Gelap
Anak-Anak Terang
I
(Panggung Gelap)
Narasi:
“ . . . Akulah awal ... Akulah akhir ... Akulah dasar ... Akulah puncak ... Akulah hampa ... Akulah isi ... Akulah nafas ... Akulah maut ... Akulah hidup ... Akulah mati ... Akulah gelap ... Akulah Terang!”
(Seorang tua bertongkat masuk terbungkuk-bungkuk dari tengah penonton. Tangannya membawa lentera. Pandang matanya lurus kedepan dengan pasti. Ia berjalan menuju panggung dan menyalakan sebuah lilin besar)
Narasi:
“ ... dan jadilah Terang!
Sumber dari segala hidup
Awal dari segalah makhluk”
(Orang tua itu telah menyalakan lilin, mulai beringsut meninggalkan panggung ...)
Narasi:
“ ... dan hiduplah dalam terang
Tetapi, temukanlah terangmu
Sebab terang adalah bukan terang jika ia terang yang menerangi diri sendiri ... tapi terang adalah terang jika ia bersinar dari hati... supaya terang juga sekelilingmu, bukan kau gelapkan dengan bayangmu ...
(Kemudian masuk sekelompok orang berpakaian putih dengan langkah pasti dan mantap ... tapi pandang mereka tak lurus ke depan malah menoleh kekanan-kiri ... di tangan kanan mereka menggenggam lilin-lilin berukuran sedang ... mereka maju mendekati obor di tengah panggung dan menyalakan lilin-lilin mereka....
Setelah menyala mereka berdiri mengelilingi obor seakan menghalang cahaya bahkan nyala lilin sendiri ditutupi oleh tangan kiri sehingga yang terang Cuma wajah-wajah mereka ... dan dagu mereka terangkat ... angkuh ...
Narasi :
“Berbahagialah mereka yang memiliki terang ... tetapi umatKu meletakkan terangnya di atas kaki dian sehingga teranglah jalan ... Bukan di bawah gantang yang menggelapkan dan menjerumuskan Sebab Aku datang membawa terang untuk semua orang... Aku datang untuk kegelapan ... “
II
(Dari sudut-sudut ruangan sosok-sosok berpakaian gelap dan compang-camping mulai beringsut lambat ... langkah mereka berat dan wajah mereka tertunduk ... di tubuh-tubuh mereka tertambat tali-tali yang menyeret benda-benda seperti botol minuman keras, batu-batu bergambarkan kartu judi, balok yang bertulis narkoba, karung yang bergambar mata uang .... tubuh-tubuh mereka menggigil maju mendekati lilin besar yang dikelilingi orang-orang putih ... langkah mereka terseok-seok ... di tangan mereka tergenggam lilin kecil ....
Sosok-sosok hitam:
“ ... terang ... “
“ ... terang ... ”
“ ... terang ... “
(membisik lemah ... )
(Sosok-sosok hitam mendekat keatah kumpulan orang-orang putih ... tetapi berat beban mereka tertahan membuat mereka cuma tersungkur di hadapan orang-orang putih dan merangkak sambil mengacung-acungkan lilin-lilin mereka kepada orang putih ... tetapi tak ada yang bergeming ... semua diam mematung ... )
Sosok-sosok hitam:
“ ... terang ... “
“ ... beri kami terang”
“ ... beri kami terang“
(menggumam bersahutan)
(Orang-orang putih tetap diam. Tak ada yang membagi terangnya)
Sosok-sosok hitam:
“ ... beri kami terang “
“ ... beri kami terang!”
“ ... beri kami terang!“
(gumaman meninggi menjadi erangan bahkan raungan parau)
(Merasa terganggu dengan keributan itu seorang dari kelompok putih berseru disambut yang lain)
Orang putih:
“Diam!
Terang ini milikku !
Ini hasil aku rajin ke gereja !
“Pergi ! Cari sendiri terangmu ! “
Orang putih:
“Terang ini milikku !
Ini hasil aku berderma kepada gereja !
Pergi ! ... cari sendiri terangmu ! “
Orang putih:
“Terang ini milikku!
Ini hasil aku berkhotbah di gereja ! “
Pergi ! ... cari sendiri terangmu ! “
Orang putih:
“Terang ini milik kami!
Kami berbuat baik sepanjang hari!“
Orang-orang putih:
“Cari sendiri terangmu!“
“Cari sendiri terangmu!“
“Cari sendiri terangmu!“
(berseru-seru lantang)
(Sosok-sosok hitam bagaikan kehilangan harapan. Kepala mereka tunduk. Suara-suara mereka melemah dan kian lemah)
Sosok-sosok hitam:
“... terang“
“... te ... rang ...“
(Tiba-tiba orang tua yang tadi masuk kembali dengan tergopoh-gopoh seraya berseru-seru)
Orang tua:
“Pantulkan terangku!“
“Pantulkan terangku!“
“Pantulkan terangku!“
(Orang tua itu mendekati kumpulan putih dan menghardik)
Orang tua:
“Kalian kumpulan beludak!
Pergi dari hadirat terangku!
Jangan halangi sinarnya dengan angkuhmu!“
(Tetapi orang putih berseru mengejek)
Orang putih:
“Siapa kau orang hina !?”
“Tak kenalkah kau kami anak-anak terang?“
“Tak tahukan kami pewaris tahta terang?”
(Orang tua membalas dengan tegas)
Orang tua:
“Dombaku mengenalku...
dan aku kenal mereka.
Kalian tak kenal aku...
dan aku tak kenal kalian!“
III
(Mendengar itu orang-orang putih murka ... mereka melompat maju)
Orang-orang putih:
“Penghujat!”
“Bunuh!“
“Bunuh!“
(berseru berulang-ulang ... )
(Orang-orang putih mengepung orang tua itu ... lilin-lilin yang tadinya mereka pegang mati akibat gerakan mereka. Tiba-tiba terdengar suara mengelegar)
Narasi:
“Inilah Anak yang Kukasihi ... kepadanyalah Aku berkenan
(orang-orang putih itu terkejut. Mereka menengok ke sana- kemari mencari arah suara itu. Orang tua itu mengangkat tongkatnya dan menghardik dengan suara yang keras)
Orang tua:
“Kalian kuburan-kuburan berlabur putih ! “
“Terang di luar tapi kelam di dalam ! “
“Cahaya perbuatanmu tak dapat menerangi gelapnya hatimu ! ”
“Terang dan gelap tak bisa bersekutu ! “
(Orang-orang putih terhenyak dan sadar bahwa lilin yang mereka matikan tak lagi bercahaya ... mereka mulai panik dan berseru-seru)
Orang-orang putih:
“ ... Gelap ... “
“ ... Gelap ... “
“ ... Buta ... “
“ ... Buta ... “
“ .... Aku buta!! ... “
“ .... Aku buta!! ... “
Orang-orang putih itu bertingkah seperti orang buta, meraba-raba lantai, dinding dan sekitarnya. Ada yang jatuh terguling, ada yang menabrak dinding. Mereka berseru-seru riuh sambil meraba-raba jalan keluar dan keluar sambil berteriak-teriak. Orang tua tersebut kemudian menghampiri satu persatu sosok-sosok hitam yang terkapar dan memutuskan mereka dari beban-beban mereka. Setelah itu, ia berdiri di samping obor dan berseru)
Orang tua:
“Aku datang ke antara kamu sekalian dengan membawa pengharapan. Aku ada di sisimu untuk menawarkan kebebasan. Wahai kalian umatKu! Marilah kepadaKU semua yang letih lesu dan berbeban berat. Karena terangKU telah memutuskan rantai-ratai perbudakanmu!
(Seorang hitam datang mendekat dan memasang lilinnya)
Orang tua:
“Hendaknya terangmu memantul kepada yang lainnya ...”
(Orang hitam tadi membagi apinya kepada orang-orang hitam yang lain)
Narasi:
“Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya baikmu memuliakan yang Maha Terang!“
“Jadilah kalian anank-anak Terang!“
(Mulailah orang-orang hitam tadi menyalakan lilin kecil di sekeliling panggung sehingga cahayanya menerangi semua).
Erasur
Murkanya Seorang Tuhan!
PROLOG
Sesaat sebelum pentas dimulai, sutradara naik ke panggung untuk membuka pentasnya dengan mengucapkan kata-kata:
“Hidup... apa yang kau tau tentang hidup?
Apa yang kita tau tentang hidup?
Bukan... bukan... (menyangkal dirinya sendiri)
Apa yang AKU tau tentang hidup! (tersenyum dengan pandangan ganjil)
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, Teater .......... (nama teater yang memainkan naskah ini) dengan naskah karya Greenhill Glanvon Weol, ERASUR! (membungkuk kepada penonton kemudian kembali ke belakang panggung. Lampu Padam. Pentas dimulai)
- Satu
Panggung gelap. Di depan seorang lelaki muda duduk di kursi dan kemudian memantik korek api kemudian mulai merokok. Disampingnya ada meja dan beberapa benda yang tak jelas terlihat. Hanya nyala bara rokoknya yang kelihatan.
Lelaki satu:
Untuk apa?
Untuk apa?
(menekankan)
Dari bermilyar-milyar sel dalam tubuhku
Dari segenap tarik nafas dan denyut nadiku
Dari dua puluh empat jam, hari, bulan, tahun, milenium
Aku siapa?…
(diam, kembali terus merokok)
Aku siapa?...
(berbisik)
Di bagian depan kanan seorang terlihat memantik korek api, tetapi yang ini sedang memasang sebuah lentera. Lelaki dengan rokok itu kembali berbicara:
Lelaki satu:
Jika cahaya ada agar gelap sirna,
jika bumi ada agar langit punya saudara,
lantas aku untuk apa?
Untuk apa!
(kesal)
Lelaki dua:
Kau ada karena kau ada
(menyela dengan emosional)
Kau ada karena kau memang ada
Kau ada karena kau harus ada!
Begitu! Mudah dan tak usah kau persulit lagi
(kembali sibuk dengan kerjanya)
Seperti cahaya ini, ia ada lantaran ia memang seharusnya ada...
Ada untuk kau, ada untuk aku...
Ada untuk kita!
