Pahit
Angka-angka dijital di pintu lift bergerak turun. Warna merah berpendar dari ratusan elemen lampu LED yang dibungkus menjadi kelompok cahaya yang berganti-ganti mati dan hidup membentuk angka... 3 ... 2 ... 1... Lift menyentuh lantai dasar, namun diam sunyi. Dua bilah pintu alumunium yang jadi pemisah antar-ruang tertutup rapat. Dua tombok berbentuk panah ke atas dan kebawah di samping lift tidak bercahaya merah karena belum ada yang menyentuhnya. Ruang depan lift sunyi mati. Karpet merah tua yang mengalas ruang itu seakannyala api neraka. Cat krem pucat yang melapis dinding beton laksana kulit yang sementara diam terpanggang neraka di bawahnya... sedang tempat abu rokok di sudut ruangan berkilau dingin. Ya, dingin. Dan... entah dari mana datangnya sebuah jari lentik sudah mendekati tombol naik dengan kecepatan 00,1 kilometer per jam. Warna merah cahaya tombol memantul di kukunya yang pucat seolah tak berdarah. Pintu lift membuka.
Menempuh jarak tiga lantai seakan menembus keabadian. Detik terasa hari, menit menjadi senturi. Angin AC meniupkan jutaan partikel kedalam lift yang , juga, diam. Denyut jantung terlalu lemah untuk dideteksi bahkan oleh kuman yang sedang mengapung sekalipun! Dan gadis itu... wangi rambutnya pasti akan membuatmu mengira berada di Shangrila. Sayang, dia menyimpan matanya di belakang seonggok grafit hitam tebal pensil mata dan untai rambut itu. Jari yang tadi kini sedang menggam sesuatu. Bermilenium saat dalam waktu mati. Kemudian realitas kembali menyapa dengan denting alarm tanda tiba tujuan. Pintu yang membuka berlomba menyusul kertas, ya, kertas yang tadi digenggamnya, menyapa lantai lift. Dia melangkah keluar, siap pergi, sedang sang kertas siap menjadi sampah yang yatim piatu. Tetapi lantai ini tak sunyi.
Mata yang bersembunyi itu memapas langkah tanpa tujuan seseorang pria yang tak perduli akan apa yang menantang, apakah itu badai nan hujan atau tatapan Tuhan. Tubuh-tubuh itu beradu laksana dua titan... bukan, dua gunung es yang dulu pernah merobek lambung Titanic. Tak sampai terhempas, namun keduanya magnet yang berkutub sama. Berganti raga, di dalam dan di luar lift, mereka menukar tatap yang jauh dari hembusan damai apalagi maaf. Tapi, tak ada api selain dari karpet merah tadi. Mereka hanya saling menikam dengan patahan-patahan stalagtit dan stalagmit gua es yang memisah jiwa mereka. Pertarungan usai kala sang wasit yang selalu sigap, dua bilah pintu alumunium, memisah keduanya dalam pahit masing-masing.
***
Riak-riak ombak lemah memecah di bebatuan. Matahari sedang bersiap menyelam dalam lautan, mungkin semenit lagi. Tak ada hujan. Tak ada angin. Cuma desir darah dan detak jantung gadis yang kali ini memancang mata ke bola api yang sedang lari dari hari. Ternyata mata itu indah!... Lebih indah dari matahari dan bulan, sebab mereka tak malu-malu saat tak ragu. Dia sedang menuliskan sesuatu, tetapi dia lupa apa itu, sebab masuk matahari telah membuatnya mabuk. Cuma pada saat-saat seperti ini darahnya benar benar berpompa dari jantung mungilnya. Temaram kian parah menelan. Heran, biasanya bintang telah datang. Tetapi ganti sosok seorang yang tak takut Tuhan muncul entah dibawa jatuh dari Mars, siap dengan segala perlengkapan perangnya di hati yang tadi dirobek taji gua. “Tentang sampah yang kau buang di lift... Aku mau balas dendam...”. Itu bisiknya, namun suara itu membelah kesunyian laksana pedang pusaka yang baru dicabut dari sarungnya. Dan... gadis itu tertikam. Kedua mata itu kembali bersembunyi dibalik urai rambut yang kelam. Dingin! Bahkan tanpa angin dan musim sekalipun. Ketika gerhana total oleh malam menyisa, tinggallah sendiri ia dan gumpalan kertas yang sedari tadi dihadapannya. Tiba-tiba seperti kuasa dari alam baka, ia meremas-remas sang kertas jadi gumpalan dalam genggaman dan... dilemparnya ke tengah lautan. Tak langsung tenggelam, gumpalan itu jatuh disambut ombang-ambing ombak kesana kemari sampai akhirnya dihempas ke bebatuan dan bersembunyi dalam celah yang menganga.
