kalou nyanda singga mega mol
Apa lagi ka hai ki ato gacho
Tiap malam minggu bagini
Paling makang pisang ato mi
Mangada plein tikala

Torang ley blum bawa-bawa hp
So mujur tu ada telpon ruma
Kalo perlu kurang cari saratus
Kong lari-lari ka telepon umum
For mo telepon kape-kape Memora
Itu komang torang sorasa

Amper tiap hari barmaeng bola
Di skola jam bersenang sampe bel maso
Abis itu tu klas kurang bobou naga
Lantarang samua laki-laki so mandi suar
Mar yang penting torang nyanda saki mata
Haga-haga televisi deng jam-jam
Main winning kong bayar ley

Memang torang kala gaya katu no
Blum ja bapake tu gombrang, jangkis,
Apalagi span-span
Blum ada tu nama gaul, choi-choi,
Apalagi dugem

Kalou takumpul deng tamang-tamang
Paling bakuti gitar
Scorpions, Bonjovi, Stryper, Guns ato Metallica
So rasa jago kalo so hafal
Depe pemain pe nama
Blum ada Corner, Musro, en tu sagala pub kasiang

Mar sadap kwa tu dulu
Pisang 50, frak 150, bakso 250, bola plastik 500, cokakola blek 700, kaset 2000, dragon 5000, ...
Samua kasiang masih mura
Cuma komang memang masi siksa
Tu nama cari maitua
Musti banya bardoa deng bakaca
Soalnya dorang blum ja lia oto!
Lia henpon lia merek
Nya’ rupa skarang do ce
Parampuang kurang ja muat dari pinggir jalang!

















Minahasan Dream I

Pulang-pulang kobong Utu iko banting pacol
Enter sabel dia le iko lego
Untung tasampel para-para
Mace takage amper kase tabuang
Tu aer madidi baru angka dari dodika
“cuki le tu pemerenta
so iko akang cucu dorang pe muka
mar tanang cingke, tanang kalapa,
tanang padi, tanang vanili,
samua so sama dorang bli pe mura
beso-beso kalo dorang bale kampanya
kurang dorang tu torang mo tanang!”
Buang kaluar dari kamar
Hari ini dia tako maso skola
SMU Negeri Satu Tareran
“pa, kong kapan dang tu doi skola
napa enci kurang tagi-tagi...”
















Minahasan Dream II

Unggu kurang da tutu-tutu depe muka
Lampu tustel wartawan beking silau
Dari blakang mesin ketik polisi mulai batanya
“nama?!”
“Unggu Kaparang”
“umur?”
“19 taong”
“asal?”
“Koreng”
“kenapa kamu mau dikirim ke Papua?”
“sala-sala no pak, mo cari doi...”

pas dia bilang itu
Kambuna brangkat dari Bitung ka Jayapura
Diatas kapal ada Siska, Yohana, Mince, Esther, Yudit, Marike, Aneke, Marlen, ...

















Minahasan Dream III

Talikuran deng Sendangan so baku jaga
Tadi malam maikel orang da tikang
Di disko tana abis pesta kaweng
So bawa lari ka Bethesda mar nyanda riki

Pana wayer, cakram, sabel tiga strep
So tinggal mo cabu
“baku abis jo!”
so mulai ada tu baba kuku

Padahal tu dua kampung masi satu tuur
cek-para cek tu da batikang masi kana kasungkul

Ado kasiang...
Apa jo tu torang pe dotu-dotu mo bilang
Satu dara mar kurang baku-baku makang

















Soputan

Lion Air dari Jakarta so tasopu
Sam Ratulangi pe rame
Sopir taksi
Buruh angka barang
Orang bajemput fol
Tanta Polin badiri pas regel
Panumpang baru ja baturung
Opa Bert badiri di sei
Ada karu bakuriki datang
Biar nyanda talalu nyaman
Batunggu amper dua jam
“odo sana tu toya’ang!”
Opa Bert so dapa lia pa Maxi
Baturung-turung tampa ambe bagasi
Bole jo kote pace pe mata tudia
Padahal masi jao antara dinding kaca

“so lebe gode ci”
Tanta polin ley dapa lia somore
Baru lay satu taong da blayar
Rupa jo so baku pisa deng pulu taong

“wah, udah lama nih nunggunya?
“abis tadi kelamaan di transit sih”
“trus, pada naek apa kesininya?
“ampun, koq disini panas ya, gitu loh”
O rekey!
So lupa dang
Pusa da tambung di bawa Soputan




Manado, Ado Pe Sadap!

