Seperti Kisah Antah-Berantah
Perempuan itu berkata kepada lelaki
Yang telah berbagi ranjang dengannya:
Lelah dan amarah membuatku menyerah!
Lantas, seperti kisah-kisah antah berantah
Matahari dan bulan dilupakan
Langkah yang beriringan jadi sekam
Janji dan airmata tenggelam.
Dan, lelaki itu menjawab perempuan
Yang telah berbagi napas dengannya:
Apa itu lelah?
Apa itu amarah?
Apa itu menyerah?
Tetapi, perempuan itu tak berpaling lagi.
Pergi ke arah matahari.
Lalu, seperti kisah-kisah antah berantah
Lelaki itu mencabut belati
Membelah dadanya
Mencongkel hatinya.
Tak ada luka dan genangan darah,
Tak ada.
Tak ada tangis dan sedu-sedan,
Tak ada.
Tak ada khotbah dan lagu duka,
Tak ada
Dengarkan aku:
Tak ada lagi yang tersisa
Yang ada hanya sebuah tanda baca:
?
Saat Kembali Pulang
Jikalau mentari beranjak tua
Dan hari menampar dengan duka,
Maka biarkanlah ia membenam pergi
Jikalau menetes sudah airmata
Dan berkumpul sanak keluarga,
Maka mulyakanlah ia sang Maha Tinggi.
Sebab kita tak lebih dari pasir
Dalam gemuruh ombak kehidupan
Yang sesekali terangkat kepermukaan,
Sesekali terhempas ketepian,
Sesekali lagi hilang ditelan kegelapan malam
Sebab kita tak lebih dari darah dan daging
Yang hidup atas belas-kasihnya,
Karena tak ada yang lebih berbahagia
Dari mereka yang dipanggil
Pulang kepangkuan Pencipta Damai
Dengarkanlah:
Adakah keindahan yg lebih mulia dari kehidupan?
Adakah kebahagiaan yg lebih hakiki dari kedamaian?
Adakah kedamaian yg lebih abadi dari kematian?
Untuk Maut:
Ode Pertama
Suatu ketika aku belajar banyak tentang kehidupan:
Subuh ketika terjaga
Dan kau tak ada
Aku belajar bahwa kehidupan
Telah sirna saat itu juga!
Untuk Maut:
Ode Kedua
Kau tau
Ada saat di mana manusia mesti mati
Kita semua bersua pasti!
Tetapi betapa bangsatnya hari
Jika harus meregang pergi
Tanpa cinta hakiki!
Untuk Maut:
Ode Ketiga
Hari ini ku dekati mati
Sekali lagi
Lebih dekat lagi
Kami saling mencium pipi
Dan sisa waktu adalah keabadian
Kisah Ini Kita
Ada sebuah kisah
Yang tak pernah kuceritakan padamu
Kali ini bukan tentang merpati
Yang tak lagi di sisi
Juga malaikat yang telah terbang pergi
Atau mengenai layar-layar
Yang terlipat di dermaga
Pula deru resah kekabutan
Di puncak Masarang
Kau pasti belum pernah mendengarnya
Kisah ini tentang kita: kau dan aku
Yang masih satu
Ketika bersama di sebuah bilik kayu
Tetapi bukan tentang ketika kau
Pulang larut malam
Juga hari yang memisahkan kita
Tanpa kata
Atau mengenai airmata,
Tahun-tahun maya anak kita
Kau pasti rindu menyapanya
Dengarkan, kekasihku,
Karena ini akan jadi kisah yang terindah
Yang akan menjadi dongeng
Pengantar tidur cucu-cucu kita
Di alam sana: di niwana, tempat Empung bertahta
Ini akan menjadi kisah termulia
Yang jadi penghibur duka
Bahkan untuk dotu-dotu digjaya
Ataupun para penyair dan pendoa
Kisah ini tentang kita, kau dan aku ada di dalamnya
Kau ingat?
Ketika malam-malam di tenggorokan
Dan kau sendiri di peraduan
Hanya ada bunyi nadi dan nafas
Yang menari lembut di wajahmu
Kau: letih dan penat lagi di usir pergi,
Tidurlah dalam damai mimpi
Kau seorang pemberani,
Berjuang sampai hampir garis mati
Hampir empat tahun berperang
Melawan ragu lagi haru
Kau maju!