***
Dua gunung beku itu duduk hadap-hadapan. Kali ini jarak selebar meja saja yang memisah mereka. Mata sang gadis sedang memandangi matahari di mata laki-laki di hadapannya. Sayang, masih terlalu siang, sehingga tak ada kelembutan sutra disana. Oh ya, ada secangkir kopi yang mengepul halus di tengah tengah meja. Hanya cangkir, tak ada tatakan atau sendok kecil. Dalam dunia mereka, tempat itu sunyi. Hanya mereka berdua yang bertapa di puncak Mahameru. Mungkin para dewa sedang menyaksi, tapi tak kasat mata. Toh tak ada dewa yang bisa membuat mereka berhenti membenci. Hampir saja cangkir itu membeku ketika mereka akhirnya saling membuka keran kata.
“Mengapa kopi...?”.
“Ini kehidupan!”.
“Tau apa kau tentang kehidupan!”.
“Tak tahu apa apa... selain yang diajarkannya kepadaku”
“Apa itu?”
“Belajarlah sendiri”
“Kau mau meracuni aku?”
Lelaki itu bangkit dari duduknya. Matanya menerawang jauh ke batas horison yang kali ini hanya dibedakan selimut bintang. Ia mau melangkah pergi ketika jemari-jemari lentik itu mulai bergerak sesenti-sesenti mendekati cangkir di depannya. Bagai mereka punya abadi, cangkir itu dibawa mendekati bibir dan menenggelam muka kedalamnya. Wajah gadis itu tak berubah oleh rasa. Tak ada segerak otot bahkan yang terhalus sekalipun di tubuhnya. Ia melirih perlahan. Hampir terlalu kabur untuk didengar pria didepannya.
“Mengapa pahit...?”
“Itu kemurnian”
“Maksudmu?”
“Tak ada gula dalamnya”
“Jadi?”
“Kopi memang pahit. Jika ingin manis, tambahkan gula”
“Gula...?”
Gadis itu mencoba menangkap pandang laki-laki di seberangnya, namun ia kini telah melangkah meninggalkan kesunyian menyatu dengan cangkir dan gadis itu. Ia kini cuma bisa tertunduk seperti biasanya, hanya kali ini mata itu belum bersembunyi. Ia masih memandang tajam gelembung-gelembung kecil yang melekat di dinding dalam cangkir. Lama seperti ini. Ketika ia meloloskan segumpal kertas dari kantongnya, waktu sudah larut. Kertas itu kemudian diurainya perlahan-lahan. Dari sebuah gumpalan tak beraturan kembali jelas ujung-pangkal. Tak lagi halus rapi, memang. Tetapi cukup jelas untuk mengurai makna diatasnya. Gadis itu membentangkan kertas lusuh tadi di meja. Sebuah guratan merah api neraka melintas di kertas itu. Sebuah tulisan dengan spidol:
LIFE SUCKS!