Pe sadap ja tinggal di Manado
Ngana mo kamana-mana gampang
Nae mikro frak saribu
So dari ujung-ka ujung
Kacuali kalo taprop di 45
Satu jam oto bajalang satu meter
Deng pas Natal taong baru
Sopir minta bayar dua kali lipa

Pe sadap ja tinggal di Manado
Depe udara nya’ panas nya’ dinging
Anging sadap batiop di pohong bulu
Matahari pe gaga ujang nya’ lama
Kacuali kalo musim barat
Seng ruma kurang punggu kampung sabla
Omba pe basar Ikang pe mahal
Kuala guhi enter karamba anyor

Pe sadap ja tinggal di manado
Di kampung masi baku-baku bantu
Ba mapalus kong baku-baku bae
Samua basudara kong baku-baku sayang
Kacuali sala maso orang pe kampung
Apa lagi so langgar jam 9
Kalo nyanda dapa pajak dapa pulungku
Lebe soe cumu slamat malam

Pe sadap ja tinggal di Manado
Depe orang samua taat baibada
Samua agama baku mangarti
Pemerenta bamoral deng tau atoran
Kacuali di kasus mbh geit
Amusemen so mancari di mana-mana

Captikus di amper samua warong
Tambio sport tafiaro di jalang

Puisi-Puisi Dari Buku Kumpulan Puisi "SPECTRE" - Terbitan 2006

Bayang-Bayang Masa Lalu...
... sebuah pengantar...

Dengar wahai sobat-sobatku
Terhampar kini dihadapanmu
Seonggok kenangan dari hari dulu...

Tak aku mengangkat kepala
Apalagi bertepuk dada
Kala mulut-mulut itu menganga...

Pun ketika nafas telah kembali
Duka jauh terusir pergi
Badai tak mengamuk lagi

Dibalik kelamnya malam...
Dari neraka yang terdalam...
Menanti hantu-hantu masa silam!!


















Nisan Diantara

Disini Aku…
Terjepit antara bentang dua dunia
Dimana mula hidup beri nafas
Tapi kini cuma pelipur lara
Disela cekikan semena-mena
Dan yang sisa menyepoi angin buta
Entah topan hendak porak-poranda
Kemudian kukatup mata berangus telinga
Biar bisik hati ambil kendali
Tetapi sayang…
Terlalu lelah berkeluh-kesah
Terlampau parah menjerit nanah
Sekarat dibalur bilur-bilur duka
Dendam sarat tak punya makna
Sekarang nanar kupandangi dua dunia
Kurindu yang mula…
Kucinta yang sisa…
Nisan kan kubangun diantara!















Mati Mentari

Terhenyak aku dipenghujung hari
Mentari menjerit lirih dibunuh kelam
Sebelum mata tak lagi kecap cahya
Sempat kulempar pandang jauh ke awal fajar
Dengan manis madu kuhirup embun pagi
Berseri nafas wangi berjuta nektar bunga
Penuh dada meresapi jiwa kaya warna
Indah masa membuai putik-putik cinta

Namun …
Barat ganti mengerang
Redup sinar mulai terkekang
Kabut mulai lahap sisa-sisa siang
Melintas angin dingin awal sengsara
Satu-satu denyut mulai sirna
Lewat separuh putaran hari raga

Dan…
Mulailah jerit sengsara landa
Semi diperkosa gugur daun-daun embun
Tubuh layu
Iman membiru
Badai menderu
Kering serak kerongkongan mendamba sejuk
Tapi semua mata air bercemar tuba
Lapar jiwa disambut ranggas pohon korma
Tak lagi punya apa-apa di tepi sepi
Kelam menjelang ditemaram petang
Kaki kelu tak lagi mampu berseok
Kupejam rana
Kusimpuh lemas lutut
Jurang tanpa dasar menganga dihadapan
Terbentang menelan akhir jalan

Kemudian sakaratul membungkus nafas
Mengantar gumamku penghabisan
Bukan pada diri atau lain insan
Namun untuk Tuhan Alam yang sebah berdarah

…sudah selesai…





























Spectre

Kenangan masa silam tak pernah lekang
Hanya sembunyi dalam kelam
Untuk datang lagi menerkam
Dikala t’lah larutlah malam!





























Ketika Cinta Mati

Aku tahu
Aku sadar
Bahwa layak diri dihina
Ribuan sembilu cincang
Ombak badai tenggelamkan
Panas lepuh lekangkan
Resah tak terjawabkan
Pedih tak terperikan
Tangis tak terisakkan
Menyisa siksa didada
Kembali sendiri disini
Hembusi nafas hari
Menghitung detak jantung
Menjumlah detik waktu
Kusereret langkah berbeban kalbu
Kala siang kelam menenggelam
Rindu dendam dipendam kesunyian
Aku tahu… Aku sadar…















Kemboja

Apa dosa setangkai kemboja
Yang mekar sepuluh tahun lantas layu?
Toh ia lalu gugur
Menghamili tanah dengan darah
Dan jadi asa buat nyawa
Tunas-tunas muda!



























Jangan Cucurkan Nanti

Jangan cucurkan airmatamu kelak
Kala ragaku tak lagi hangat dengan candatawa
Kala ranum senyum tak lagi terukir dikulum
Kala nada swara tak lagi bergema dari rongga hati
Kala belai nafasku tak lagi menyapa hari sepi

Jangan cucurkan airmatamu kelak
Kala citaku tlah lalu dihembus angin waktu
Kala buah penaku tinggal nyala kusam di ingatan
Kala kisah hidupku hanya dengung di malam buta
Kala cintaku terkubur beku dalam jasad kaku pilu

Karena tak bisa lagi kudongengkan
Kisah cinta dan kehidupan ke telingamu
Tak mampu lagi kutatap kagum
Sempurna karya indah dirimu
Tak mungkin lagi kurengkuh takjub
Lembut tubuh harummu
Tak sanggup lagi kunyatakan
Deru cinta didasar hati untukmu