Lentera mulai menyala, lelaki yang memasangnya kemudian membawa dan meletakkannya di atas meja. Keadaan mejadi remang-remang oeleh cahaya lentera. Lelaki kedua itu juga menyalakan sebatang rokok. Ternyata di atas meja ada papan catur yang siap di mainkan. Mereka mulai bermain. Tempo permainan sangat lambat. Selang beberapa langkah baru mereka mulai berkata-kata:
Lelaki pertama:
Sekarang jam berapa?
(pelan, serius main)
Lelaki kedua:
Siang atau malam apa bedanya?
(menggeser buah catur)
Lelaki pertama:
Sekarang tahun berapa?
(setelah beberapa saat kemudian, berpikir)
Lelaki kedua:
Sesudah lonceng perang besar kedua...
(mulai tak konsen)
Lelaki pertama:
Sekarang kita dimana?...
(gelisah)
Lelaki kedua:
Pada fajar...
(melirik jam tangan)
Skak!
(menggeser buah catur tiba-tiba)
Lelaki pertama:
Apa maksudmu?
(seolah dicurangi, mengangkat kepala menatap lelaki kedua)
Lelaki kedua:
Kau kalah...
Maksud?
Maksud apa?
(bingung dengan arah pembicaraan, saling tatap)
Lelaki pertama:
Kau belum pernah mengalahkanku
(tertahan sejenak)
Aku ini ada dengan maksud...
(sedikit berbisik)
Lelaki kedua:
Maksud?
(kembali memandangi papan catur)
Mengapa harus ada maksud?
Lelaki pertama:
Jantung adalah maksud, matahari adalah maksud, musim adalah maksud!
(menekankan)
Lelaki kedua:
Heh!
(sinis)
Kentut adalah maksud!
(sejenak berhenti)
Kau tau? Tak semua diciptakan dengan maksud
(suara menuding, serius)
Penyakit misalnya…
(menghembus asap panjang)
Lelaki satu:
Penyakit?
(bingung)
Penyakit tidak di ciptakan, ia di lahirkan, menetas dari rahim dosa, muntahan dari jiwa-jiwa durjana! (terdiam sejenak)
Oo…
(sadar, mulai tersinggung)
Jadi aku penyakit? Begitu?
Imsomnia, paranoia, skizofrenia? Begitu?
Cinta, rasa, eulogia? Begitu?
Kitab, surat, mantra? Begitu?
(berhenti bermain, bersuara keras, mulai marah)
Darah, angin, tanah? Begitu?
Siapa penciptanya, hah!
(menggebrak meja, catur berhamburan)
Lelaki dua:
Ha…ha…ha!
(tiba-tiba terbahak, namun tiba-tiba terhenti dan serius)
Bukan! Bukan begitu maksudku!
(melotot pada lelaki satu)
Kau tau, jumlah bintang selalu sama, tetapi tetap saja setiap hari kita menghitung berbeda.
Daun-daun gugur akan menghamili tanah dengan darah untuk memberi nafas buat tunas-tunas muda!
(berhenti sejenak)
Kau harus mencari apa yang akan menjadi maksudmu…
(berjalan menjauh dan menerawang)
Lelaki satu:
Cari?
Cari apa?
(dengan ekspresi tertarik, seolah tertantang)
Lelaki dua:
Cari apa saja…
Lelaki pertama:
Kemana?
Lelaki kedua mulai melangkah keluar panggung. Sebelum keluar, ia terhenti sejenak karena lelaki pertama kembali berseru:
Lelaki pertama:
Kemana!?
Lelaki kedua:
Kemana saja…
(tak menoleh kemudian meneruskan langkahnya keluar panggung)
Lelaki pertama itu tertegun. Ia berpikir sejenak. Tiba tiba ia seperti teringat sesuatu, ia seolah hendak mengejar laki-laki kedua keluar. Ia bergegas membawa lentera itu keluar. Sambil bergegas, ia berseru:
Lelaki pertama:
Kau dan aku?...
Kau dan aku?...
Kau dan aku!
Kau dan aku!
Kau aku!
Kau aku!
Deus!
Rexus!
Deus!
Rexus!
(mengejar)
Panggung kembali gelap.
- Dua
Panggung berangsur terang. Di tengah panggung ada sebuah meja dengan sebuah radio yang tengah menyala dengan suara keras dan sekaleng minuman ringan. Disamping meja ada sebuah kursi kosong. Seorang gadis masuk. Langkahnya gemulai, pakaiannya sexy. Ia kemudian duduk dengan anggun, perlahan ia meraih kaleng minuman itu kemudian membukanya dan meminumnya perlahan sambil menerawang ke depan, menikmati siaran radio. Beberapa saat kemudian lelaki pertama masuk, mendekati meja, kemudian duduk di meja dan mulai berbicara:
Lelaki pertama:
Aku lapar...
(sekenanya sambil mengayun-ayunkan kaki)
Gadis:
Kau tak bisa hidup tanpa makan?
(sambil meraih radio untuk mengecilkan volumenya)
Lelaki pertama:
Sekali-sekali bisa...
(lambat)
Sekali-kali tak bisa...
(menunduk)
Gadis:
Makanlah pada saat kau perlu, bukan saat kau mau... (tersenyum)
Lelaki pertama:
Inikah saatnya?
(seolah mendapatkan kesempatan, menoleh dengan tatapan nakal)
Gadis:
Mudah bukan?
(mengerling menggoda)
Kau hanya perlu meminta, lalu segalanya tersedia
(tersenyum sensual)
Ketuk, lalu pintu akan terbuka...
(membisik sensual)
Lelaki pertama:
Tapi aku perlu mencarinya!
(tak puas)
Gadis:
Kau kan tau semua lekuk dunia!
(mengingatkan)
Lelaki pertama:
Akh..
(kembali tenang)
Hanya kau yang mengerti aku...
(merayu)
Gadis:
Aku bukan kau
(saling bertatapan)
Cuma kau yang tau tentang kau
Lelaki pertama:
Kau tak tau tentang aku?
(mendadak kecewa)
Tapi kau bersamanya melalui waktu!
Gadis:
Aku sendiri...
(mulai terisak-isak)
Selalu sendiri...
Aku sendiri sedari dulu...
(menangis)
Lelaki pertama:
Dia pergi?
(mencoba menatap Gadis itu, kemudian berlutut di hadapannya)
Dia pergi...
(seolah menjawab sendiri pertanyaannya)
Mengapa dia pergi?
(heran)
Gadis:
Setidaknya aku punya kau, kan?
(mencoba berhenti terisak, menyeka airmata, membelai kepala lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Aku bukan milik siapa-siapa!
(tiba-tiba bangkit berdiri dan menjauh, menerawang)
Aku bahkan bukan milik diriku...
(menunduk)
Sang Gadis menunduk pula, kembali terisak. Lelaki pertama datang kembali mendekat dan mengeluarkan sehelai sapu tangan dan menawarkan itu kepada gadis itu. Gadis itu mengangkat kepala dan menatapnya dalam-dalam sejenak dan berkata:
Gadis:
Aku tak butuh itu...
(memandang dengan penuh kasih sayang)
Kau...
Kau...
Lelaki pertama itu kemudian jatuh tersungkur dan memeluk gadis itu rapat. Sejenak mereka saling berpelukan erat. Lelaki pertama menggumam:
Lelaki pertama:
Sekarang aku kenyang...
(lambat)
Sekarang aku kenyang...
Gadis:
Manusia memang tak hidup dari roti saja...
Kau...
Carilah itu dulu...
(lembut)
Lelaki itu bangkit perlahan. Mereka bertatapan dan saling tersenyum. Lelaki itu meraih radio dan kembali menguatkan volumenya kemudian melangkah keluar. Gadis itu kembali duduk dan menikmati siaran radio. Lampu memudar.
- Tiga
Panggung berangsur terang. Dua sosok sedang membaca koran di satu sisi panggung dengan diam. Mereka berkacamata hitam. Ada yang berdiri, ada yang duduk. Di sisi sebelah ada sebuah kursi kosong dan sebuah meja dengan mesin ketik. Pada saat membalik halaman, mereka melakukannya bersamaan. Kemudian mereka mulai bersahut-sahutan dengan suara lantang:
Sosok satu:
Berita hari ini: sebuah pertanyaan!
Sosok dua:
Berita hari ini: sebuah kebimbangan!
Sosok satu:
Berita hari ini: waktu berlalu!
Sosok dua:
Berita hari ini: yang lalu menjadi terdahulu!
Lelaki pertama tadi masuk dan duduk di kursi kosong dan mulai mengetik lambat-lambat. Wajahnya berat, penuh beban. Ia kemudian menoleh perlahan kepada kumpulan sosok itu dan mengerinyitkan kening dan berkata:
Lelaki pertama:
Apa yang kalian tau?
Apa dengan membaca kalian jadi tau segalanya?
(emosional)
Aku juga membaca!
Aku juga membaca apa yang kau baca!
Aku bahkan membaca apa yang tak tau baca!
(ketus)
Sosok satu:
Lantas, kau jadi tau segala-galanya?
(membalas dengan cepat, tetapi pandangan tetap pada bacaannya)
Sosok dua:
Mengerti segala-galanya?
Sosok satu:
Bisa segala-galanya?
Sosok dua:
Menjadi segala galanya?
Lelaki pertama itu menunduk. Ia menyahut pelan:
Lelaki pertama:
Tidak...
(menelan ucapannya)
Sosok-sosok:
Lantas?
(bersamaan)
Lelaki pertama:
Itu semua agar aku bisa menulis...
(menerawang)
Sosok-sosok:
Menulis apa?
(bersamaan, kali ini semuanya menurunkan bacaan mereka lalu menoleh pada lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Menulis apa saja!
(bangkit dan marah-marah)
Menulis segala-galanya!
(menatap tajam ke arah sosok-sosok)
Sosok-sosok:
Untuk apa?
(bersamaan, kaget, )
Lelaki pertama:
Untuk diriku sendiri...
(tak perduli, kembali sibuk mengetik)
Sosok satu:
Untuk dirimu?
Untuk dirimu, katamu?
(berdiri, mendekati lelaki pertama)
Siapa dirimu?
Sosok dua:
Siapa?
(berdiri, namun tidak bergerak)
Kau?
Dia?
(menuding)
Dari mana kau tau kalau kau bukan dia, dia bukan kau?
Lelaki pertama:
Diaaam!
(menyela dengan hardikan)
Kalian tak perlu tau siapa aku!
Kalian tak perlu tau siapa dia!