Buru-buru ia mengobrak-abrik tas gantungnya seakan mencari sesuatu yang amat penting. Sesuatu yang dapat membuat perbedaan hidup dan mati. Tapi yang ditemukannya hanya pensil mata hitam kesayangannya itu. Tanpa pikir panjang ia mencoretkan beberapa kata. Tidak, Cuma dua kata saja. Setelah itu, kembali ia meremas kertas tadi. Kali ini ia tak membuangnya. Gumpal itu diletakannya di meja, dekat cangkir kopi itu. Gadis itu kemudian bangkit dan bergegas pergi. Ia berjalan cepat, secepat degup jantungnya, telah lama ia tak berjalan secepat ini. Bahkan kemudian ia berlari dan berlari, mungkin menuju matahari yang tak mau terbenam itu.
***
Aku yang menemukan gumpalan kertas itu. Ya , aku. Kau pasti tak kenal aku. Apalah artinya nama, panggil saja aku “yang tak jadi mati”. Sekarang akan kuberitahukan apa yang tertulis di kertas itu. Tetapi kau harus berjanji untuk menceritakan kisah ini kepada orang lain, semua orang yang mungkin kau temui. Sebab banyak yang sepertiku. Pasti juga banyak yang akan menjadi aku. Jangan lupa membacakan kata-kata yang di goreskan dengan pensil mata:
add love...
Aku dan Perempuan Itu
Sore disebuah resto fast food kecil yang lengang, seorang perempuan duduk sendirian. Cantik dan fashionable. Rambut panjangnya terurai berat, khas rebonding, menutupi sekian persen wajahnya yang boleh dibilang sempurna. Matanya, ini yang paling menarik, selalu tersenyum dan punya kilau yang seperti tak henti-henti memacu jantung. Bangun tubuhnya seolah menerawang dari balik jeans dan v-neck putih nyaris transparan, sehingga bayangan-bayangan keindahan dibaliknya begitu mudah diterjemahkan. Itu soal bawaan orisinil, belum lagi periferal lain yang menunjang, sepasang kasut Gosh, Jam tangan Guess, plus tas Gucci terbaru kelir perak yang duduk manis di sampingnya. Total jendral, jika ada yang pernah menyapu mata kearahnya, pasti ingin menatap lagi. Sayang, resto lagi sepi. Selain dia, hanya ada seorang ibu berseragam pegawai negeri bersama anaknya lagi menikmati ayam goreng di sudut sebelah. Restonya bersih tetapi agak pengap karena AC rupanya lagi kekurangan freon. Setelan meja-kursi duduknya khas kafe-kafe kosmopolitan: kursi dari metal anodized dengan sandaran plastik warna-warni dan meja plat alumunium dan kaca transparan tanpa taplak. Ada tempat abu rokok dan wadah tisu sekaligus tusuk gigi akrilik di tiap meja. Ada petugas cleaning service bolak-balik mengepel lantai koridor antar-meja dan sesekali melirik kearah wanita tadi. Perempuan itu dan restoran ini. Sebuah perpaduan antara ruang dan materi yang menarik.
Perempuan itu tenggelam dalam kesibukannya memencet-mencet HP keluaran terbaru Nokia yang bisa foto, mp3, video, internet dan entah apa lagi dengan begitu khusuk, layak sedang berusaha untuk menyakinkan dunia luar bahwa ia sedang tidak bisa diganggu. Bahkan semangkuk eskrim coklat yang sedari tadi dipesannya pun harus rela meleleh menunggunya. Ternyata, jari-jari itu sedang mengejakan mantra-mantra di medium modern berupa HP tadi. Begini deretan aksaranya:
kt so dr td batggu. Dtgjo.
Sehembus nafas mengantar ibu jarinya menekan “send” dan pula itulah sejumlah biner-biner yang sedari tadi menunggu dalam chip memori HP itu mulai ditransmisikan menjadi pulsa-pulsa elektromagnetis yang merambati udara, seolah ruh-ruh yang gentayangan menembusi ruang, jauh sampai kemudian ditangkap sebuah perangkat penerima untuk kembali di relay dengan metode yang kurang-lebih sama sampai di ujung sana sebuah medium kembali menterjemahkannya menjadi sebuah pesan di layar LCD sebuah HP. Selang berapa saat, HP yang masih setia di genggamannya itu mulai bergetar, kemudian nyerocos dengan tak keruan layaknya legi kesurupan arwah dari masa lalu dengan nada-nada tinggi rendah yang, anehnya mirip dengan setelan pita rekaman di angkutan umum.