Tangisi aku sekarang!
Saat hatiku haru biru karena cinta lekang dariku
Saat mentari harap pupus hampa dari anganku
Saat jari-jari sunyi mencekik kaku nafas jiwaku
Saat hitam kelam pandang mata khayalku

Menangislah bersamaku!
Balut lebam luka jiwaku dengan tangismu
Banjiri kosong lompong hati keringku dengan airmatamu
Puaskan dahaga rasa tubuhku dengan isakmu
Suburkan gersang taman cintaku dengan ratapmu

Karena airmata suci
Adalah bukti bijak dan tulus hati
Bukan sesal dan gundah dihari nanti
Jika jatuh menggerimis kala raga
masih bersekutu nafas
Bukan saat nyawa tlah diregang pergi





























Kucari Bahagia

Harapku tumbuh bagai lumut dalam hujan
Segar angan subur menghijau
Mekar bak kembang kala semi
Wangi warna warni mimpi

Tapi musim cepat berganti…
Kini hilang hijau hatiku
Kini layu bunga rasaku
Kini lenyap warni jiwaku
Tinggal aku tertunduk sendiri

Alangkah kejam dirimu alam
Jangan kau curahkan hujan
Jangan kau semikan musim
Jika hanya sekejap saja

Wahai hujan… Wahai semi…
Jauhi aku!
Tinggalkan aku!
Biar aku disini
Berteman sepi gersangku
Kan kucari bahagia
Dalam kematianku…










Yang Menanti Kembali

Rindu angin sepoi pada mawar
Tak kan pernah terobati
Selaksa kerlip bintang sekalipun...

Angin:
Mawarku, aku rela beku
Dalam peluk kelopak embunmu!


























Tak kan

Tak kan pernah langit hitam pancarkan cahya
Atau bunga layu kembangkan warna
Tanah gersang suburkan rasa
Seperti mati suri hati yang luka
Tak kan pernah terseberang lautan badai
Ka la sampan terbelah dan layar koyak
Arus deras bawa cita ke alam fana
Seperti mati rasa jiwa meregang nyawa
Tak kan mampu lewati hari
Saat rindu pupus jeri
Saat mencari belahan hati
Tawa datang silih berganti!
Kini langit kelam hitam
Bunga gugur layu
Tanah gersang kering
Siang tlah berganti malam

Dan…
Tak kan pernah mentari pancar lagi














Gabriel, Dimana Kau?

Malaikat tak lagi tinggal dalam gelap
Cuma bayang-bayang kaku yang setia pada ratap
Satu-satu menancap kuku menuju senyap
Padahal terang tak lagi gemar tabur harap





























3650

Apalah artinya waktu
Saat nafas ditarik atas nama cinta
Musim dan tahun berganti
Tak menyisa pedih nan luka
Apalah maknanya usia
Kala di nadi mengalir sayang
Kerut wajah bertambah malah
Buktikan kuat rasa didada

Andai kau bisa baca janji
Berlaksa-laksa kulangkah kaki
Walau kerikil kerap robek hati
Senyum juga yang datang menemani
Tak cukup seribu tahun lagi
Atau sejuta edaran matahari
Aku ingin hidup tak cuma sendiri
Tetapi bersamamu selalu disisi
Karena tanpamu aku mati hari ini















The Pain

Mengapa mentari harus menangisi kepergian malam
Kala angin membawa badai airmata?
Mengapa harus menikam belati kerusuk kenangan
Disaat nyawa daun lenyap sirna?





























Debu dan Bintang

Aku jatuh cinta pada langit
Padahal sayap peri punah kala remaja
Yang kumampu lolongi bulan
Dan bisiki telinganya

Sekali-kali langit pasti menagisi aku



























Abadi

Tlah sadarkah dirimu?
Bahwa bunga tak selamanya mekar
Matahari tak sepanjang tahun bersinar
Dan jiwa tak abadi bersekutu raga?
Tlah sadarkah dirimu?
Bahwa langit tak selamanya cerah
Laut tak sepanjang tahun tenang
Dan jantung tak abadi berdetak?

Jadi… Sadarkah dirimu kini
Bahwa jiwaku abadi mengasihimu?
Sadarkah dirimu kini
Bahwa ragaku abadi mencintaimu?

Walau derita kurasa
Lakumu cekik nafas sukma
Tak sedetikpun kan aku serah!
Cintaku klak kubawa mati…















Sebait Senyum

Jangan punah wahai senyun
Jangan henti tebarkan harum
Jangan hapus diukir kulum
Jangan hilang kecup cium





























Untuk Airmata

Duka iris kalbu bak sang zalim
Saat rintik airmatamu menggerimis
Mencekat tarik nafasku beku
Kabut hina dina menghembus
Sendi-sendi berkarat kaku…

…Aku jangan kau tinggal sendiri…


























Sajak Ragu Rembulan

Mengapa ragu wahai kasihku?
Mencekal leher menepis rindu
Bilakah rasa ungkap cerita
Jarak selalu cipta curiga