Hari-hari akan berganti, bulan bintang dan matahari!
Tetapi aku dan dia tak akan pernah mati!
Pergi!
Pergi!
Pergiii!
Dari luar bergegas masuk lelaki kedua dan langsung menantang lelaki pertama dengan kata-kata:
Lelaki kedua:
Mengapa harus pergi?
(menatap tajam lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Ya... karena... mereka...
(patah-patah, kaget, seolah tak siap dicecari pertanyaan)
Lelaki kedua:
Mengapa harus pergi?!
(meninggi)
Lelaki pertama:
Eee... seharusnya kan...
(gugup menjadi-jadi)
Lelaki kedua:
Mengapa harus pergi?!!!
(menghardik keras)
Lelaki pertama:
Karena mereka bukan aku!!!
(balas menghardik dengan lebih keras)
Karena mereka bukan kau...
(lambat, menunduk, menghela napas dan menghembuskannya dengan berat.)
Suasana hening mencekam sesaat. Tak ada yang bergerak. Lelaki pertama kemudian melangkah kesamping, menjauhi lelaki kedua, kemudian matanya menerawang jauh.
Lelaki pertama:
Kau sudah lupa...
(lambat, pedih)
Lelaki kedua:
Aku... memilih untuk lupa
(lemah, menunduk)
Lelaki pertama:
Jadi kau masih ingat?
(menoleh, menyelidik)
Lelaki kedua:
Aku ingat apa yang kau ingat...
(saling tatap)
Sosok-sosok itu keheranan, saling pandang. Mereka menatapi koran koran yang di pegangnya. Wajah mereka kecewa. Bersamaan kemudian mereka mengambil korek api dan mulai membakar kertas-kertas itu. Sementara api berkobar, lelaki pertama kembali ke kursinya dan mengetik. Sosok-sosok itu memandangi api itu dengan muka tertekan, sampai api itu padam dengan sendirinya. Lelaki kedua berdiri kaku sambil menunduk. Lampu memudar mengikuti nyala api.
- Empat
Lampu menyala. Di panggung lelaki pertama dan lelaki kedua sedang duduk berhadap-hadapan di sebuah meja. Di atas meja ada secangkir kopi yang mengepul hangat. Keduanya sedang menatapi cangkir itu dengan serius. Beberapa saat tanpa suara, kemudian lelaki pertama memulai pembicaraan:
Lelaki pertama:
Mengapa kopi?
(tetap menatap cangkir)
Lelaki kedua:
Ini kehidupan
(tetap menatap cangkir)
Lelaki pertama:
Tau apa kau tentang kehidupan?
(mengangkat kepala, menatap lelaki kedua)
Lelaki kedua:
Tak tau apa-apa...
Selain apa yang diajarkannya kepadaku...
(tetap menatap cangkir)
Lelaki pertama:
Apa itu?
(menggeser tubuh kedepan, mengeringitkan dahi)
Lelaki kedua:
Belajarlah sendiri
(mengangkat muka, menatap mata lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Kau mau meracuni aku?
(curiga, menggeser tubuh ke belakang)
Lelaki kedua bangkit dari duduknya. Matanya menerawang ke depan. Ia mau melangkah pergi ketika jemari-jemari lelaki pertama itu mulai bergerak sesenti-sesenti mendekati cangkir di depannya. Bagai mereka punya abadi, cangkir itu dibawa mendekati bibir dan menenggelam muka kedalamnya. Wajah lelaki pertama itu tak berubah oleh rasa. Tak ada segerak otot bahkan yang terhalus sekalipun di tubuhnya. Ia melirih perlahan. Hampir terlalu kabur untuk didengar.
Lelaki pertama:
Mengapa pahit?
Lelaki kedua:
Itu kemurnian
(tegas)
Lelaki pertama:
Maksudmu?
(menoleh, bingung)
Lelaki kedua:
Tak ada gula dalamnya
Lelaki pertama:
Jadi?
Lelaki kedua:
Kopi memang pahit…
Jika ingin manis, tambahkan gula
Lelaki pertama:
Gula...?
(bingung)
Lelaki kedua berjalan keluar panggung. Lelaki pertama dengan kebingungannya kembali menatap cangkir itu. Dari ketidak puasannya ia kembali bertanya dengan berseru:
Lelaki pertama:
Bagai mana jiga aku tak memiliki gula?
Sebuah suara menggema dari luar panggung, suara lelaki kedua, menjawab pertanyaannya:
Lelaki kedua:
Tiap orang punya gula!
Tiap orang punya cinta!
Lelaki pertama:
Cinta, katamu?
(memiringkan kepalanya, keningnya berkerut)
Cinta?
Itu tak berbeda dari kutukan pertama!
Lelaki kedua:
Wanita?
Lelaki pertama:
Anak haram itu rusuk kita!
Dia membuatku mencambuki diriku
Jantungku melompat-lompat
Nafasku menyanyi-nyanyi
Lantas lelah menari-nari!
Kau juga, kan?
(tersenyum mengejek)
Lelaki kedua:
Aku tak mencintainya!...
Lelaki pertama terkejut dan bangkit dari duduknya. Ia menoleh ke belakang, kearah suara lelaki kedua. Lampu mati.
- Lima
Panggung berangsur terang. Di atas panggung seorang wanita cantik sedang duduk di sebuah kursi dengan pose yang sedikit menantang. Di hadapannya ada sebuah televisi yang menyala, cahaya layarnya membias diwajah gadis itu. Wajahnya anggun, namun sensual. Bibirnya basah merekah. Ia menonton sambil memainkan rambutnya yang terurai. Lelaki pertama masuk dengan mengenakkan helm yang menutupi mukanya, berdiri di samping kursi wanita itu dan langsung menatap televisi dihadapan mereka. Dengan tidak mengalihkan pandangan dari televisi, mereka mulai berbicara:
Gadis:
Kau...
(tertahan)
Mau pergi?
Hhm...
(tersenyum kecil)
Lelaki pertama:
Aku masih disini
(membuka helmnya cepat, kembali menatap televisi dengan wajah dingin)
Kau?...
Gadis:
Aku akan disini
Tapi bukan menunggu...
Aku Cuma menghitung waktu
Lelaki pertama:
Tanpa lelah?
Gadis:
Waktu adalah sahabatku, ketika aku berhenti, ia juga
Lelaki pertama:
Jika ia terbang, kau juga?
Gadis:
Aku pernah terbang bersamamu...
(suaranya tercekat, berduka. Disaat itu ia menoleh ke atas, ke arah lelaki itu)
Lelaki pertama:
Ya...
(tersenyum getir)
Langit dulu sahabat kita, awan-awan juga...
Gadis:
Aneh bukan, betapa kita menjadi lelah dengan kata-kata... (bangkit berdiri, mendekati lelaki itu dan menyentuh wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu meletakkan helmnya di kursi)
Lalu jari-jari kita beku...
(melepaskan sentuhannya, menatap jari-jarinya. Tiba-tiba ia seperti terhenyak, mundur selangkah menjauhi lelaki itu dan menatapnya tajam)
Kau penyebabnya, bukan?
(suaranya keras, menuduh)
Kau terbang terlalu tinggi, kemudian matahari melehkan sayapmu!
(kecewa)
Lelaki pertama:
Kau yang menyuruhku...
(seperti hendak menyangkal, namun akhirnya tunduk)
Aku sebenarnya tak suka melayang...
(menerawang)
Aku lebih suka berpelukan dengan bumi...
Rumput, kembang...
Bukit hijau...
Laut...
(kembali menunduk)
Gadis:
Laut?
(menoleh)
Lelaki pertama:
Laut tinggal pada tanah...
(menatap tajam kedepan)
Gadis:
Kau tau berapa dalamnya?
(maju selangkah)
Lelaki pertama:
Kau tau jawabnya... aku juga
(maju kearah gadis itu dan merengkuhnya kedalam pelukan, mereka bertatapan dengan sinar mata takjub. Sejenak mereka saling tatap. Musik lembut bermain. Berpelukan, mereka mulai bergerak mengikuti irama lagu, lembut lalu mulai memuncak. Gerakan mereka mencepat, meninggi, hingga akhirnya terhenti mendadak. Mata mereka bertautan. Keduanya kemudian berciuman. Tib-tiba sang gadis memisahkan tubuhnya, membuang pandang jauh, wajahnya berduka)
Gadis:
Pergilah...
(terengah)
Pergi...
Atau aku yang menghempas bumi...
(lemas)
Lelaki pertama itu hendak meraih tubuh gadis itu lagi namun ia berhenti sendiri. Ia memandang gadis itu dengan tajam, tetapi pandangannya itu cepan jatuh ke tanah. Sekejab ia menyambar helm di kursi berkehendak mengenakkannya, namun terhenti. Ia menatap gadis itu kembali dan berkata:
Lelaki pertama:
Aku... mungkin tak kembali...
(lambat, kecewa)
Gadis itu terkesiap. Tangannya mencoba meraih lelaki itu, namun ia telah membalikkan tubuh, mengenakkan helm dan melangkah keluar, tanpa menoleh lagi. Gadis itu kembali ke kursinya dan seolah tak ada yang terjadi, ia kembali duduk menonton dengan wajah dingin. Lampu memudar.
- Enam
Lampu panggung menyala. Lelaki pertama sedang duduk di kursi dan memandangi sebuah handphone dalam genggamannya. Wajahnya bimbang. Akhirnya ia mulai memencet nomor. Setelah menunggu sejenak, Ia mulai berbicara:
Lelaki pertama:
Ada waktu kita menunggu
Ada waktu kita ragu!
Kau dimana?
Kita perlu bertemu
(tegas)
Dari luar panggung masuk sesosok dengan handphone yang sedang ditempel ke telinga dan langsung berbicara:
Sosok satu:
Utara, selatan, timur, barat, sama saja
Aku ada dimana-mana
Lelaki pertama:
Terserah...
Tapi aku masih di bumi, kau tau itu!
(menekankan)
Dari luar panggung masuk lagi sesosok dengan handphone dan langsung berbicara:
Sosok dua:
Mars, Jupiter, Merkurius, Venus, Apha Centauri, atau Eden sekalipun!
Sama saja...
Dua sosok yang baru masuk menempati sisi-sisi panggung. Lelaki pertama bangkit dari duduknya, namun tak bergerak ke mana-mana.
