Buat Fredy S. W.
“Kita tak mungkin bisa bersatu, itu kau tau”,
suaranya renyah membisiki gagang telepon.
“Kita… mungkin tak pernah tau”.
Suara lain membalas dari jauh, lambat…
“Tidak. Kita sadar itu dari awal”,
“Kita seharusnya tak menyerah… “
“Aku lelah…”
“Sudah berapa tahun anak kita, jika tak kita …?”
…
Tiba-tiba lelaki itu tersentak bangun dari tidur. Napas di kantong dada tipisnya terengah, tapi Cuma mampu satu-satu. Setitik peluh merayapi dahi kemudian menggantung di keningnya. Matanya kuyu, dicobanya untuk menangkap bayang-bayang jari jam yang menempel di dinding kamar dingin dan remang itu. Setengah satu. Lima puluh tahun sudah. Mimpi itu lagi… Puisi itu lagi...
Pernah ku saksikan hari yang lebih gemilang
Pagi yang cerah-cemerah,
Lagu yang gugah-menggugah
Kita yang masih berpeluk sayang
Pernah ku cicipi masa tawa memanjang
Di buai kereta-kereta kencana
Di angkasa singasana swargaloka
Kau aku layang-melayang
Pernah ku berkawan dengan kemenangan
Madu dan anggur dari kebun terbaik
Kain tenun-tenunan corak menarik
Berdua dipangung cerlang-cemerlang
Tapi itu aku yang kini menoleh ke belakang
Bayang-bayang beria-ria menyambut aku datang
Kembali lagi ke pelukan kasur dan kursi usang
Kamar yang lelah temaram
Himpitan kitab-kitab malang
Aku menerawang:
Kiranya hari tlah jauh malam
Aku Disini: Selalu
Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian
Kata-kata indah tentang
Kau-
Aku-
Yang menunggu waktu untuk dilahirkan
Yang menanti saat untuk ditemukan
Di atas kertas ini
Di halaman-halaman setelah ini
Tetapi aku memilih untuk menunggumu
Kembali-
Nanti-
0 komentar:
Posting Komentar