Mengapa percaya ungkap rembulan
Usik telinga kesisi jalan
Akankah mata berkafan mati
Perduli tidak pada khotbah hati

Kuajak dikau sama meratap
Jikalau khayal tak jua harap





















Utara

Tiada pernah kuragukan senyum itu
Ketika ia merekah harum diwajahmu
Tak pernah kurang rasa percaya
Bila kata-kata meleleh di bibirmu
Telah aku pergi jauh melewati angan
Menerobos tembusi ketakutan ganjil
Yang sedari dulu bersemayam di nadi
Melewati buih ombak melangkahi rentang laut
Kubawa mimpi dan pelukmu jauh
Kenegeri terik menyengat dan laut sebening kaca
Tiap nafas kutarik atas nama kenangmu
Denyut nadiku selalu gemakan kasih setia
Senyummu sertai langkahku selalu
Diriku kuat bahkan saat mata menyorot
Jutaan bayang tak mau lepas jiwaku
Menampar dengan tanya
Kujawab lantang mereka
Aku bawa cinta dibalik buruk rupa
Damai kuseru ketelinga
Kutawarkan kemerdekaan disana
Dari kebodohan dan ketakutan
Apalagi kungkungan penjara nurani

Aku bukan nabi
Mulutku kan terkatup tanpa daya
Jika gemulai mimpi tak menyertai
Bakti pada manusia adalah anugerah
Yang kuterima dari rasa cinta
Serak suaraku kuhibahkan lawan penindasan
Karena ku tahu nafasmu kan segarkan jiwa


Tak penah kuragukan senyum itu
Bahkan ketika tanah rumahku sambut
Berlaksa kutuk dera pundak lepuh
Disubuh buta saat sandar dermaga
Telah kucapai mimpi malam ini
Walau sengal nafas dan sedu sedan
Masih hiasi tubuh dandani raga
Peluh lelah tak mampu kuburkan rindu
Lari kuhampiri bayang ragamu
Bawa ragam cerita cita dan cinta
Lelah tak terasa airmata tak terseka
Wahai! Aku tiba bawa asa
Tetapi hangat senyum tak sambut aku
Cuma goresan tajam sinis diraut
Gelak ejek memekak telinga
Beku hati pisahkan bulan dan bintang
Letih renggut semangat
Peluh bakar sukma
Terhempas ke dunia derita fana

Aku bukan nabi
Tak kuharap puja puji
Apalagi singgasana sanjung diri
Hanya mencari setetes embun
Bagi batin yang kering merekah
Sebiji korma dari oase sejukmu
Kan kenyangkan abad-abad laparku

Tak pernah kuragukan senyum itu
Walaupun dusta dan hina membanjir
Percaya tak pernah luntur sirna
Derita kuanggap kawan setia
Tak ada apa-apa yang kubawa
Janji-janji haram kutabur
Emas permata juga gemerlap harta
Tak ada yang ingin kupunya
Hanya setia selalu kuikrarkan
Setiap langkah setiap pijak
Tak luar biasa memang
Dibanding mahkota tawaran mereka

Aku bukan nabi
Tuhan tak lafalkan kata lewat mulutku
Pula jalannya tak selalu ku setia
Dosa pun kotori tiap laku
Namun…
Dia ajarkan cinta setia
Yang jadi garis takdir diri
Kan kubaktikan sepanjang nafas
Hanya untukmu
Senyummu tetap terindah di ingatan
Walau kini layu menguap disengat terik
Kenangan manis tetap mendenting
Alunkan melodi sejukkan duka
Canda yang kini tak lagi menyapa
Peluk yang kini punah
Masih tersimpan erat direlung jiwa














Alam Kita Bukan Dunia Mereka

Kubaca resah hatimu lewat tutur
Menembus senyum menyilau binar
Bahagia kan terampas dari dunia mereka
Yang menukar nurani dengan akidah

Kukecup usir gundahmu lalu mimpi
Menerobos kelam diri dirundung mendung
Damai kan terukir di alam kita
Yang menebus rasa dengan cinta
























Kelam Malam

Dingin malam bekukan tulang
Lirih nafas temani tidur
Gundah menari-nari di mimpi
Henyakkan sadar pada miskin rasa
Kupadam harap
Kubunuh asa
Hampir-hampir kucabut nyawa!

Hela nafas bekalku tidur
Setarik saja sampai pagi menyapa
Esak kan kupeluk derita
Seperti kemarin…
Kemarinnya…
Kemudian esok…
Esok lusanya…
Sampai selama-lamanya!

















Dusta

Siang itu kelu...
Malam itu ragu...
Mengapa tak ku penggal lidah ini
Ganti kemilau untai kata basi?
Kan kau telah buang gendang
Ganti senyum kosong itu



























Sebuah Pertanyaan

Kemanakah harus kuhembuskan
Angin gersang yang terpenjara dalam dada
Karena kian lama kian panas
Meretas menggemeretak melayukan subur hati

Seharusnya lewat mulut kumuntahkan aral melintang
Tetapi harus rapat terkunci bagai jeruji besi

Kemanakah harus kusorotkan
Sinar membakar amarah jiwa
Sebab terlalu sering bayang-bayang menghantu
Mencuri nurani merampok merah darah hati

Sebetulnya lewat pori-pori kualirkan lahar keraguan
Namun mesti tercekik bagai mata air mati

Kemana?
