Lelaki pertama:
Aku telah terusir dari Eden!
Bagsat ular itu...
(melemah, seolah menyesal)
Sosok satu:
Kau menyesal?
(serius)
Sosok dua:
Kau gagal?
(serius)
Sosok satu:
Dosa itu nikmat, bukan?
(menggoda)
Hahaha...
(tertawa renyah)
Sosok dua:
Telanjang itu indah, bukan?
(menggoda)
Hihihi...
(tertawa terkikik)
Sosok satu:
Kenangan masa silam tak pernah lekang
Hanya sembunyi dalam kelam
Sosok dua:
Untuk kembali menerkam
Dikala t’lah larutlah malam!
Kedua sosok itu kemudian tertawa-tawa. Lelaki pertama kelihatan kalut, ia menghardik:
Lelaki pertama:
Diam!
(marah)
Jarum jam tak bisa diputar ulang!
Aku hanya mau tidur dalam keabadian!
Malam datang dan pergi, siang silih berganti!
Aku hanya melawan lupa!
Aku hanya melawan lupa!!
Halo!
Halo?
Haloo!?
Seolah putus sambungan, pembicaraan terhenti. Lelaki pertama memencet tombol kembali, namun ternyata tak bisa. Sosok-sosok tadi telah keluar panggung. Ini memancing kemarahannya menjadi-jadi, semakin tinggi. Di tatapnya handphone di genggamannya dan berseru:
Lelaki pertama:
Erasur!
Lelaki pertama itu menghempaskan handphonenya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping. Lampu mati.
- Tujuh
Lampu panggung menyala. Di tengah panggung ada sebuah meja dan kursi. Lelaki kedua sedang duduk di meja dan memainkan sebuah gitar dengan sebuah lagu blues. Sebatang rokok tersisip di bibirnya dan sekali-kali di tarik-hembus tanpa di pegang. Selang beberapa saat kemudian lelaki pertama masuk dan langsung duduk di kursi. Ia menundukkan kepala tetapi tangannya di sandarkan di meja dan mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama dari lagu lelaki kedua. Lelaki kedua menyapa:
Lelaki kedua:
Kau tau lagu ini?
(berbicara dengan rokok terselip di bibir, masih terus memainkan gitar)
Lelaki pertama:
Aku yang menciptanya...
(menyesal)
Lelaki kedua:
Bagus...
Lelaki pertama:
Bagus?
(menoleh pada lelaki kedua)
Lelaki kedua:
Bagus
(meyakinkan, juga menoleh)
Aku suka...
Lelaki pertama
Aku juga suka...
(menerawang)
Setidaknya... kita berdua sama
Lelaki kedua:
Setidaknya... kita belum lupa
(menjepit rokok dengan jari tangannya, kembali memainkan gitar)
Keduanya menerawang. Musik tetap dimainkan. Lelaki pertama kemudian menyanyi mengikuti lagu sampai lagi selesai. Lelaki kedua juga ikut menyanyi. Mereka berdua tampak menikmati kebersamaan mereka dalam menyanyikan lagu itu. Lagu kemudian selesai. Mereka terdiam beberapa saat. Lelaki kedua berusaha berbicara dengan kaku:
Lelaki kedua:
Kau temui mereka?
(menunduk, menggaruk kepala)
Semesta logika yang sedari dulu mengaliri nadimu?
(menoleh)
Lelaki pertama:
Selalu seperti itu...
(menerawang, menoleh ke arah lain)
Lelaki kedua:
Ruang, waktu, dimensi, realita, makna!
Seribu kali kecepatan suara!
Mesin waktu yang nirmakna!
Kita Cuma abu kosmis yang melayang di udara!
(tercekat)
Lantas...
Apa yang tersisa?
(emosional)
Lelaki kedua:
Khaos...
(ragu-ragu)
Lelaki kedua:
Epistel siapa?
Lelaki pertama:
Aku...
(lemah)
Kau..
Lelaki kedua:
Kau tau semua itu?
(melompat turun dari meja, menatap tajam lelaki pertama)
Lelaki pertama:
Aku... kau, bukan?
(menerawang)
Lelaki kedua:
Kau... kenal aku?
(antara amarah dan takjub)
Lelaki pertama:
Kematian tak selalu punya nama!
(bangkit, menantang)
Lelaki kedua:
Tuhan!
Tuhan punya nama!
(marah)
Lelaki pertama:
Apalah artinya sebuah nama?!
(profokatif)
Lelaki kedua:
Bahkan sungai kematian punya nama!
(gugup)
Tiap sel tubuh punya nama!
Dendam pun punya nama!
Lelaki pertama:
Hmh!
(mendengus sinis)
Aku tak pernah percaya diriku...
bahkan semenjak aku lahir!
Kelahiran adalah kematian!
ALPHA ADALAH OMEGA!
Lelaki kedua tiba-tiba menghempaskan gitar yang dipegangnya ke samping dan meloloskan sepucuk pistol dari pinggang belakangnya dan langsung menodongkannya kepada lelaki pertama. Lelaki pertama juga bersamaan meloloskan sepucuk pistol dari pinggangnya dan langsung menodongkannya ke arah lelaki kedua. Mereka saling menodongkan pistol, bersilang lengan, tetapi dengan mimik berbeda, lelaki pertama dengan wajah dingin sedang lelaki kedua dengan wajah penuh amarah, napasnya naik-turun. Sementara konflik diantara mereka meninggi, gadis itu masuk dengan langkah santai dan duduk di kursi dengan gaya seronok kemudian menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam, seolah ia tak melihat apa pun yang sedang terjadi di hadapannya. Kedua lelaki tadi juga seolah tak memperhatikan kedatangannya dan tetap dengan konflik mereka.
Lelaki pertama:
Berakhir di sini?
(dingin)
Lelaki kedua:
Membunuh atau terbunuh!
Bau mesiu!
Nyawa yang terbang jauh!
Hahaha!
(gembira)
Lelaki pertama:
Aku atau kau!
(meledak dengan amarah)
Lelaki kedua:
Aku kau!
Kau aku!
(emosional, antusias)
Hahaha!
(tertawa aneh)
Lampu panggung tiba-tiba mati. Beberapa letusan pistol menggema.
- Delapan
Lampu panggung menyala. Sosok satu dan dua sedang membaca koran di atas panggung. Sosok satu duduk di kursi, sedang sosok dua berdiri menyandar meja. Tiba-tiba dari kiri-kanan panggung, dari kedua pintu masuk panggung, muncul sorotan sinar senter yang menyilaukan. Masing-masing sinar mengarah kepada muka kedua sosok tadi. Keduanya terkejut dan mencoba menghalangi sinar itu dengan telapak tangan. Seolah ingin mencari tau siapa yang menyinari mereka, keduanya lalu bergerak mendekati arah sinar itu perlahan-lahan. Semakin dekat mereka menjadi lebih curiga. Tiba-tiba mereka terhenyak bersamaan dan jatuh terlentang di lantai. Keduanya kemudian dengan ekspresi ketakutan mulai mundur perlahan-lahan menempeli dinding belakang sambil menyeret kaki. Sosok satu dan dua mulai bergumam ketakutan:
Sosok satu:
Kau...
Tak mungkin...
(gemetar)
Sosok dua:
Ini...
Tak mungkin...
(histeris)
Semakin ketakutan, semakin histeris, mereka bergerak mundur. Lampu tiba-tiba mati. Kedua sosok itu menjerit keras. Beberapa letusan pistol menggema. Senyap.
- Sembilan
Lampu menyala. Di panggung gadis itu masih duduk di kursi. Pandangannya menerawang ke depan. Sesekali dia menghirup rokok dalam dan menghembuskan asapnya dengan sensual. Tiba-tiba menoleh ke pintu masuk seolah ada orang di sana.
Gadis:
Siapa?
Kau…
Tak seharusnya kau...
(menoleh ke arah pintu masuk dengan wajah curiga)
Terlalu cepat kau kembali!
Gadis:
Mengapa?
Setelah begitu lama...
Kau juga lupa?
(gugup, bangkit dari duduk, rokoknya terjatuh dari jepitan jarinya, masih memandangi pintu)
Gadis:
Jangan!
(takut, mudur menjauhi pintu, namun tertahan pada sisi meja)
Aku…
Kau…
Dia?…
Mereka juga?
Jangan!
Jangan!!
Jangaaaan!!
(histeris)
Lampu mendadak mati. Beberapa ledakan pistol terdengar. Suara-suara seperti ada pergulatan terdengar. Sebuah gelas jatuh pecah. Beberapa saat kemudian lampu kembali menyala. Gadis itu telah menggeletak di atas meja dengan kepala menggelantung terbalik menghadap ke depan panggung. Dari mulutnya mengalir darah segar yang masih menetes-netes, matanya terbelalak. Di depan meja ada dua sosok yang menggeletak berlumuran darah. Yang satu menyandar pada kaki meja. di bajunya, tepat di dadanya, darah membasah. Sosok lainnya terkapar menelungkup di kaki sosok yang pertama. Di belakang, menyandar pada dinding belakang, ada pula dua sosok yang berlumuran darah. Lampu kembali mati.
- Sepuluh (Epitaph)
Panggung masih gelap. Sesosok bayangan masuk dengan merokok. Tidak dapat dikenali karena gelap. Hanya bara rokoknya yang menyala. Ia melangkah lambat ke tengah panggung dan berhenti di sana. Diam. Hanya bara rokoknya yang bergerak-gerak. Terdengar kemudian ia pergi duduk di kursi. Rokok habis dan puntungnya dijentikkan. Kembali gelap. Selang beberapa saat kemudian dia menyalakan sebuah korek api dan menjentikkannya ke sebuah kaleng di depannya yang langsung menyala membesar dengan api yang menjilat-jilat. Keadaan tiba-tiba terang oleh api itu. Di atas meja masih ada tubuh gadis itu. Di depan meja masih ada dua sosok yang menggeletak berlumuran darah. Dan.. yang duduk dikursi... Ternyata... sosok itu... aku. Ya, aku. Aku yang duduk di kursi itu. Aku yang memandang tajam ke depan. Di genggamanku ada sepucuk pistol. Perlahan-lahan aku tersenyum, senyum kemenangan. Aku kemudian menggumam:
Aku:
Pertunjukan...
Usai!...
Api mulai mengecil dan padam. Panggung gelap.