Langitpun seharusnya tunduk dan malu
Hanya lengan sang waktu
Yang kadangkala membuatmu sayu
Jadi tidurlah,
Wahai dewi kekasih hati,
Istirahatlah, toh aku disini
Inilah kisah itu:
Lalu aku duduk di sampingmu,
Mengecup lembut keningmu
Kan kutatap kelopak matamu yang kuncup
Kusentuh ujung jarimu yang diam
Tubuh yang temaram
Airmata menetes diam-diam di pipiku
Lalu ada sepotong doa
Yang tak lelah kuucapkan
Tuhan!
Kaulah pemilik siang dan malam
Maka berikanlah dia kereta kencana
Untuk mengarungi sorga
Juga seorang pangeran berhati mulia
Dari puncak-puncak dunia
Biarkan ia terbang, melayang pergi dari balutan sengsara!
Telah terlalu lama ia menderita
Dan aku…
Aku tak pernah layak berada di sampingnya
Aku debu, aku sampah pilu di tepian bulevard waktu
Lantas aku,
Adalah sebuah kisah yang gugur layu.
Penuhi Lumbung-Lumbungmu!
Apa yang terjadi
Ketika pohon-pohon cinta
Ditebang paksa?
Tujuh tahun kelaparan melanda!
Penantian Akan Ku
Aku memilih menunggu
Dan terus menunggu
Dari mula hari
Sampai waktu berganti
Tetapi kau tak pernah tiba
Dangan peluk yang membuka
Jadi aku memilih berselingkuh
Dengan kekosongan ruang
Merengkuh dan bercinta
Dengan kasur busa yang diam
Lantas
Apa yang kau cari?
Apa yang kau tunggu?
Aku bertanya pada
Ku
Bukan
Mu
Mengapa Mesti Kau Pendam Mata Indah Itu?
Kau Tersenyum Tadi
Di depanku sejenak saja
Lalu waktu terhenti sunyi
Bagai tertelan angin beku
Es menggurat sampai telinga
Bahkan denyut nafas di dada
Pun jatuh tunduk pada masa
Kau tersenyum tadi
Kini itu abadi di hati
Padahal seharusnya itu malu
Sekali lagi dijerat duri rindu
Tapi lari tak punya kuasa
Lebih baik diam lalu nikmati
Sambil berdoa waktu lama berlalu
Kau tersenyum tadi
Sekejap namun sarat arti
Walau tak segenap aku mengerti
Itu bukan untukku aku tau
Tetapi tolong jawab tanya ini:
Mengapa mesti kau pendam mata indah itu
Di balik gerai lembaran rambutmu
Ketika ku kejar cahayanya?
Aku perlu jawabannya
Karena kini sesuatu lahir di sini
Di sudut-sudut mimpi
Di penjuru-penjuru hati
Mata indahmu tlah jadi mentari
Yang terbit menghangati jiwa
Yang meleleh beku pada rasa
Dan...
Aku ingin ia di sini selamanya
Kini…
Kilau itu masih ada di tempatnya bertahta
Indah lagi menggugah
Sayang seribu sayang
Aku hanya mampu memandang dari kejauhan
Sebuah Perjalanan Mengukur Jarak
Seribu langkah kaki menggulung
Antara Sonder- Tomohon- Senduk
Lalu hari ini kusangkal diri
Persetankan letih lagi malu
Mata ini harus menyapa mentarimu
Dan bertamu dalam rentang senyum itu
Seribu sembilu mengiris meraung
Remang cahya tak mampu sembunyi
Badai yang mengamuk di lembah jiwa:
Tak lagi satu kau menyongsong rasa
Dan dalam senandung mendera menung
Aku berdoa waktu mengilat pergi
Seribu dentum lantas mengurung
Padahal waktu nyaris tengah malam
Dan disana: di kerumunan tawa
Kau melakoni seribu gaya
Yang tak mampu kuduga maknanya
Lalu aku terhenyak lantas tersipu
Terlalu jauh jarak bumi dari matahari
...Mungkin saatnya aku pergi
Cuma Cinta Yang Bisa
Untuk Jenry:
Cuma cinta yang bisa
Kau tertawa
Kau menagis
Hari masih sama
Cuma cinta yang bisa!