Kau

Aku lihat kau
Diseberang telaga
Berkalung tawa
Bertabur bunga
Tapi...
Mengapa mesti
Kau sembunyi
Cuma dari
Tatap nurani
Yang lagi
Terkoyak sepi?






















Eros & Agape

Haruskah setiap hari kau kenyangkan aku
Dengan caci-maki?
Tidakkah ada saat dimana kau tak taburi aku
Dengan berlaksa hina?
Belum puaskah hatimu jika bibirmu tak sinisi aku
Dengan jelek ejek?
Tak terdengarkah nurani saat kau sembur aku
Dengan sumpah serapah?

Wahai Tuhanku!
Ampuni kami yang tak pernah tahu
Dengan apa yang kami perbuat
Kepadanyalah cinta kuhibah…
Kepadamulah penderitaan kuserah!



















Diriku Dimatamu

Aku sebongkah kotoran
Sampah sisa berlalat
Pergi dari hadapanku!
Muak aku lihatmu!

Aku daki debu kotor
Bau amis jijik
Jangan dekati diriku!
Tak layak cintaku!

Aku surut malu
Gelegar Petir sambar jiwaku
Tak pernah kuraba duga
Kau…
Ludahi janji setia kita
Namun sadar tak jua sirna
Aku memang sampah sisa
Yang dibuang jauh segera















Khayali

Wangi malam ini membuat aku menghayali
Matamu yang selalu tersenyum
Seakan nadi akan berdenyut sampai bumi mati

Sayang...
Kelopakmu cepat lelah menyerah



























Pura-Pura

Tadi malam hatiku teriak pedih
Tak mampu lagi dia tanggung rasa
Aku pura-pura tak dengar
Nanti juga dia diam sendiri
Tadi malam hatiku menangis sedih
Tak sanggup lagi dia bendung rasa
Aku pura-pura tak tahu
Nanti juga dia berhenti sendiri
Tapi celaka!
Pagi ini hatiku tak kutemui lagi
Dalam rongga dada ini
Entah dimana…
Entah kemana…
Ah, maafkan aku wahai hatiku
Bukan aku tak perduli padamu
Tapi gundah curi warasku
Kala cinta hilang dariku
















Menuai Hancur Menabur Harap

Sendiri aku langkah meningkah badai
Dingin basah tubuh beku geligi tulang
Telah jauh seret langkah airmata derai
Lari terusir dari kenyataan membayang
Lalu kau lembut harum hampiriku
Tawar lambai canda senyum tubuh hangat
Gayung kusambut fajar teduh kurindu
Lemah sungguh kuharap tulus sangat

Tuntun aku tiba rumahmu awali janji
Diluar ditinggal aku pintu terkunci
Didalam kau sembunyi jendela berjeruji
Termangu kuhenyak kecewa temani sepi
Lelah aku resah tak mau lagi dusta
Pun padamu rindu padamu cinta
Mengapa aku hancur kau robeki luka
Meracun tikam antara derita duka
















Jarak dan Waktu

Masih terasa belai nafasmu ditelinga
Bukan hawa bertahun lalu, tapi sisa kemarin
Telah terlalu jauhkah masa merentang?
Telah terlalu lamakah jarak melayang?





























Kembalikan Aku

Buih ombak sapa malamku
Deru mesin garang mengerang
Kerlip kabur lampu kota
Makin sirna ditelan jarak
Termenung dalam tanya dan duga
Saat rasa tak mau lagi dusta
Bahwa risau hati tinggalkanmu
Kan tak terobati oleh mimpi

Hai laut !
Jangan kau pisahkan
Antara damai di tanah yang kutinggalkan
Dan anak bumi ini
Hai angin!
Jangan kau palingkan
Antara aku yang kini sepi mati
Dan putri mati dirumahku

Kelak kau harus bisa kembalikan
Jiwa gamang ini keasalnya
Ke gunung lembahnya
Ke pangkuan perempuannya











Lari Sembunyi

Mungkin kau tak cinta lagi
Pada mentari yang terbit setiap pagi
Memancar setia sepanjang hari
Mungkin kau tak lagi perduli

Mungkin kau tak cinta lagi
Pada bulan yang temani mimpi
Serentang malam mengusir sunyi
Mungkin kau tak lagi perduli

Tapi…
Nanti mampukah kau lari
Dari kejaran bayang-bayang hati?
Dan bisakah kau sembunyi
Dari sorot mata nurani?


















Bayang-Bayang

Melintas seberkas bayangmu
Yang selalu aku rindu
Tapi tak lagi seceria dulu
Kini merobek menyisa malu

... Dan dosa ganti menghantu
Nafasku tercekat...
Satu...
Satu...
























Catatan Menjelang Senja

Jikalau hariku tlah capai surut padam
Kan terukir selalu renai impi masa silam
Waktu rindu setia mengawal gerai jejak
Kalbu masih disemai indak kembang sanjak

Bila dayu doa tlah terangkum maghrib
Kan melukis kenang ke derita salib
Saat derai derita serasa temukan peraduan
Ratap pun berpesta anggur disela goda rayuan

Semua lepas tak lagi membuai syahdu
Kini debu kembali jadi debu!