Tudit! Tudit! Muka Om!.
Tapi perempuan itu sepertinya menjadi lebih tenang sekarang. Seolah sebuah bala telah terangkat dari jenak kehidupannya saat itu juga. Kelar sudah sebuah ritual mistik modern.
Aku menjawab SMSnya itu. Baru saja aku turun dari mikrolet yang bising dengan power amp 8 kanal dan 4 sub-woofernya, dengan dentuman lagu yang pas seperti ringtone tadi, SMSnya masuk. Sebenarnya buang pulsa saja, karena aku memang sudah sedang menuju tempat itu, sebagaimana yang kami rencanakan kemarin. Sama-sama buang-buang pulsa saja, tetapi pertemuan dengannya bukan sekedar masalah pulsa, ini tentang sesuatu yang benar-benar tidak terjelaskan. Sesuatu yang magis. Sesuatu yang seharusnya tak aku lakukan, tetapi aku memilih untuk melakukannya. Dan aku memang telah melakukannya, karena saat ini aku tiba di hadapannya. Kupandangi dia sebelum menyapanya,
“so lama? Bole mo dudu?.
Dia membalas dengan tatapan yang bisa berarti ya dan tidak. Aku duduk di seberangnya dan kami saling bertatapan kira-kira 15 detik. 15 detik yang menyiksa, karena kiranya ada balok es raksasa yang harus dicairkan disini. Kami benar-benar orang asing. Waktu dan jarak memang telah membuat kita kami jadi manusia-manusia yang berbeda. Pas detik ke 15 lantas dia tersenyum lebar, kelihatannya mengejek.
“ngana so gode skali!”
Ya, aku berubah, kataku. Dia juga, kataku. Semua sudah berubah. Cuma bedanya, sekarang dia lebih cantik, sedang aku kebalikannya. Ha ha. Aku tertawa.
“ngana le so tabae”
Dengan harapan suasana nanti lebih akrab, aku akrab-akraban menyambar mangkuk eskrim di meja, tetapi entah usaha mengakrab atau menjaga jarak, ia berseru, toh masih dengan senyum,
“Pesan baru jo. Jang makang pa tape tampa. Kage ngana so bapanyaki le”.
Dia juga mau kentang goreng dan ayam. Dia mengeluarkan lebaran seratus ribuan dari tasnya. Ucapannya tadi tidak menyinggungku. Malah sekarang aku bisa pesan apa saja dengan uang itu. Mungkin juga aku bisa menyimpan kembaliannya. Lumayan, buat ongkos jalan beberapa hari. Sekarang uang limapuluhan pun berharga. Sering aku begini, di traktir ini-itu, di belikan macam-macam. Tetapi, itu aku yang dulu kan? Dulu ketika kami masih lebih mesra dari sekarang. Ketika aku masih kuliah. Ah, dulu. Pernah aku marah setengan merengek, atau merengek setengah marah, minta dibelikan sandal gunung yang lagi ngetren saat itu seperti yang dijanjikannya. Itu pas hari gajiannya. Enak, memang. Tapi itu dulu, waktu aku dan dia masih sedikit lebih muda. Sekarang kan semua berubah.
“Semua tiga puluh delapan ribu sertus rupiah, pak.”
Mesin hitung yang rakus itu menelan uang plastik yang kuberikan. Gantinya, ia muntah beberapa lembaran lain yang nominalnya lebih kecil. Dua potong ayang goreng, kentang goreng, soft drink large dan semangkok es krim menyesaki nampanku. Setelah uang kembaliannya aman di kantongku, aku berjalan lambat-lambat menuju tempat pasta tomat dan cabe, takut tumpah. Dia bisa melihat aku dari tempat duduknya. Aku pun bisa. Ambil lebih sambalnya, dia berbahasa tanpa suara.