S E L E S A I
Keterangan Tambahan
Pengkarakteran:
- Lelaki pertama:
Seorang yang muda yang gelisah, lelah, hampir-hampir putus asa.
- Lelaki kedua
Seorang lelaki yang pasti, penuh semangat, beradrenalin tinggi. Alter-ego dari lelaki pertama.
- Gadis
Seorang gadis sensual yang pantas dicintai oleh tiap lelaki.
- Sosok satu
- Sosok dua
Tokoh-tokoh absurd, imajiner. Hadir sebagai teaser lelaki pertama.
- Aku
Sang mahatau... sang mahabisa, dalam kisah ini. Sebaiknya diperankan oleh sang sutradara sendiri, atau seseorang yang berperan sebagai “sutradara”. Disarankan juga agar sang sutradara berada di atas panggung dan aktif mengarahkan pengaturan panggung beberapa saat sebelum pentas, agar penonton mendapat kesan bahwa ia memang sutradara.
Stage Setting:
Panggung ditata dengan sebuah meja dan sebuah kursi, set properti lainnya seperti televisi, radio, bungkus rokok, cangkir, catur, dsb. akan di tambahkan sewaktu pergantian babak, pada saat lampu panggung dimatikan. Dinding belakang panggung disinari dengan image-image dari sebuah proyektor (LCD atau slide), atau paling tidak menggunakan sinar dari lampu dengan nuansa warna merah dan/atau kuning . Pencahayaan diusahakan menggunakan lampu atas dengan tata warna warna kuning dan merah untuk memperkuat aura misterius.
Abadi
Sebuah Tragedi Religi
Epsode l: Samaria
Sesosok tubuh tergeletak kaku diatas sebuah pembaringan. Tubuhnya hampir telanjang, hanya dibungkus kain putih yang memanjang menutupi pembaringan. Situasi sekitarnya kelam. Kosong. Puluhan, bahkan mungkin ratusan, lilin yang diletakkan menyebar tinggi rendah meliuk-liuk apinya, menciptakan bayang-bayang ganjil dari situasi sekitarnya ditingkahi sebuah musik yang tiba tiba meledak, tegang, mencekam.... namun berhenti seketika. Sekelompok sosok-sosok hitam menghampiri tubuh yang menggeletak itu dari berbagai sudut. Perlahan... perlahan... Mereka mengamat-amatinya dengan penuh selidik. Berbagai macam kata-kata diserukan sosok-sosok itu kepada tubuh kaku tersebut:
Sosok-Sosok Hitam:
Kasihan kau...
Mati sia-sia...
Mati penuh dosa...
Cinta?
Apa cinta!
Ini aib! Ini aib!!
Terkutuk! Terkutuk!!
Puihh!!
Mereka menjauhi tubuh itu seakan-akan diusir bau bangkai yang busuk... kemudian sunyi kembali.
Episode ll: Sodom
Sesosok bayangan tampak dibiaskan oleh cahaya dari kejauhan. Seseorang datang. Mula-mula tak jelas... semakin mendekat dan mendekat dan menjelma menjadi seorang perempuan yang berjalan perlahan... hampir tak bertenaga. Kepalanya terunduk dalam, rambutnya terurai hampir menutupi mukanya... menutupi wajahnya yang pucat-hampir sepucat tubuh kaku yang terbaring di pembaringan- dingin dan tanpa nafas. Gaunnya hitam. Ia membawa sekeranjang kembang dan mulai menaburkan kembang-kembang itu di sekitar tubuh kaku itu. Kemudian Ia duduk di pembaringan dan mulai meratap.
Perempuan :
Tuhan menipu kita...
(menangis sambil menatap tubuh didepannya)
Ia penipu...
(tangisnya mulai meninggi)
Penipu... Penipu... Penipu
(mulai tersedu-sedu sambil membelai tubuh didepannya)
PENIPU... PENIPU!...PENIPU!!
(pada klimaksnya ia memeluk tubuh tersebut)
Tak ada fajar setelah mentari tenggelam...
Tak ada siang setelah malam kelam...
Tak ada kehidupan setefah kematian...
(terisak-isak)
Eli! Eli! Lama Sabachtani!!
Tiba-tiba tangisnya terhenti... wajahnya masih terbenam dl tubuh tak bergeming itu... Nafasnya perlahan-lahan mulai memburu.. tangis yang semula mengiris mulai berubah menjadi geraman... semakin meninggi dan meninggi... sambil beranjak berdiri perlahan-lahan ia membentangkan tangannya seraya menatap ke langit dan berseru:
Perempuan:
Tuhan!
Mengapa kau kembangkan bunga, jika harus kau bakar dalam terik?
Mengapa kau semikan musim, jika harus kau beku pada salju?
Mengapa kau hembuskan nafas, jika harus kau kaku jadi baka?
Mengapa?
Inikah cinta yang kau ajarkan buat anak-anakmu?
Ini bukan cinta...
Kau cemburu!
Kau kehilangan anakyang kau cinta karena ia...
BUNUH DIRI!!
Ya!! BUNUH DIRI!!
Ha.. Ha ...
(perempuan tertawa mengejek)
Ha ...Haa... Haaa
(tawanya berubah histeris...)
Kau gagal...
(terus tertawa)
KAU GAGAL!!
HA... HA... HA...!
(tiba-tiba tawanya sirna... ganti tangis kembali menyeruak)
Kau... rebut... cinta... ku...
Kau..Kembalikan... cintaku...
Kem... ba...li...
(ucapannya terpotong oleh suara-suara)
Musik mengalun campur baur. Seseorang nampak mendekati pembaringan, berbaju putih dan nampak suci. Tetapi ia bukan pendeta. Bukan. Kelihatannya ia akan melayat sang tubuh kaku itu, namun ternyata ia melewatinya kemudian berdiri membelakangi perempuan itu serta berbicara melewati pundaknya:
Laki-laki:
la tidak mati!!
Hanya tidur...
(suaranya dalam... yakin... kemudian ia tertawa dengan suara yang meremehkan... kemudian terbahak-bahak)
Ha... Ha... Ha...Ha ...Ha...Ha!
(wanita tadi seperti tersihir ikut terbahak-bahak bersamanya)
Aku diberi kuasa atas air, tanah, dan udara...
Aku diberi kuasa atas manusia, tumbuhan, dan hewan...
Aku diberi kuasa atas lahir, hidup, dan mati...
(la mendekati tubuh itu, menyalakan empat obor di empat penjuru tubuh kaku itu dan mulai komat-kamit membaca entah apa kemudian berseru dengan nada memerintah)
Bangkitlah!!
(hening)
Bangkit dan bejalanlah!!
(hening)
Dalam nama langit, bumi, bintang dan bulan BANGKITLAH!!... BANGKITLAH!! BANGKITLAH!!
(hening)
BANGKITLAH!!... BANGKITLAH!!... BANGKITLAH!!
Kata-kata laki-laki itu seperti membentur tembok. Ia menjadi panik dan mulai menggoncang-goncang tubuh kaku itu. Tiba-tiba ia melangkah mundur. Sorot matanya curiga. Kemudian ia menuding sambil berteriak dengan takut bercampur tudingan memuakkan.
Laki-laki:
Dia...
Dia mati... bunuh diri...
Dia mati bunuh diri...
DIA MATI BUNUH DIRI!!
Karena cinta...
CUMA KARENA CINTA IA MATI BUNUH DIRI!!
BUNUH DIRI!!
Pendosa!
Pendosa!
Penghujat!
PENGHUJAT!
Kafir! Kafir!
Iblis!
Islam!
Kristen!
Utara!
Selatan!
Ahh..
Yaa Tuhan!
Najis... najis...
Bunuh... bunuh!
Mati!
MATI!!
la menjadi histeris. Bertingkah layaknya seorang tak waras ia menjambak rambutnya sendiri. Baju putihnya dirobeknya. Teriakkannya melengking. Tiba-tiba sebuah suara menghardik:
Sosok Satu:
DIAM!!
Dari arah belakang penonton masuk empat sosok dengan langkah lambat. Yang menghardik tadi berada ditengah memegang sebuah guci diapit oleh dua sosok dengan lilin yang menyala. Di belakang ada sesosok yang memegang sehelai kain dan dua buah mahkota duri. Mereka berjalan kearah panggung. Sambil berjalan, sosok-sosok itu menyanyikan sebuah himne. dan mengambil posisi di empat penjuru dari tubuh kaku itu, menghadap ke depan. Selanjutnya sosok yang ditengah itu meletakkan guci itu di lantai dan mulai berkata-kata kepada laki-laki tadi...
Sosok Satu:
REDAHLAH WAHAI KAU...
TOPAN BADAI...
Laki-laki tadi ternyata masih memiliki keberanian, atau mungkin lebih tepat, kesombongan untuk menyodorkan sebuah ucapan penuh selidik sembari menuding ia berkata:
Laki-laki:
Siapa kau...
Ssiappaa kau...
Siapa berani mencampuri urusanku!!
Siapa berani mencampuri urusanku!!
Aku adalah ummat yang terpilih!!
Aku adalah yang tertinggi dari yang tertinggi!!
Siapa kau...?
LANCANG BENAR KAU!!
Sosok Satu:
Aku adalah aku...
Kau adalah kau...
Aku ada dalam terang...
Kau ada dalam gelap...
Aku dan kau tak akan pernah bisa bercampur jadi satu!
Enyah dari hadapanku
Kau... Ular biludak!
Sosok-Sosok yang memegang lilin menyambut dengan suara keras:
Sosok-Sosok Lilin:
Dalam nama Bapa dan Putra dan Rohul Kudus...
Dalam nama Bapa dan Putra dan Rohul Kudus...
Dalam nama Bapa dan Putra dan Rohul Kudus...
Laki-laki itu terhenyak, tubuhnya tiba-tiba kaku. Matanya melotot. Napasnya naik turun. Ia seperti melihat hantu. Kemudian ia mulai takut dan gemetar lalu dengan teriakan histeris ia lari keluar meninggalkan perempuan sendiri seperti anjing yang ketakutan, lari men jepit ekornya. Suasana mendadak tenang... tenteram.
Episode lll: Utopia
Kekelaman pun sirna berganti terang yang lembut. Perempuan itu berangsur -angsur tenang dan tenang... sosok tadi kembali berbicara. Kali ini jauh lebih ramah dan lembut
Sosok Satu:
Akulah kelahiran itu...
Akulah kematian itu...
Kelahiran adalah awal...
Kematian adalah akhir...
Nazareth...
Golgotha...
Eden...
Nirwana...
Itu aku...
Itu aku...
Aku tlah lahir sebagai manusia ini...
Aku tlah bunuh diriku sebagai ganti nyawa manusia ini...
Aku...
Aku...
(menunduk sedih)
Sosok yang membawa mahkota dan kain mulai berbicara dengan suara yang lembut...
Sosok Dua:
Tak sadarkah dirimu?
Bahwa bunga tak selamanya mekar
Mentari tak sepanjang tahun bersinar
Dan nyawa tak abadi bersekutu raga?
Tak sadarkah dirimu?
Bahwa langit tak selamanya cerah
Laut tak sepanjang tahun tenang
Dan jantung tak abadi berdetak?
Tapi...
Sadarkah dirimu kini bahwa jiwaku abadi mencintaimu?
Bahwa nadiku abadi mengasihimu?
Walau duka derita kurasa
Lakumu cekik nafas sukma
Tak sedetikpun kan aku serah!
...cintaku kelak kubawa mati.
Kedua sosok yang memegang lilin menyambut dengan suara lantang:
Sosok-Sosok Lilin:
Tuhan yang memberi...
Tuhan yang mengambil...
Abu kembali jadi abu!
Perempuan tadi mulai beranjak. Matanya mencari-cari asal suara tadi. Ia bergerak dengan mata yang keheranan seolah-olah ia mengenali suara itu. Ternyata asal suara tadi adalah seolah dari deru jiwa dari tubuh di depannya itu. Perempuan itu mendekati dada tubuh itu dan menyandarkan kepalanya ke pundak tubuh itu sambil memeluknya sambil bergumam:
Perempuan:
Maaf..
maakan aku...
Kita memang berbeda...
Jalan kita tak sama...
Hari kita tak sama...
Tapi...
Tak seharusnya aku ragukan kesetiaanmu...
Tak sepantasnya aku sangsikan cintamu...
Kau... Kau relakan jiwamu pergi untuk buktikan setia cintamu...
Kini aku sadar...kau dan aku diciptakan untuk selama-lamanya bersama...
Kini aku yakin...
Aku adalah bintang di mahkotamu...
Kini...
Kini bawa aku bersamamu...
Dari kekal sampai kepada kekal...
Wahai malaikatku...
Dibawah tudung sayapmu kurebahkan jiwa...
Dan pabila ajal tlah benar tiba..
Diribaanmulah kurindu meranggas nyawa...
Tapi toh satu pertanyaan tetap tak terjawabkan...
Haruskah cinta musnah karena perhedaan...
Antara siang dan malam...
Antara awal dan akhir...
Antara hidup dan mati...
Namun kita akan kembali satu…
Segera...
Sebab cinta kita...
...Abadi...
Tubuh kedua kekasih tadi seolah berpelukan dalam diam. Tenang. Keduanya tanpa gerak. Tanpa nafas. Sebuah perasaan tak terungkapkan merebak. Namun bukan sesuatu yang sedih. Bukan juga gembira. Hanya nada-nada yang menyiratkan kedamaian... Sejenak kemudian, sosok-sosok tadi mulai bergerak. Yang memegang lilin berhadap-hadapan kemudian perlahan-lahan berlutut. Sosok yang telah mengusir laki-laki tadi berjalan ke belakang kedua kekasih yang diam itu kemudian mengambil kedua mahkota duri dari sosok yang berdiri di belakang. Ia berjalan ke depan dan mengenakkannya kepada sepasang kekasih itu. Sosok yang berdiri di belakang, yang memegang kain, kemudian membentangkan kain itu dan membungkus sepasang kekasih tadi dengan kain putih, kecuali wajah keduanya. Sosok yang memasangkan mahkota tadi kemudian mengambil guci yang tadi diletakkannya kemudian berjalan kebelakang kedua kekasih itu. Ia berdiri dan menatap ke depan kemudian berseru dengan nyaring:
Sosok Satu:
Atas nama cinta...
Dalam nama cinta...
Inilah anak-anakku yang terkasih...
Setelah itu menumpahkan isi guci itu, air berwarna merah darah, ke kepala dan kemudian tubuh kedua kekasih itu, membasahi kain putih tadi. Ketiga sosok lainnya menyambut dengan menyanyikan sebuah kata penutup:
Sosok-Sosok:
Amin...
Amin...
Amin...
Lampu memudar, panggung kembali gelap.
SELESAI
Pahit
Sebuah cerita tentang cinta
Satu
Panggung gelap lengang. Sebuah soft spotlight menyorot dari belakang ke depan panggung dengan cahaya redup, hanya cukup untuk memunculkan siluet-siluet dan sedikit lantai sekitar. Di sana ada sepasang meja kursi kayu dengan setumpuk kertas yang tak beraturan. Ada sebuah pena di atasnya. Di samping kertas itu ada secangkir kopi yang telah dingin. Sebuah lampu meja menerangi meja itu sekaligus mencipta bayang-bayang di sekeliling. Ada beberapa gumpalan kertas bertaburan di sekeliling. Seseorang sedang duduk bersandar. Bayangan lampu tadi menyamarkan wajahnya dalam kegelapan. Dalam keremangan tergambar pakaiannya: kemeja tua dengan kancing terbuka, lengan panjang dilipat sesiku. Tangan kanannya diletakkan di meja sambil menjepit sebatang rokok yang abunya telah lama tak dijentikkan. Asap menggantung tipis. Kemudian ia beringsut maju perlahan. Wajahnya yang tadi tersamar bayangan mulai nampak perlahan. Sayang, sebelah tangannya dipergunakan untuk menyangga wajah sehingga menutup mata dan sebagian wajahnya. Tangannya bergerak lambat mengusap muka hingga jatuh perlahan di dagunya. Ia menengadah dengan mengejam mata sambil menarik napas. Perlahan ia mengembus napas dan kembali menunduk. Pandangannya mengarah pada tumpukan kertas. Tangan kirinya bergeser dari dagu dan menopang kening. Ia menjentikkan abu rokoknya ke lantai samping. Sekarang, wajahnya disinari lampu meja. Wajahnya sedih, lusuh dan berminyak. Rambutnya hampir tak tersisir. Pandangannya nanar. Keningnya berkerut samar. Perlahan, tangan kanan yang menjepit rokok disorongkan kedepan menggapai asbak. Rokok dimatikan dengan sebuah gerakan saja. Tiba-tiba ia meraih cangkir kopi itu dengan dua tangan dan menghirupnya dengan penuh rindu, seolah sedang bercengkrama dengan kekasih yang lama tak berjumpa. Kedua tangannya kemudian bergerak perlahan meraih pensil dan mulai menggores perlahan kertas yang memapar dihadapannya. Setelah itu, pensil itu diletakkan dengan perlahan. Dipegangnya kertas itu dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya kembali menyangga kepalanya sehingga menutupi mata kirinya. Mata kanannya menatapi kertas seolah membaca. Ia menarik napas panjang dan menghembusnya seraya wajahnya menunduk. Sejenak kemudian, perlahan ia kembali mengangkat wajah menatap nanar kedepan. Pandangannya tanpa fokus. Keningnya berkerut. Ia mulai memuisi dengan suara berat, penuh kekecewaan:
Jika ada yang bertanya
Tentang makna cinta
Saat ini aku tak lagi punya jawabnya
Karena bagaimana mungkin mengukur
sesuatu yang tak lagi terasa
bagaimana mungkin menaksir
bentuk yang kini tak kasat mata
bagaimana lagi menilai harga benda
yang sudah tanpa makna
tidak...
aku memang bukan Sang Suci
Cuma lahir dan nanti mati
Sering rindu udara pagi
Menangis dalam hati
Ketika anjing kesayangan sakit lantas pergi
Bahkan memendam rindu
Buat kekasih yang tlah lama lari
Tahun-tahunku sarat bayangan
Kau tak tau pahit yang kurasakan
Melarung anak sulung korban perbedaan
Lalu apa arti kehidupan?
Hilang sudah dari ingatan
Tetapi mari duduk di sisiku
Atau jika kau malu
Biar aku yang menghampirimu
Kita bisa membunuhi waktu
Dan mungkin dapat kuajarkan
Bagaimana menelan masalalu
Atau membuat cake coklat-
Kalau kau mau
Akupun bukan pemuja kata
Sebab tak punya nyawa ia
Tanpa tarian bermakna
Sebentuk pena
Pun aku tak percaya cinta
Yang lahir tiba-tiba
Tanpa kenal apa dan siapa
Mulut-mulut yang mengeja
Jadi jikapun cinta tlah mengata
Dalam kalimat menyala-nyala
Ketika malam-malam buta
Itu hampa
Tanpa kita sadar menerima
Tawa dan tangis bersama
Alur hidup gila maya
Yang pernah datang menyapa
Lalu kau… Aku…
Akan menangis dan tertawa bersama
Dan belajar tentang cinta…
Setelah itu ia kembali menunduk. Kertas yang dipeganginya ia remas perlahan-lahan dengan kedua belah tangan di depan wajahnya. Kemudian ia beringsut mundur kembali kedalam gelap. Hanya kedua tangannya yang masih tampak. Remasan tangannya dibuka perlahan. Gumpalan kertas itu ada di telapak tangan kirinya. Ia mengangkat sedikit tangan itu. Jari-jarinya gemetaran. Gumpalan kertas itu kemudian dibiarkan jatuh menggelinding ke lantai... Lampu berangsur redup.
*
Dua
Bagian depan panggung berangsur terang. Ada dua orang disana. Seorang wanita sedang duduk di atas sebuah kadera menghadap ke samping. Wajahnya tertunduk. Rambutnya tergerai menutupi sebagian mukanya. Tangannya terlipat dengan anggun di atas pahanya. Ia mengenakkan gaun selutut berwarna merah. Di bagian lain depan panggung, tak jauh dari wanita itu, seorang pria sedang berdiri tenang. Pandangannya lurus ke depan, namun agak ke atas, tangannya menyisip kantong celananya. Wajahnya bersih, matanya cemerlang. Ia mengenakkan kemeja putih dan celana hitam. Sejenak ia mengalihkan pandangan kearah belakang, kearah wanita itu. Pandangannya kemudian kembali ke depan, tetapi kali ini kearah bawah. Dia menarik napas dan tersenyum. Dia kemudian membalik badan dan mulai melangkah perlahan-lahan menuju kepada wanita itu kemudian berhenti tepat di depannya. Ia berlutut dan seolah mencopa menangkap pandang mata wanita itu tapi ia menunduk terlalu dalam. Pria itu menyentuh dagu wanita itu dengan tangan dan mengangkatnya sedikit, cukup untuk saling pandang mata. Pria itu beringsut berdiri dengan lambat, sedang tangannya tetap menyentuh dagu. Wanita itu pun perlahan menengadah. Pandangan mereka tak lepas selama beberapa saat. Selanjutnya wanita itu mengangkat tangan kanan yang disambut oleh pria itu. Wanita itu perlahan bangkit dari duduknya. Sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan, mata mereka berpautan dan sejenak mereka diam dengan tangan yang saling berpegangan setinggi perut. Lelaki itu menarik tangan wanita itu dan di ciumnya lembut. Wanita itu tersenyum dan mendekatkan tubuhnya kepada pria itu kemudian ia meletakkan kepalanya di dada pria itu. Wajahnya menghadap ke depan. Matanya terbuka dan bersinar damai. Mereka mulai bergerak perlahan, sebuah dansa yang lembut. Di bagian belakang, dari kedua sisi panggung masuk dua orang pria yang kemudian mengundang pasangannya untuk masuk. Kedua pasangan ini kemudian bergerak berdansa bersama-sama dengan pria dan wanita tadi. Sejenak kemudian lampu memudar.
*
Tiga
Ditengah pangung seorang pria berdiri diam disorot tajam lampu. Pandangannya lurus kedepan. Bibirnya terkatup rapat, dahinya agak berkerut. Wajahnya gelisah dan kecewa. Tangan kanannya berjuntai lemas, memegang sebuah top, sedang tangan kirinya menggantung pada bahu kanannya. Ia mengenakkan jaket hitam panjang yang basah menetes-netes. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya pun basah dan menetesi wajahnya. Dari kedua sisi panggung, sosok-sosok dengan payung yang membuka dan berbaju hitam lalu lalang dengan lambat dari kanan kekiri dan sebaliknya. Beberapa kali mereka lewat sangat dekat dihadapnnya, namun seolah tak ada orang yang berdiri, mereka tak memandangi pria itu. Beberapa kali pula ia mencoba menatap wajah sosok-sosok tadi, namun mereka lewat dengan menundukan kepala. Beberapa kali ia membuka mulut seolah hendak mengatakan sesuatu, namun suaranya tercekat di tenggorakannya. Beberapa saat kemudian ia seperti putus asa dan menundukkan kepala. Dia mengenakkan topinya. Pria itu mulai melangkah perlahan menuju ke samping kiri panggung dan keluar. Sosok-sosok berpayung tetap berselewiran. Selang beberapa saat, seorang wanita masuk dari sisi yang berbeda. Pakaiannya gaun hitam yang basah pula. Rambutnya kusut basah. Ia menengok ke kanan dan kiri. Tangannya di depan dada. Ia mencari-cari seseorang. Ia mulai bergerak mendekati sosok-sosok tadi secara acak seakan hendak bertanya sesuatu, namun mereka tetap berjalan. Ia bergerak adari satu sosok ke sosok lain dengan gelisah, dengan putus asa. Akhirnya ia berhenti di bawah sorotan lampu tengah panggung dan jatuh tersimpuh dengan wajah menunduk. Lampu memudar perlahan.
*
Empat
Panggung berangsur terang. Pada bagian belakang panggung empat sosok berpasang-pasangan dengan baju hitam. Mereka seolah berada dalam dunia sendiri-sendiri. Mereka tak bergerak dan tanpa suara, hanya mimik dan gestur, yang menggambarkan pertengkaran dan amarah. Kemudian masuk sesosok dengan rias dan cat hitam dan putih yang membelah tubuhnya secara vertikal ke panggung bagian depan. Dia memerankan sebuah pertengkaran antara dua orang dengan berganti-ganti karakter. Pada saat dia berada dalam satu karakter dia akan menghadap pada sisi yang satu, dan ketika berpindah karakter ia akan menghadap pada sisi yang lainnya. Pertengkaran ini semakin lama semakin memuncak dan memuncak menjadi lebih beremosi dan cepat berganti-ganti karakter. Akhirnya, ia histeris, menjambak rambut dan berlarian kesana-kemari lalu membanting-banting tubuh dan terkapar dengan terengah-engah. Lampu memudar.
*
Lima
Lampu menyala. Dari sisi-sisi panggung masuk sosok-sosok berpakaian hitam mereka bergerak lambat sambil melihat-lihat sekeliling dengan pandangan kekiri-kanan seolah sedang melihat-lihat sesuatu. Mereka bergerak kekiri-kekanan, zig-zag tak beraturan. Yang masuk dari sisi kiri akan kemudian keluar dari sisi kanan, begitu sebaliknya, begitu terus-menerus. Setelah beberapa saat, dari kiri masuk seorang pria berbaju putih lusuh. Kemejanya setengah terbuka, setengah dimasukkan kedalan celana, setengah keluar. Tampangnya lusuh pula dan menundukkan kepala. Tangannya menggantung lemah. Ia berjalan lambat-lambat disela-sela sosok-sosok tadi, tanpa memperhatikan arah berjalannya. ia seolah hanyut dalam aliran gerak sosok-sosok itu. Ia kemudian tertatih-tatih menuju sisi kanan dan keluar. Kemudian dari sisi kanan seorang wanita berganti masuk. Ia tampak lusuh pula. Rambutnya terburai tak teratur menutupi wajahnya. Gaun yang di kenakannya pun kusut dan kotor. Jalannya lambat dan tak bertenaga, juga hanyut di tengah gerak sosok-sosok itu. Akhirnya ia keluar ke sisi kiri panggung. Selang beberapa saat, mereka masuk bersamaan dari sisi-sisi yang berbeda. Mereka bergerak perlahan dengan emosi dan gestur yang sama dengan pada saat masuk pertama. Tepat ditengah panggung mereka berpapasan, tetapi tak saling memperhatikan dan terus bergerak menuju sisi sebelah dan kembali keluar. Kemudian mereka kembali masuk dengan gaya yang sama, kali ini di tengah panggung mereka bertemu dan berhenti bersamaan. Ada jarak sekitar semeter diantara mereka. Kepala mereka masih tertunduk. Seolah sedang memandang dari ujung kaki menuju ujung kepala orang dihadapannya, perlahan-lahan kepala mereka diangkat. Mereka berhadap-hadapan, berpandang-pandangan. Sorok mata keduanya dingin, tanpa emosi. Ekspresi wajahnya pun dingin. Kemudian kening mereka mulai berkerut. Air muka mereka mulai menampakkan entah kekecewaan entah amarah. Mereka saling tatap mata beberapa saat. Akhirnya mereka kembali menunduk perlahan, dan mulai bergerak tertatih menuju sisi panggung yang berlawanan dan keluar.
*
Enam
Lampu perlahan menyala. Ditengah panggung seorang pria duduk sendirian di sebuah kursi kayu yang dibalikkan, depan menghadap belakang. Wajahnya lusuh, lelah dan kecewa, kancing-kancing bajunya terbuka. Sesekali ia menengadah dan mengusap wajahnya dengan kedua belah tangannya. Matanya kadang melotot, kadang tertutup rapat. Sering kali desahan napasnya naik turun. Dibagian belakang panggung masuk sepasang pria-wanita yang sedang kemudian becengkrama, tangan mereka saling menggenggam. Mereka tersenyum satu sama lain dan saling pandang dengan cinta. Dari jauh mereka telah saling tatap dengan mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan mereka ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian berpelukan dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba keduanya saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya saling pandang dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan kepala dan mulai melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Pria di kursi tadi menunduk dalam. Tiba-tiba, seolah teringat sesuatu, ia mengangkat muka ke depan. Pandangannya tajam, keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Kemudian tangan kirinya bergerak perlahan, namun kaku, menuju ke pinggang belakangnya. Dari sana tangannya mengeluarkan sebuah benda, sepucuk pistol. Ia menatap pistol itu lekat-lekat, wajahnya tegang, matanya membelalak, alisnya berkerut, bibirnya gemetar, tangannya gemetar. Pistol itu ditaruhnya di atas kedua telapak tangannya. Beberapa saat, ia tampak ragu, matanya mengerling ke kanan-kiri. Kemudian, dengan gerakan seketika tangan kanannya menggenggam pistol itu dan langsung menempelkannya di dahi kanannya. Pandangannya lurus kedepan, matanya membelalak tajam, bibirnya mengatup rapat, seluruh tubuhnya bagai kejang, napasnya memburu. Tiba-tiba, ia berteriak histeris dengan suaranya yang terkuat. Lampu mendadak padam.
*
Tujuh
Lampu menyala. Di tengah panggung seorang wanita bergaun hitam berdiri dengan wajah tertunduk dalam, rambutnya terurai menutupi wajahnya. Tangannya menutupi wajahnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, tangannya dibiarkan jatuh menggelantung. Wajahnya sedih, matanya berkaca-kaca, pipinya basah oleh air mata. Di sampingnya ada sebuah meja dengan vas bunga berisikan bunga layu. Wanita itu mulai bergerak kedepan, mendekati sisi depan panggung, dengan pandang kedepan seraya terisak perlahan. Makin lama isaknya lebih keras dan semakin menjadi-jadi. Tubuhnya lemah, pijakan kakinya goyah. Tangisnya meledak, tubuhnya berguncang, nafasnya tak beraturan. Ia jatuh berlutut, mukanya tertelungkup mencium lantai. Sekali lagi di bagian belakang panggung masuk seorang pria dan seorang wanita. Dari jauh mereka telah saling tatap dengan mesra. Mereka bertemu tepat ditengah-tengah. Kedua telapak tangan mereka ditempelkan, mata mereka lekat satu-sama lain. Mereka kemudian berpelukan dengan mesra dan mulai bergerak berdansa dengan lembut. Tiba-tiba keduanya saling melepaskan diri, mengambil selangkah kebelakang. Keduanya saling pandang dengan tatapan heran, kemudian kecewa. Keduanya menundukkan kepala dan mulai melangkah keluar menuju sisi yang berbeda. Wanita yang sedang menangis tadi tiba-tiba mengangkat kepala dengan sebuah tarikan napas yang menggema di tenggorokannya. Pandangannya lurus kedepan dengan tatapan kosong. Ia mulai berjalan perlahan ke arah meja. Gerak tubuhnya kaku. Di belakang meja ia berhenti dan kembali memandang ke depan dengan pandangan kosong. Tangan kanannya meraih sesuatu dari atas meja, sebuah belati yang berkilat-kilat. Diangkatnya belati itu dan dipandanginya beberapa saat. Wajahnya tak berubah, malah semakin dingin. Ia kembali mengarahkan mata kedepan. Sejenak ia tersenyum, senyum indah, senyum penuh damai. Sorot matanya melembut. Tiba-tiba ia memegang belati itu dengan kedua belah tangannya dan mengarahkannya ke dadanya. Matanya menutup. Ia berteriak nyaring. Lampu mendadak padam.
*
Delapan
Lampu panggung berangsur menyala. Ditengah panggung tertancap dua buah salib kecil dari kayu berwarna putih, tanda kuburan. Keduanya menghadap ke depan dan diletakkan sejajar bersandingan, berdekatan. Dari sisi-sisi panggung masuk sosok-sosok berbaju hitam satu persatu bergerak mendekati kuburan. Mereka mengelilingi kedua kubur dengan menundukkan kepala. Tangan mereka terlipat di depan. Mereka berdiri mematung tanpa suara. Kemudian, dari depan, dari arah belakang penonton, masuk sepasang pria-wanita berjalan bersama bersisian. Tangan mereka bergandengan, mereka saling berpandangan dengan tatapan yang mesra. Pakaian mereka indah dan putih. Mereka terus berjalan bergandeng tangan menuju panggung. Mereka kemudian naik bersama-sama ke atas panggung. Di panggung bagian depan mereka berdiri berhadapan, saling bertatapan mesra, saling menggenggam tangan. Mereka kemudian saling mendekap erat, seolah tak pernah bersua lama. Mereka kembali berpandangan. Pria itu menatap wanita di depannya dan tersenyum seraya menganggukkan kepalanya, seolah minta persetujuan, dan dibalas oleh anggukan serupa dari wanita itu. Dari kantongnya pria itu mengeluarkan sebuah gumpalan kertas. Ia kemudian menguraikan kertas itu sehingga menjadi selembar kertas dan mulai metapnya. Pria itu kemudian memberikan kertas itu kepada wanita di depannya dan wanita itu menatap kertas itu juga. Keduanya kemudian tersenyum. Kertas itu kemudian digumpalkan kembali oleh pria itu ia meletakkan itu dengan perlahan di lantai. Keduanya kembali berpegangan tangan. Mereka berdua kemudian melangkah menuju sisi kanan untuk keluar panggung. Sosok-sosok hitam yang sedari tadi mematung mulai bergerak pula. Mereka mulai bergerak menuju sisi sisi panggung yang berbeda untuk kemudian keluar. Panggung sepi. Sesaat kemudian, dari sisi kiri panggung, masuk seorang pria dengan langkah lambat. Ia berjalan menuju ke kedua kubur itu. Di samping kuburan ia berhenti dan berdiri. Ia menatap kuburan itu dalam-dalam. Ia menarik nafas panjang dan tertunduk. Tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya menuju ke gumpalan kertas tadi. Perlahan ia mulai berjalan menuju kertas itu dan memungutnya. Sejenak ia mengamat-amati gumpalan itu sebelum menguraikannya. Setelah kertasi itu telah membuka, ia menatapnya sejenak dan kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah depan, pandangan itu tajam dan seolah hendak memandangi setiap mata di hadapannya. Wajahnya tegang, bibirnya mengatup, matanya memicing. Sejenak lagi ia menatap kertas di tangannya. Kemudian ia kembali menatap tajam ke depan. Bibirnya bergetar dan berpuisi:
Jangan cucurkan airmatamu kelak
Kala ragaku tak lagi hangat dengan candatawa
Kala ranum senyumku tak lagi bergema di rongga hati
Kala belai nafasku tak lagi menyapa hari sepi
Jangan cucurkan airmatamu kelak
Kala citaku tlah lalu dihembus angin waktu
Kala buah penaku tinggal nyala kusam di ingatan
Kala kisah hidupku hanya dengung di malam buta
Kala cintaku terkubur beku dalam jasad kaku pilu
Karena tak bisa lagi kudongengkan
Kisah cinta dan kehidupan ke telingamu
Tak mampu lagi kutatap kagum
Sempurna karya indah dirimu
Tak mungkin lagi kurengkuh takjub
Lembut tubuh harummu
Tak sanggup lagi kunyatakan
Deru cinta didasar hati untukmu
Tangisi aku sekarang!
Saat hatiku haru biru karena cinta lekang dariku
Saat mentari harap pupus hampa dari anganku
Saat jari-jari sunyi mencekik kaku nafas jiwaku
Saat hitam kelam pandang mata khayalku
Menangislah bersamaku!
Balut lebam luka jiwaku dengan tangismu
Banjiri kosong lompong hati keringku dengan airmatamu
Puaskan dahaga rasa tubuhku dengan isakmu
Suburkan gersang taman cintaku dengan ratapmu
Karena airmata suci
Adalah bukti bijak dan tulus hati
Bukan sesal dan gundah dihari nanti
Jika jatuh menggerimis kala raga masih bersekutu nafas
Bukan saat nyawa tlah diregang pergi
Setelah membaca pandangannya melunak, wajahnya berubah sedih, pandangannya menerawang kedepan. Ia kemudian menundukkan kepala. Kertas tadi kembali diremasnya. Perlahan ia memasukkan gumpalan kertas itu ke kantong celananya dan mulai melangkah lambat ke sisi kiri panggung dan keluar. Lampu memudar.
SELESAI
Kitab =Uang
Sebuah Dialogia
Panggung lengang dan kelam. Lampu-lampu mati. Dari sisi kiri-kanan panggung masuk dua sosok yang menggenggam senter yang menyorot-nyorot kearah tubuh satu-sama lain. Mereka berjalan lambat-lambat sambil membungkuk dan berlaku seolah-oleh sedang mencari sesuatu di tubuh lawan mainnya. Dalam pencariannya, mereka menemukan beberapa kembang api dan menyalakannya. Mimik mereka takjub ketika sedang memandang nyala kembang api itu.Tetapi, kebang api itu cepat habis. Keduanya kemudian mengambil posisi di kiri-kanan depan panggung dengan jarak yang cukup jauh. Senter dimatikan dan dilepaskan. Setelah mencapai posisi, lampu sorot depan bawah dinyalakan dan tepat menerangi tubuh keduanya. Sorot lampu membiaskan bayangan yang cukup kentara di dinding belakang panggung. Lampu memperjelas apa yang digenggam oleh masing-masing mereka: seorang dengan sebuah kitab yang diangkat tinggi-tinggi, dan yang satunya membentangkan selembar uang kertas. Lampu pula memperjelas pakaian mereka: keduanya bertelanjang dada dengan kulit yang mengkilap berminyak hingga muka. Yang ber-kitab menggantungkan sebuah pita yang agak lebar di lehernya, sedang yang ber-uang dengan dasi. Dalam cahaya, keduanya dalam pijakan statis mulai bergerak seolah menari dengan gerakan sekali gerak dengan mimik dan emosi yang berbeda: yang memegang kitab dengan keangkuhan, sedang yang membentang uang dengan keserakahan. Pandangan mereka tajam, tetapi seolah larut dalam dunia masing-masing. Tiba-tiba yang ber-kitab memecah kesunyian dengan sebuah teriakan dengan nada yang mantap dan berwibawa:
“Kitab!” (sambil mengangkat tinggi-tinggi kitabnya)
Seolah tak mau kalah, yang ber-uang juga berteriak dengan nada yang sangat serakah:
“Uang!” (sambil memelototi uangnya)
Kejadian ini berulang tiga kali berbalas-balasan dengan vokal yang lebih meninggi dan beremosi. Akhirnya yang berkitab membuka kitabnya dan seolah sedang berkotbah ia berseru dengan suara lantang dan tatapan jauh ke depan sambil menunjuk langit:
“Kitab adalah keselamatan!”
Yang ber-uang menimpal dengan berseru sambil mengibas-ngibaskan uang ke mukanya dan telunjuk yang menuding ke depan:
“Uang adalah kekuasaan!”
Kejadian ini berulang sampai tiga kali dalam emosi yang semakin memuncak dan tempo yang lebih mencepat. Kemudian secara bersama- mereka berseru masing-masing:
“Kitab adalah keselamatan, keselamatan adalah kitab!”
“Uang adalah kekuasaan, kekuasaan adalah uang!”
Kejadian ini berulang tiga kali. Di akhir seruan terakhir, mereka masing-masing seolah baru tersadar tersadar bahwa ada sosok lain di tempat itu. Dari jauh mereka berpandang-pandangan dengan mimik curiga. Mereka mulai meliuk-liuk dengan gerakan-gerakan yang menyiratkan rasa menang sendiri. Masih sementara menari, mereka mulai berbantahan satu dengan yang lain:
“Kitab!”
“Uang!”
“Kitab!”
“Uang!”
“Kitab!”
“Uang!”
“Kitab!”
“Uang!”
“Kitab!” “Uang!” “Kitab!” “Uang!” “Kitab!” “Uang!”
Perbantahan mereka memuncak dan memuncak menjadi luapan emosi yang meledak-ledak penuh kebencian. Tubuh-tubuh mereka gemetar dan bergocang-goncang seiring emosi. Suara mereka neninggi, melengking, memarau, kemudian histeris. Kitab dan uang yang mereka pegang terjatuh. Seolah kerasukan, kedua tangan mereka merentang seperti sedang disalib. Tiba-tiba mata mereka meninggi, bola mata mereka berputar-putar, dari tenggorokan mereka keluar suara tercekik. Mereka mulai menjambak rambut sendiri, memukuli muka sendiri dan jatuh berlutut sambil mencekik leher sendiri. Akhirnya mereka jatuh rebah, membanting-banting diri dengan berkelojotan seperti ayam disembelih kemudian diam seribu bahasa. Lampu padam.
0 komentar:
Posting Komentar