Puisi-Puisi Dari Buku Kumpulan Puisi "WORLD OF SORROW" - Terbitan 2005

Pedang

Hari ini kita masih berduka
Karena kemilau pedang masih menuai nyawa
Disudut-sudut bumi yang lelah renta
Mesin pencabut nyawa tetap kobarkan sengsara

Hari ini kita masih berduka
Rintihan tak berdaya orang-orang tak berdosa
Menumpah darah menggerutu derita
Kering sudah anak sungai dan laut airmata

Hari ini kita masih berduka
Semakin lekang damai dari bumi manusia
Ribuan tahun saling bunuh sama binasa
Memuas nafsu iblis tertawa-tawa

Esokpun kita masih berderai airmata...
Sebab deru perang bukan nun jauh disana
Berseteru kita tak selalu kasat mata
Lihat! Di sini saudara menikam keluarga
Agama bangkit lawan lain percaya
Penguasa tak malu tindas rakyatnya
Di negeri yang mengaku berlima sila
Tuhan pun serasa hina tuk tebus dosa!










World Of Sorrow

Pain explodes everywhere
Never ending nigthmare
Poeple suffer from distortion
And they cant get any explanation
Holocaust of the tyrant
Spreading throughout many homeland
Yet no one can find the cure
No promise that is really sure

Take a look at the court today
Justice appears in shame ways
But where’s the reason? Where’s the punishment?
Where’s the promises? Where’s the testament?
Law is being mistrust
No truth come from the mouth of a judge
Poeple cry for liberty
And long for democracy

All because we live in the world of sorrow
So we dont care about tommorow...
All because we live in the world of sorrow
How to avoid it no one knows...
Ruler tear down the wall of faith
No right no sight
Bargaining life for paradise
Fail over and over never realize

Facing the anger of the sun
No food no water for the african
Pray god for morning rain
Please behold this burning pain


A scared mother hugging her son
Protect him from a mad machine gun
Run away from evil war
Where life has no one to adore

Awaken by a crash of bomb
A litle girl run from her burning home
Its an everyday scene in bosnian town
And in angola or palestina a similiar sound

All because we live in the world of sorrow
Where the exit light only a shadow...
All because we live in the world of sorrow
Where thousands die in just one blow...





















Kutuk Bangsa

Sia-sia mengharap
Bulan jatuh ke pangkuan
Wajah-wajah lusuh berkeringat
Menuai sebutir padi
Dari sawah terendam darah
Mengganjal perut dengan tulang
Sampah sisa piring penguasa

Sia-sia memimpi
Gunung terpeluk genggam
Tubuh-tubuh lemah layu
Mengais lauk sejilat
Dari tanah berkerangka siksa
Menawar lapar dengan remah
Ludah sisa muntah penguasa

Oh... Aib nian bangsa ini!
Membudak rakyat membuncit raja
Padahal lahir dari rahim sama
Kutuk... Kutuk allah adalah sengsara
Bencana bagi bangsa pemamah bangsa!












Bitter Matter

Tendencies everywhere
Living pains here and there
Long cold bitter winter
To taste again altogether

Oh how sweet how sweet
To bleed to bleed
The missiles are coming
A world demanding

Misery flow
Secrecies go
Heaven’s door close
An empty show



















26120408

[angguk tuhan]
[gemeretak tanah]
[gemuruh air]
[kekeh iblis]





























If

If the world would pass
Let it pass
I dont care
If the sky wont last
Let it be
Its all fair
If the fire would fall
Let it fall
Its not my game
If the earth will perish all
Let it be
No one to blame

Dont tell me
Where armageddon is
Dont show mw
Where hell is

I dont care
I wont care

Just tell me
Where utopia is
Just show me
Where valhalla is
That i care
That i will care






Wahai! Miskin Negeriku

Kita ditipu mentah-mentah!
Penguasa kaya...
Rakyat miskin...
Padahal katanya negeri ini
Memakmurkan rakyatnya

Kita ditipu mentah-mentah!
Yang kaya menang...
Yang miskin kalah...
Padahal katanya negeri ini
Punya hukum dan keadilan

Kita ditipu mentah-mentah
Menang berkuasa...
Kalah miskin...
Padahal katanya negeri ini
Milik rakyat jelata

Wahai! Miskin negeriku
Jangan mau ditipu lagi
Lingkaran setan jahanam ini
Saatnya maju bangkit
Lawan kemiskinan!
Lawan ketidak adilan!
Lawan kekuasaan!
Semua bukan dosa dimata tuhan
Sebab takdir tak pernah toreh derita






Sympathy To The Devil

Some poeple say life is a lemon
Some poeple say i aint that strong
Some poeple say dyin’ aint much of a livin’
Some poeple say i dont like like livin’ but dyin’
Some poeple say my life on the death row
Some people say i can’t take it anymore
Some poeple say i cant face the truth
Some poeple say fate treats me so rude
Some poeple say fuck you i dont need you
Some poeple say my love aint no true
Some poeple say wedding ring i dont need
Some poeple say marriage is shit