Lahap dia makan. Masih lapar pula, padahal sepotong ayam dan kentang goreng sudah kelar. Padahal tadi eskrim nyaris tak disentuh. Aku jadi mengira-ngira, mungkin ketemu aku membuatnya lapar. Matanya melirik puding coklat yang lagi disantap anak kecil dan ibunya di seberang. Dia mau itu. Dengan lagak yang serius aku menganjurkan dia untuk menunggu sekitar lima menit, sebelum benar-benar memesan makan lagi. Karena, kataku, informasi bahwa perut telah kenyang biasanya terlambat mencapai neuron-neuron otak sekitar lima menit. Aku pernah baca itu entah dimana. Dia mendengarkan, tetapi tetap minta puding setelah lima menit lewat. Aku beli dua. Kami sama-sama makan puding pelan-pelan, menikmati tiap titik kemanisannya, sambil berbincang tentang macam-macam hal. Cerita-cerita itu nanti buat cerpenku yang lain.
Satu jam terbang melayang. Diluar terang mulai lamat-lamat sirna. Matahari sedang beranjak ke peraduan. Resto mulai penuh pas jam makan malam.
“kita somo pigi. So lat”
Dia beranjak. Aku raih tangannya. Aku pandang matanya.
“sadiki le kwa”.
Dia layak terhenyak seakan menganggap aku lancang, tetapi lantas tertawa. Yang ini aku tau artinya. Tiba-tiba semua menjadi begitu akrab, begitu familiar, nyaris déjà vu. Aku juga tertawa dalam hati. Lucu. Aku dan dia salah. Ternyata ada yang tidak berubah… setidaknya, Aku dan Perempuan itu…
***
Abadi
“Yaa Tuhan!”
Seruan itu menusuk telinga. Suasana riuh dan tak beraturan. Orang-orang bersaling-silang. Orang-orang berdatangan. Desahan-desahan menyapa.
“Kasihan”, gumam seseorang.
“Bodoh!”, umpat yang lain.
Semuanya jelas di telinga. Bergema-gema.
“Ambulansnya!”
Beberapa orang tergopoh menerobos kerumunan. Musa di laut Kolsum. Lautan kembali mengunci.
“Sudah terlambat”, lirih sebuah suara.
“Sudah meninggal”, yang lain berkata. Lalu tangis mulai membahana.
“Mengapa?” Suara itu tidak asing.
“Apa kurangnya?”
“Sesat!”
“Dia tidak akan masuk sorga!” Sebuah suara membahana dari sudut ruangan. Semua menoleh, kemudian mengangguk bersama.
“Tuhan tak kan mengampuni jiwa yang tak mencintai dirinya!” suara itu meninggi.
“Jangan ada yang meniru perbuatan tak beriman ini!”
Khotbah berakhir. Tak ada doa.
Tubuh itu kaku terbujur. Dingin dan membiru. Tak ada suara. Tak ada jiwa. Tetapi... wajahnya begitu damai...
Itu tubuhku. Aku melayang pergi.
Cerita Tentang Sebuah Kehilangan
Aku suka makan coklat. Coklat apa saja. Atau yang berasa seperti coklat. Mudah-mudahan ini tidak berhubungan dengan berat badanku. Tetapi pasti berhubungan dengan gigiku yang banyak bolongnya ini, sebab mengunyah coklat konon kegemaranku dari kecil. Tadi aku singgah di Grand Central Tomohon, sebenarnya Cuma untuk beli satu set senar gitar, tapi tak urung aku kegatalan tangan menyambar sekantong Bites Silver Queen. Jadi sekarang, di mikrolet yang melaju ke Sonder, aku sibuk mengunyah coklat kesayangan. Cukup menghibur kegiatan mengunyah ini, sebab mobil ini tanpa tape. Setidaknya, limabelas menit perjalanan ini aku bakal ditemani sekantung coklat. Sore kali ini tiba-tiba menghembus menusuk tulang-tulangku. Selepas Matani aku refleks mencari jaketku yang tadi telah kupersiapkan buat bertempur lawan udara dingin. Aku terhenyak. Jaket kesayanganku raib. Kesayanganku yang lain selain makan coklat. Hilang tak berbekas. Kubongkar daypack sampai ke dasar-dasarnya. Nihil! Pasti ketinggalan. Tapi dimana? Aku coba mengingat-ingat. Dari Manado aku naik bis yang bademon di pertigaan Karombasan supaya bisa sedikit memangkas waktu, tadi sekitar jam tiga sore. Dengan perhitungan, sekitar dua jam lagi aku bakal tiba di acara pembukaan Festival Teater… ah.. tetapi itu detil yang tak penting. Yang penting sekarang adalah memikirkan dimana jaket itu ketinggalan. Jaket itu trademarkku, setidaknya sampai si Rumput Liar sobatku itu meniru memakai jaket yang sama, hijau tentara pakai bordir-bordir yang sama pula. Yang tak boleh dia tiru tentu saja Cuma namaku yang dibordir di dada kiri jaket dengan benang kuning mengkilat. Aku suka jaket itu karena ia tidak terlalu panas dikenakkan. Kalau lagi kukenakkan, rasa-rasanya aku jadi lebih berwibawa, mungkin karena itu bekas jaket tentara. Lima ribuan yang kugunakan menebus jaket itu di cabo tiga tahun yang lalu terasa jadi uang miliaran setelah ia hilang saat ini. Ketinggalan di bis rasa-rasanya tidak, karena aku ingat betul turun dengan mengantungkannya di lengan. Jatuh di terminal juga tak mungkin. Jadi di mana? Di mana? Aku butuh dia saat ini! Di mana? Mengapa aku bisa begitu careless!? Bagaimana mungkin aku menang melawan cuaca tanpamu? Bagaimana bisa aku bergagah-gagah bila kau tak ada?! Bagaimana… Dimana… aku… aku tinggalkan kau… Di … ah ya, sebuah pikiran sejenak membersit: pasti ketika aku sibuk memilih-milih coklat tadi… aku pasti menaruhnya di sekitaran rak… dan… ketinggalan. Coklat yang lagi lumer di dalam mulutku langsung kehilangan manisnya.
Matahari berkelebat di balik batang-batang pohon di kejauhan, di bukit-bukit Leilem. Tiga penumpang turun. Seorang ibu dan dua anaknya yang masih kecil-kecil, tadinya duduk di sampingku. Kursi paling belakang jadi kosong. Oh! Ternyata semua penumpang sudah turun. Tinggal aku sendirian di mikrolet mati yang tanpa bunyi ini, aku yang lagi merenung mengawang. Aku dan kehilangan... Aku dan… kenangan! Lalu aku teringat padamu… Aku ingat malam itu. Aku ingat resah itu. Aku ingat airmata itu. Aku ingat senyum yang terbit sesudahnya. Aku ingat seseorang yang lagi mencari arti kehidupan… Angin dingin kembali menyapa dari balik jendela. Lalu aku ingat sesuatu yang lantas menghujam:
Aku ingat bahwa aku juga telah kehilanganmu…
***
dari antara kelelahan festival teater Sonder, aku ingin membayar janji…
katakan: di mana kau akan kutemukan…
Tidak. Tidak Malam Itu
Kau pernah memintaku menulis tentang malam itu. Malam dimana aku menyerah pada waktu. Malam ketika aku memilih berdamai dengan hantu-hantu masalalu. Malam saat aku menabur karma di permukaan matahari. Aku tak pernah menulisnya. Tidak tentang itu. Tidak tantang malam itu. Tau kenapa? Karena memang tidak ada yang dapat diceritakan. Tidak ada yang dapat menceritakan. Sebab setelah malam itu tak ada lagi yang tersisa untuk kuceritakan. Semuanya sudah mati dan tak dapat berkata apa-apa lagi. Sudah seharusnya begitu. Jadi tidak. Tidak tentang malam itu... Akan kuceritakan padamu tentang... malam ini.
Valentine sudah lewat. Aku senang hari itu. Duapuluhempat jam penuh cinta, keajaiban, dan hadiah. Ya. Aku juga punya sesuatu untukmu yang seharusnya kuserahkan sambil tersenyum, dan menikmati hangat sinar matamu, ketika itu. Aku mau memberikannya padamu. Tetapi langit dan bumi lagi bertingkah waktu itu, dan kita tak jadi berjumpa. Aku lalu menyimpannya beberapa waktu. Itu bukan sesuatu yang mahaberharga, namun itu adalah sesuatu yang telah sanggup membuatku menjadi manusia: menangis dan tertawa, dan menurutku tak ada yang lebih indah dari itu. Aku ingin kau merasakannya. Malam ini aku janji kau akan memilikinya. Malam ini...
Langit cerah dengan kilauan bintang ketika malam menjelang. Agak gerah, kulepas jaketku. Kings Burger malam ini riuh. Aku tenggelam dalam lautan candatawa. Tetapi aku disana sendiri. Aku selalu merasa sepi dalam keramaian. Aku menantimu. Jari-jariku kaku. Malam merangkak naik. Kau memang datang, tetapi bukan kau... kau tak mau menatap mataku. Sejenak kau berlalu, tetapi aku disini untukmu, begitu jari-jariku berkata. Lidah ini kelu. Ada limabelas menit yang dimana semua menjadi gerakan lambat. Suara-suara hanya gema di dinding kepala. Dingin. Aku butuh cahayamu... Kau memang kembali, tetapi bukan cuma kau... aku tak mampu menatap matamu. Sudah lama, lama sekali aku tidak merasakan hal ini: aku tak tau apa yang kurasa dan aku tak mengerti apa yang kurasa. Setelah itu aku tak merasakan apa-apa lagi. Bukan kau, tetapi aku. Hatiku beku. Malam itu kita terluka. Malam ini luka itu nyeri menusuk diamuk badai kutub utara. Tetapi, setelah malam ini aku tak mampu menatap matahari. Malam ini...
Sadikile
Langit masi glap, sadikile pasti bukang cuma rinte. Pasar karombasan siang ini sunyi. Ujang dari pagi. Dibawa payung tulang pata, tanta asal Motoling jual ubi bete. Ubi gaga. Kantara depe tana gaga. Kita tanya harga dua tampa kong batanya brapa sewa oto ka menado. Satu tampa dua ribu. Dlapan karong bayar dua ton. Apa mo bale modal tanta? Dia bilang ada tanam banya. Rasa-rasa mobli lebe, mar torang di ruma so paya makang ubi. Kita dola mikro pulang. Di oto sopir putar Goyang Inul di Ral Fm.
Langit masi glap, sadikile pasti bukang cuma rinte.
Desa itu diam mencekam. Sunyi merambat disela-sela siang. Tak ada sesosok manusia yang terlihat di siang itu. Rumah-rumah ditutup, jendela-jendela dikunci. Bahkan mentari pun lari bersembunyi dibalik awan yang kian legam. Memang, hampir seluruh rumah di desa itu kosong ditinggal penghuninya angkat senjata masuk hutan atau menyingkir ke tempat yang lebih aman. Cuma angin yang berani menghembus disela-sela dedaunan. Sayang, angin itu dingin. Sedingin gerak sebuah iring-iringan manusia yang melangkah lambat di jalan yang membelah desa menuju ujung kampung. Tak banyak mereka, mungkin ada sepuluh orang. Wajah-wajah mereka keras, sekeras besi bedil yang dipanggul mereka. Tetapi, bibir mereka lelah, terlalu lelah untuk bisa berucap “aku sudah lelah membunuh!” karena ditengah-tengah mereka ada seorang pria tanpa senjata. Tangannya terikat dibelakang kepala. Langkahnya tertatih-tatih. Ketakutan yang sangat manusiawi tergambar di raut mukanya. Biji matanya lalu berkilat seolah bercerita. Begini ceritannya: “Hari ini seorang petani harus mati di ujung bedil tentara pusat karena seseorang sedesanya, seseorang yang duduk makan dengannya di pesta, seseorang yang bersebelahan pacul di giliran mapalusnya, seorang yang menjabat erat tangannya di gereja, telah menjual darahnya ganti nyawa sendiri dengan tuduhan bahwa ia antek permesta”. Tetapi, sejujurnya, pada ketika itu siapakah yang tidak? Disaat semua sanak saudara rela mati membela kampung-halaman tercinta, Netralitas adalah dosa!
Maka tibalah mereka di tempat nyawa berpisah dari raga. Di tepi desa, di rimbun kebun yang mengepung, ada sebuah jurang yang menganga. Dasarnya tak tampak, sebab dibawah sana puncak-puncak pohon menunggu dan hutan, tempat sejuta iblis bersemayam, berawal disana. Kemudian lelaki yang matanya bercerita itu di seret menuju bibir jurang itu. Tak ada kain hitam yang menutupi matanya. Ia jadi berhadap-hadapan dengan para pembunuhnya. Ia jadi bisa memandangi sosok-sosok yang telah meninggalkan keluarga mereka jauh di seberang lautan hanya untuk bisa mencabut nyawa keluarga orang di sini, di tanah ini, di Minahasa ini. Tetapi, tentu saja saat itu bukan hal ini yang ia pikirkan. Juga bukan tentang bagaimana bisa mengampuni orang yang bersalah kepadanya itu, karena mereka jelas-jelas tahu apa yang sedang ia lakukan! Berpikir untuk mendoakan para pembunuhnya pun terlalu muskil, sebab mungkin juga ia bahkan tidak ingat lagi untuk menyebut nama Sang Pencipta. Karena itu ia juga tidak berpikir untuk memelas minta nyawa. Yang sangat mungkin terjadi, disela-sela ketakutannya, seperti layaknya orang di bawah ancaman senjata, cuma satu hal yang berkitar-kitar dipikirannya: Aku tak mau mati!.
Bedil-bedil sudah siap meletus. Moncongnya menghadap denyut didada tipis pria itu yang degupnya kian memburu. Sebenarnya, dalam tata cara eksekusi yang “baik dan benar”, cuma akan ada satu bedil yang benar-benar berisi peluru mematikan. Yang lainnya hanya berisikan peluru hampa. Senjata pembunuh itu akan di undikan kepada para eksekutor bersama senjata-senjata lain, sehingga mungkin saja senjata yang mereka tembakkan kosong dan siapa yang sebenarnya menjadi pembunuh menjadi kabur. Tujuannya sistem ini adalah untuk mengurangi rasa bersalah dari para algojo. Namun kali ini, jauh di pedalaman ini, ditepi jurang ini, di perang yang sudah berkecamuk bertahun-tahun ini, mana ada senapan yang berpeluru hampa! Semuanya beamunisikan amarah dan dendam yang siap di muntahkan saat komando di teriakkan. Jari-jari telah siap menyapa pelatuk yang tinggal di ungkit lalu pergi. Waktu seakan terhenti. Anginpun mati. Tetapi tiba-tiba pria itu tersenyum! Bukan senyum perpisahan... Bukan senyum penyerahan... Bukan senyum keiklasan apalagi senyum kedamaian... Bukan! Itu senyum penuh harapan!
Gila! Nyawa sudah di ujung bedil masih pula mampu tersenyum. Apakah dia seorang ksatria yang tak gentar menghadapi mati, ataukah seorang pemegang ilmu halus yang tak mempan dirobek pelor, tak perlu kita permasalahkan. Karena sinar mata itu kembali bercerita. Begini ceritanya: “Seorang petani yang hendak di hukum mati ini, lahir dan besar di tanah ini. Sehingga tiap jengkal tanah telah ia ukur depa. Tiap helai daun sudah kenal bau tubuhnya. Termasuk jurang di balik pundaknya, telah pernah pula ia sapa. Pun, hutan di bawah sana adalah sahabat kentalnya”. Dan...
0 komentar:
Posting Komentar