Sajak buat Malaikat
yang Pulang ke Sorga
If you leaving
Close the door
I’m not expecting
Poeple anymore
Lirik ini aku
Dulu mengaku membatu
Lantas menyerah pada sayapmu
Ada kau-
Dan cinta- bukan dusta
Toh kita manusia
Merasa dan berkehendak
Tak rela menuai jarak
Tetapi jangan sepelekan cuaca
Datang pergi tak pasti
Jangan pula naifkan sorga
Setapak-setapak pilihannya
Karena kita di bumi
Sekali waktu ditafsir
Lalu nanti dicibir
Dan lihat:
Rusuk-rusukku patah sudah
Lelah tapi bukan amarah
Jadi coba buka tingkap mata
Jangan buta oleh asmara
Aku telah mengerti kini
Jika kau tak kembali
Tutup saja pintu:
Aku tak lagi menunggu
Pena Tak Boleh Buta
Aku bukan pemuja kata
Sebab tak punya nyawa ia
Tanpa tarian bermakna
Sebentuk pena
Pun aku tak percaya cinta
Yang lahir tiba-tiba
Tanpa kenal apa dan siapa
Mulut-mulut yang mengeja
Jadi jikapun cinta tlah mengata
Dalam kalimat menyala-nyala
Ketika malam-malam buta
Itu hampa
Tanpa kita sadar menerima
Tawa dan tangis bersama
Alur hidup gila maya
Yang pernah datang menyapa
Sepotong Jazz Untuk Hari Kelabu
Lelaki itu cuma terpaku
Memandangi kereta berkilau itu
Membawa pergi malaikatnya
Jauh ke angkasa raya
Aku Tak Punya Apa-Apa
Selain Kata-Kata
Jika ada yang bertanya
Tentang makna cinta
Saat ini aku tak lagi punya jawabnya
Karena bagaimana mungkin mengukur
Sesuatu yang tak lagi terasa
Bagaimana mungkin menaksir bentuk
Yang kini tak kasat mata
Bagaimana lagi menilai harga benda
Yang sudah tanpa makna
Tidak...
Aku memang bukan Sang Suci
Cuma lahir dan nanti mati
Sering rindu udara pagi
Menangis dalam hati
Ketika anjing kesayangan sakit lantas pergi
Bahkan memendam rindu
Buat kekasih yang tlah lama lari
Tahun-tahunku sarat bayangan
Kau tak tau pahit yang kurasakan
Melarung anak sulung korban perbedaan
Lalu apa arti kehidupan?
Hilang sudah dari ingatan
Tetapi mari duduk di sisiku
Atau jika kau malu
Biar aku yang menghampirimu
Kita bisa membunuhi waktu
Dan mungkin dapat kuajarkan
Bagaimana menelan masalalu
Atau membuat cake coklat-
Kalau kau mau
...lalu menghitungi jutaan kembang rasa
Di padang nirwana
Enigma
Aku kehilanganmu
Di riuh koridor Mega Mal
Di dentam spiker Ha Ha
Di gemeretak bola Hi Q
Aku kehilanganmu
Di rumit rak Hypermart
Di bentang sandang Remo
Di decap rasa Qua-Li
Padahal aku pernah pegangi erat tanganmu
Ketika kau pertama kali melancong ke mari
Menelusuri lorong-lorong kota Touwulut ini
Saat itu kau takut-takut melangkah kaki
Padahal aku selalu lindungi tubuh rapuhmu
Menyimpan mata dari dunia:
Kau masih beselimutkan kabut!
Padahal rasa-rasanya baru kemarin ini kita lalui
Sepiring sunset dan pisang goreng di tepian bulevard
Debu jalan dan panas siang menampar sadar
Trotoar dan ban mobil tak bisa senafas dengan raga
Sementara seharusnya aku memelukmu dengan mantra
Tawaran si’ Wuri Muda:
Kau selamanya bertiraikan halimun!
Aku telah kehilangan mu...
Tapi dimana?
: Di dunia yang tidak mengalir dalam darah kita
(Tanpa Judul)
Kau
Hanya kau-
Tanpa apa-apa
Lalu aku kehilangan kata-kata!
Saksikan:
Sebuah Kematian
Kau saksi saat kolam-kolam tumpah basah
Meluapi liuk-liuk wajah
Sekali juga tak cukup
Itu bukan karena akan pergi kau
Atau kehilangan dermaga sang kapal
Lagi malam yang menggigit tulang
Juga musik yang yatim dari nyanyian
Tidak
Kolam-kolam itu meluap
Kau saksinya berlaksa kali
Sebab hilang semua keindahan
Dari kembang yang mekar lantas layu
Lagi matahari menua dari timur menuju barat
Atau senyum membusur kemudian lenyap
Juga hidup berawal tangis lantas hembusan
Kau saksinya
Selalu berkali-kali
Saat kolam-kolam berkeluh kesah
Dan tingkap rata membelah
Aku tanpa kau
Adalah awal ruh tanpa arah
Bumi, Bulan, Bintang dan Matahari:
Sorga dan Neraka Dalam Ku
Aku menanti
Bulan
Bintang
Matahari
Meleleh lantas menetes di kepalan
Bumi?
Bumi telah mati
Semuanya dibantai sepi
Sorga?
Sorga hangus dibakar neraka
Hanya ada aku
Di atas kadera waktu yang rapuh
Ranggas
Pasak-pasaknya pun getas
Lantas patah sudah
Retak merekah
Lahir adalah mati!
Derita sang abadi!
Jika kau tanya kemana para malaikat
Kujawab:
Gugur sayap!
Dan Tuhan?
...
Sunyi senyap
Musim
Ada sebelas musim di tanah utara
Satu musim untuk bercinta
Oh!
Alangkah indah dunia
Jika kita bakudapa di musim yang sama!
Tetapi
Berdua kita berbeda dunia
Berbahasa sama tapi berkamus beda
Dan ritme hidup ini tak jua bersua
Jadi izinkan aku merangkai tanya:
Jika aku duluan mati
Ke musim apa kelak kau kan pergi?
Daun di Seine
Di tepian Seine aku:
Ada sebuah daun gugur
Indah keemasan
Di ombang-ambing jilatan air
Hilang di kelokan
Itu aku
Lalu Seine ternyata tak lebih dari Babylon
Belantara
Dalam belantara ini
Seharusnya kita belajar memetik bunga
Dan menyelipkannya
di telinga anak-anak singa
Panjatlah pohon tertinggi yang kau temui
Lalu pandangi kemilau laut di kejauhan
Sementara aku kan berdendang
Lari mengelilingi batangnya
Kemudian meompat
Berhenti kala letih
Akan kupetik buah terlezat
Makan sampai tak sanggup lagi
Kemudian tidur dengan perut kenyang-
Kau boleh menggangguku
Gelitiki telingaku
Kita boleh bercanda-tawa
Lupakan duka-kala
Lalu jika malam bersua
Kan ku selimuti kau dengan cinta
Sampai matahari kembali lahirkan jiwa
Tak kan menyerah kita
Walau maut datang menjemput raga
Dalam belantara ini
Seharusnya kita tak saling membunuh dengan kata
Apalagi berdusta kepada rasa
Nadir
Goresan-goresan pena hatiku kini
Lelah
Lemah
Kaku
Tak lagi miliki gairah
Masa telah berlari meninggalkanku jauh
Emas
Perak
Permata
Tak lagi punya harga
Titik-titik darah yang bermakna
Seribu satu kembang basi
Pendar sejuta pelangi mati
Apakah makna penciptaan?
Sebuah religi usang
Lantas untuk apa amarah bergumam?
Sebagai pertanda siang
Aku terbang
Melayang
Bintang
Kembali ke ujudku bermilenia lalu
Debu surya!
Debu surga!
Mengapung di antariksa
Melewati kitaran sang waktu
Satu
Satu
Kembali ke hadirat Mu!
Life is a journey
Not a destination
Itu Hayalan Terindah
Yang Pernah Kudengar
Telah hampir empat kali
Bumi kitari matahari
Kita bersama melangkahi hari
Makan dari tangan Tuhan
Pasiar ke ujung-ujung malam
Rumah kita indah:
Di kekabutan bukit yang permai
Damai
Masihkah kau ingat masa itu?
Berikan semua dan segalanya
Mencoba apa yang bisa
Pernah sekali waktu kita menang berperang
Melawan sekawanan gagak dari selatan
Kau terluka
Aku juga
Tetapi kita punya hangatnya sinar pagi
Untuk bunuhi sunyi sepi
Lantas kembali terbang tinggi di atas awan
Bercengkrama dalam di atas bentang permadani bintang
Kemudian:
Kau pernah berkhayal
Tentang perjalanan ke nirwana
Kembali ke asal kita
Kembali ke pangkuan semesta
Kemudian bersama-sama minta padaNya
Agar dilahirkan pada tanggal yang sama
Pada hari yang sama
Pada sorga yang sama
Pada mimpi yang sama
Kau tau?
Itu hayalan terindah yang pernah kudengar
Lebih indah dari sorga
Aku jadi tak takut pada neraka
Oh!
Betapa bahagia!
Toh,
Ada tetesan-tetesan kata yang masih tersisa
Dari gurat-gurat cerita tentang kala
Tetapi bibir ini telah lumpuh
Kehilangan tenaga untuk membuka
Seharusnya kini hati yang bicara
Seharusnya sekarang mata yang bercerita
Tetapi kau lantas pergi:
Dan kunci kau bawa
Obituari Dinding-Dinding Putih
Di kamarku ada dinding-dinding berlabur sunyi
Mengurung empat penjuru mata angin sepi
Menjepit ruang tanpa detak jantung
Tanpa kedip mata
Tanpa getar jiwa
Di sana
Di sisi putih utara
Ada retak yang membelah antara siang dan malam
Antara kembang ungu dan senyuman
Antara buai mimpi dan kenyataan
Yang membuatku teringat padamu
Dan retak-retak di rembulan yang tenggelam
Dengar
Waktu tak lagi banyak
Aku harus berlalu perlahan
Tapi aku punya pertanyaan:
Akankah matamu pernah menyapaku
Berikan aku sesuap madu
Sebelum aku terkubur dalan letih
Ataukah hanya akan tinggal retak-retak
Di dinding putih?
Kala Kata-Kata Jadi Pembawa Sengsara
Seorang teman menggilai dosa
Memilih tidur dengan Luna
Lalu segalanya jadi sia-sia
Tak ada desah bunga
Tak ada lagu luka
Cabang-cabang sunyi sepi
Pula riuh-rendah cemara
Rumput-rumput menggemeretas lesu
Tak ada janji
Laut mati
Lantas apa yang mesti dipuisi?
Tinggalah monumen semen dan merah bata
Menjulang pandang
Menantang awang-awang
Cintapun hambar
Sehambar anggur dalam cawan
Lalu untuk apa menjadi nabi
Jika hanya mengambang bagai ikan mati
Dalam wadah air benci?
Malam ini,
Dua Puluh Delapan Sudah
Malam ini gelap bintang
Kafan-kafan menjadi kelambu
Dan nisan membantal sunyi
Malam ini angin kelam
Kamar seolah keranda
Dan makam mengalas hati
Malam ini iman hilang
Dingin menabur karangan bunga
Dan wangi kemboja tak jua pergi
Malam ini matahari tenggelam dua puluh dua kali
Purnama lewat sembilan tambah satu
Dan kalender dua puluh delapan tertikam mati
Berapa lama lagi?
Berapa jauh lagi?
Sembilan Haiku
Tanpa Judul
1
Abu naik terbang
Yang mengambang dalam angin
Di tengah hari kampung sunyi
2
Dusun gelap gulita
Yang baru dihamili janji
Di masa panen kenduri
3
Bias lampu kota
Yang memantul pada air muka
Di wajah perempuan muda
4
Arak getah aren
Yang mengalir dalam nafas
Di kerongkongan anak zaman
5
Titik-titik hujan
Yang menetes pada payung
Di tangan seorang pendeta
6
Dawai gitar putus
Yang belum sempat diganti
Di tangan penyair buta
7
Bekas tanah kering
Yang menempel menahun
Di cangkul seorang petani
8
Tanah-tanah lapang
Yang ditanami lembar uang
Di pikiran kakitangan negri
9
Vultur-vultur lapar
Yang sedari kemaring menggerombol
Di cabang kenanga samping rumah
02:30
Menandangi Danau Tondano
Terlalu kejam dingin malam ini sayang
Puisi-puisi harus jadi korban bakaran
Untuk sejumput jenak kehangatan
Kilap-kilap yang memantul di kegelapan
Dari danau yang menyesah dengan kenangan
Pecah di wajah yang menggigil dan menerawang
Ah!
Telalu jauh kau kini sayang!
Sebait Sajak Untuk E.
Apakah kau yang sedikit menuai masa
Atau aku yang terlalu tua
Untuk meleleh bersama
Dalam kawah asmaragama?
Spectre Revisite
Sebuah kisah dari masa-masa indah
Datang dengan pedang:
Di hari ketiga bulan kedua
Di altar aku melepas perawan
Lalu kubiarkan ia menikam
Kalat luka hatiku yang kini kelam
The Ultimate Sin
Seluruh hudupku aku berusaha
Untuk tak berbuat kesalahan
Tetapi itu salah
Kutemukan Padang-Padang IIalang
Ya, kutemukan padang-padang ilalang
Dalam derasan arus alunan jiwa
Oh! Begitu luas ia…
Seharian aku berjalan
Mencari ujung-ujungnya
Hanya ia sendiri yang tau dimana
Aku pergi setiap hari
Disana kutemui rerumputan hijau setinggi lutut:
Wahai aku mengendara permadani hati!
Ada kembang Daffodil disana
Yang mengangguk saja saat kuhirup nektarnya
Lalu berjam-jam aku akan berbaring
Atau berguling
Sambil mengatup rapat mata
Matahari kubiar membakar dinginnya pori
Lantas tiba-tiba aku melompat!
Tertawa-tawa aku mengejar nafasku sendiri
Bila aku lelah,
Atau bila hari kelam mengepung
Langit hitam menggantung
Angin beliung maju menggulung,
Lari!
Aku lari menghampiri
Di tengah bentang taman nirwana
Ada sebuah pohon yang selalu kutuju
Di sini aku berteduh
Di sini aku mengeluh
Menangis saat gundah
Terlelap sampai udara cerah
Dan ketika malam menjelang
Lambaian dahannya mengantarku pulang
Tetapi sayang…
Besok ia akan hilang ditebang
Kupeluk erat ia
Dalam airmata aku berkata:
Jika kau begitu buruk
Katakan mengapa
Aku Cinta…
Dengan Senyum Kau Datang,
Dengan Senyum Kau Berpulang
Kau bawakan aku senampan kabar dari rahimmu
Sekali lagi terusir pergi sebuah nama
Yang seharusnya terukir dalam kitab kehidupan
-bukan namaku
Tetapi rahim itu pernah jadi rumahku
Kau biarkan mata coklatmu bicara
Tentang gelisah
Tapak-tapak langkah
Yang menyeret amarah
Tentang hidup yang resah
-bukan hidupku
Tetapi aku pernah memandang lewat matamu
Lalu aku berkata:
Bangkit dan berjalanlah!
Pergi jika kau mau
Kembali jika kau mampu
Kemudiam aku menitipkanmu
Pada bis malam yang membawamu pergi
Kekota penuh tipu muslihat
Kembali kepelukan sang masa depan
Pun:
Kau pegi dengan senyuman
Antitesa Dunia dan Sorga
Untuk apa beroleh seluruh dunia
Seluruh isinya
Segenap kemegahannya?
Untuk apa dapatkan kekekalan sorga
Seluruh kesuciannya
Segenap kemuliaannya?
Jika kemudian harus kehilangan
Orang yang dicintainya!
Masih Ada Kita
Ada dosa-dosa yang harus kita bawa
Ke bangsal perabuan
Sebelum matahari tenggelam
Sebelum segalanya tinggal kenangan
Tentang kita berdua
Tentang kisah cinta berkalang duka
Yang merebutmu dari kamar kayu kita
Ada hantu-hantu yang harus kita sula
Di altar pertobatan
Sebelum jarum jam menggeram
Sebelum semuanya ditelan malam
Tentang hari yang berbeda
Tentang darah yang tak sama
Yang membawamu pergi bersama sang naga
Ada butir-butir pasir di langit yang harus kita hitung
Ada bintang-bintang di laut yang mesti kita susun
Masih ada!
Jangan pergi!
Aku Disini: Selalu
Ada ratusan- bahkan ribuan rangkaian
Kata-kata indah tentang
Kau-
Aku-
Yang menunggu waktu untuk dilahirkan
Yang menanti saat untuk ditemukan
Di atas kertas ini
Di halaman-halaman setelah ini
Tetapi aku memilih untuk menunggumu
Kembali-
Nanti-
0 komentar:
Posting Komentar