Its a sympathy to the devil
Anarchy to the saviour
Its a sympathy to the devil
Agony flow like a river
So they drug themselves
So they shoot them head
So they poison themselves
So they hang them head
So they burn themselves
So they crash them head










Airmata Itu

Dan ia pun menetes...
Airmata itu
Serupa jejeran malam sebelumnya
Seolah suratan takdir
Mencambuk laksana hukuman

Dan ia menetes lagi...
Airmata itu
Tiap titik kian cekik
Lepas tanpa bendung
Menenggelam semua harapan

Dan ia terus menetes...
Airmata itu
Abadi tanpa ujung akhir
Siang malam mendera
Menepis tiap impian

Dan...
Airmata itu
Jadi darah yang aliri nadiku












Anal Anarchy

Do we have enough food to share?
Government don’t care
Them hypocrite bureaucrats
Mouse mice rats

For some political intention
They put innocence in prison

With shinning limousine
They dwell in sin
Tyrants rules the land
Sadness will never end





















Ceritakan Kisah Baru

Maukah kau ceritakan padaku
Kisah hidupmu hari ini?
Ya... Hari ini saja!

Masihkah setia jarimu
Menyapu debu jalanan?
Membongkar sisa makanan
Rajin mengais sampah?
Ah... Masih saja sama dengan kemarin!

Masihkah keringatmu tercucur kencang
Saat memanggul karung berat pelabuhan?
Mengasong dikeruh asap kendaraan
Berjualan di terik matahari?
Ah... Masih saja sama dengan kemarin!

Masihkah tersengal nafasmu
Saat polisi pamong mengejar?
Loncat mencebur kali
Saat dia hancurkan gerobakmu?
Ah... Masih saja sama dengan kemarin!

Masihkah harga dirimu laku
Saat kau jual daging dirimu?
Pada hidung belang dursila itu
Agar perut kau dan keluargamu terganjal?

Ah... Masih saja sama dengan kemarin!
Bosan aku dengan semua itu!
Muak aku dengan cerita itu!
Muntah aku dengan kenyataan itu!
Kali ini cobalah ceritakan kisah baru!
Dongeng dari dunia mimpi

Cerita tentang dunia tanpa perih
Tak dikenal penindasan
Tak terbayang kesusahan
Tak terdengar kelaparan
Negeri dimana kau dan aku hidup damai...






























The Dark Side

Now’s the time to think about life
No one living without wearing disquise
Everybody’s wearing the same mask
When the face the truth they run fast
They believe in themselves today
Never to care about tommorow they say
Fall into the demise of the sorrow
They ask others not to care anymore
I see horror speads everywhere
Hunger and disaster now we share
Day by day pass away in vain
No hope waiting for the rain
Crying...
Mourning...
Just like yesterday
Killing…
Dying…
Just about everywhere

Dark side of the moon
Its no curse from above
Is it just a little too soon
To ask for bits of love?










Matius 5:6

Lapar...
Lapar...
Lapar...
...
...
...
Bunuh!
Bunuh!
Bunuh!
























Something To Die For

I’m alone
In the darkness
I’m alone
In the loneliness

You live
In my heart
You live
Thru the nigth

Fire in my heart
Burning everything
Anger in my soul
Killing everyone

Then you walked away...

















Kanibal

Jangan sembunyikan biadab jiwamu
Dirapi seragam itu
Jangan samarkan hati busukmu
Dikilau lencana itu
Jangan kaburkan nafsu binatangmu
Dilurus barisanmu
Jangan bentengi kerdil jiwamu
Dengan pistolmu,
Senapanmu,
Bommu,
Pansermu,
Tankmu,
Meriammu,
Kapalmu,
Dan takabur teriak:
Aku pelindung bangsa!

Karena kaulah yang menabur pelor
di atas gersang jiwa...
Mencekik nafas rakyat jelata...
Merenggut senyum kanak bangsa...
Jahanam bangsat!
Hanya manusia tak bernurani
Yang membantai rakyat tak berdosa
Memisah bocah dari ibunya,
Gadis dari sucinya, miskin dari rejekinya!
Setan alas!
Seribu semburan sumpah serapah untuk lakumu
Wahai para penjunjung senjata penguasa
Pergilah kedasar neraka!



Dont Lie, My Child!

I hate you!
I dont care about you!
I dont like you!
I wanna kill you!

I wish you’d die
And that’s not a lie...


























Tak Lagi, Tuhan

Biar taufan angin menghembusku
Biar ombak debur menghempasku
Biar panas sengat melekangku
Tak lagi perduli aku!

Terkubur sudah murka angkara
Tertepis telah lara duka
Tertebus malah sengsara luka
Tak lagi perduli aku!

Semua lumpuh...
Semua bungkam...
Semua rapuh...
Semua kelam...

Tak lagi perduli aku...
Pun padamu, tuhan!
















The Darkest Dream

Its midnigth now and it means crime
Pain spreading fast with its rythm and rime
You becoming to feel a sort of dizzy
And then hit by somekind of sleepy
You have no money have no home
Try to stand and figth the world alone
Hearing sounds thak make earache
Now you just cant stand the headache

You fall into a dream...
Wasted!
Down into a nigthmare...
Twisted!

So your life is running wild
Thinks medicines can solve problem, child?
You’ll be rolling in the rugs
Face the death if you use drugs
Realizing your judging your own trial
Waking up just make you back another mile
Youre all alone so watch your back
The devil is always ready to attack

You try to wake up...
Stucked!
Starts looking the way out...
Locked!

When midnigth come its the darkest of the nigth
Sin in your blood make you have tirrible sigth
The angel of death ready to reap his crop
Slaying the untruth is an easy job
No honesty just lies of a bunch of corrups

No love no more humanity will collapse
Terrible decision make the beauty turn sorrow
What is next i really dont want to know

This is your darkest dream
Try to wake up and scream!
Even if you search theres no chance
Here in the world of no romance
Yes what you need is god above
He’s the one you need the most
Give him your burden like i gave him mine
If you dont... You know what you’ll find!























Tumpah Darah Basi

Lihaaaat!
Kuacung pedang berkitar kemilau
Lurus...
Menghadap buncit perutmu...
Kini...
Hadapilah pengadilanmu
Dari azab yang kau tabur
Dari sengsara tak terukur
Atas derita orang-orang lapar

Jaaaahaaaanaaam...
Mati kaaaaauuu!





















The Day The World Ended

Come here friends
Gather round the fire
Let me tell you a story
That will extinguish all desire
About a day being waited
By all humanity for ages
About a day being cursed
Putting fear to many faces

The day where music ended
Thus begin the long cry of sinners
Ripping flesh and burning soul
Smashing pain and river tears
Dont you know it is not far
From the day we are today
Cause it wont take a lot of time
It may happen today, yes it may

Dont be affraid now
Gather tight
You wont get hurt
If you have sigth
Beware of the devil
An all its migth
Choose well
Choose rigth!







Sajak Kematian


































Doubt Over Thee

(1)
Here it comes again
My old friend misery
Out a desperate cry
You could see it so clearly
If you could read between the line
Tell me what you see
And tell me what you’ll do
If you are me

Don’t know why i kept thinking this way
There are thousands of reasons i can’t say
And I keep telling myself
Do I really deserve life…



















Kita

Aku dan kau tak perlu menangis
Walau ragaku teriris
Tiap pandang menusuk sinis
Tak perlu kita perdulikan gerimis

Aku dan kau tak perlu berkesah
Walau tubuhku lelah
Menganak-sungai leleran darah
Tak perlukita teriakkan amarah

Aku dan kau tak mesti sepi
Walau jiwaku mati
Waktu berlalu tanpa arti
Tak perlu kita bersedih hati

Aku dan kau...
Mungkin tak lagi bersinar

Tak lagi bersama menyingsing fajar
Tapi cinta tak kan henti berpijar
Aku dan kau...
Tak kan pernah pudar!











Welcome To The Grungeworld

Yes!
No rules can stop you
Not even i can do
Do whatever you wish
After all you’re free

Yes!
Policies means nothing
Bureaucracies not a thing
Have yourselves at home
Cause this is your home

Yes!
Open up the unspoken
Reach the freedom stolen
Rise up and yell loud
Make yourself proud

Welcome!
To the grungeworld
Throw out!
All the fukin’ stuff
Teardown!
All the law that sucks

Yes!
Its grungeworld!






Jangan Kau Lupakan

Jangan sekali kali kau lupakan
Pada kami yang telanjang di tepian
Bergulat dengan asap dan debu jalanan
Menggadai darah demi sesuap makan

Jangan sekali-kali kau mencaci
Pada kami yang terusir pergi
Dari pondok kumuh tepi kali
Tersisih dihimpit kaya negeri

Jangan sekali-kali kau mencibir
Pada kami yang lelah terpinggir
Karena kamipun turut mengukir
Kilau dan wangi tanah air!

Jangan sekali-kali kau!

















Tomorrow We Will Die!

I have seen it coming…

The trees are withering
Leaves are falling
Forests decaying
Weather changing
Sun is burning
Water poisoning
Sea drowning
Air choking

The earth is dying…
Have you seen it?




















Suatu Ketika Dibawah Terik
Matahari Kota

Tadi aku lihat derita
Kakilima dirampas jualannya
Kemudian digelandang layak perkosa
Sambil teriak kelobang telinga
Kupicing sedikit pandang mata
Eh, yang berseragam nyata manusia
Tak pelak makan nasi juga
Rakyat republik sesama kita
Cuma mungkin lebih berada
Berpangkat dan berlars pula
Lalu merasa berdarah beda
Padahal kan semua katanya bersodara
Aku miris sambil urut dada
Walau toh yang ditindas jelata
Membayang ingat tulis kitab sorga
Penganiaya klak dirajam di alam baka!
















Triple Trivia

We are all brothers they say
Blood brothers
So now we are drowning
Down this bloody sea of hate

Kita punya satu tuhan katanya
Tuhan yang esa
Jadi sekarang kita saling bunuh
Untuk senangkan tuhan kita

Torang samua baku sayang kata
Baku sayang mati
No skarang sama-sama rasa
Tu mati sama-sama



















The Puppet’s Prayer

If i am you, dear lord
I’ll stop playing god...































DEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATHDEATH